Sebvah Catatan Muktamar




“Medan pergulatan wacana sudah semakin meluas seiring dengan menguatnya gerakan radikalisme, ekstrimisme hingga Islamisme atau ideologi keislaman trans-nasional yang semakin mendistorsi pemahaman keagamaan muslim Indonesia yang lekat dengan nilai serta kearifan lokal”.
Selembar abstrak sebagai syarat untuk mengikuti Muktamar Pemikiran Santri Nusantara terpaksa kuselesaikan hanya dalam semalam. Terpaksa. Karena kesulitan dalam mengatur waktu. Banyak waktu yang bagiku tepat untuk menulis, kusia-siakan hanya karena alam tak mendukung.  Dan mungkin Anda akan mengira bahwa itu kelemahanku. Betul. Tapi bukan yang kusebut pertama, melainkan ketergantunganku ada pada alasan kedua. Mestakung.
Sebab itu pula, abstrak yang kubuat diberi tenggat waktu untuk tidak hanya diperbaiki, melainkan diperpanjang menjadi semacam artikel untuk jurnal. Selaksa amanah, nuansa tanggung jawab itu terasa mengikat. Pada akhirnya, saya menyelesaikan artikel itu selama sebulan dengan bersemedi di kamar kos. Meski banyak terbentur dengan kegiatan lain, seperti MTQ yang sangat menguras tenaga, artikel itu tetap saya perjuangkan. Pada saatnya, kulayangkan artikel itu—untuk mengikuti tahap seleksi kedua—lewat surel sebelum penutupan MTQ di Wiringinanom, yakni 5 jam sebelum penutupan pengiriman abstrak.
Jika makna bersyukur adalah meluapkan curah kebahagaiaan, maka kucoba untuk tidak berbangga pada diriku sendiri. Niatanku hanya berbagi pengalaman belaka. Tahadus bin ni’mah. Bersaing dengan 1.200-an abstrak dalam hal tulisan ilmiah adalah pengalaman pertamaku. Setelah beberapa kali bermain makna dan kata hanya dalam sebungkus esai renyah di beberapa tahun belakangan ini. Dan pengiriman naskah pada konferensi yang selalu kuhentikan di abstrak. 
Adapun ritual yang tak bisa tidak saya lakukan dalam pengiriman naskah adalah membaca surah al Fatihah dan basmalah masing-masing tiga kali. Sebenarnya itu bukan ijazah dari siapa-siapa. Hanya inisiatifku sendiri. Hehe. Karena dawuh orang tua selalu terngiang-ngiang di kepala, mereka menekankan supaya tetap mengimbangi usaha dengan doa dan doa. Terutama bagi para guru yang sejauh ini telah kita mintai bimbingannya.
Doa guru merupakan doa orang tua juga. Saya teringat dan masih hapal dawuh Allahu Yarham Alm. Pak Su’udi salah satu guru saya di madrasah tsanawiyah, dawuh yang beliau berikan ketika saya membersamai teman-teman alumni bersilaturrahim ke kediaman beliau saat lebaran. Selalu saja, ketika berkunjung di kediaman beliau pembicaraan kami melebar, yang dinanti-nanti adalah dawuh dan pitutur ceritanya yang asyik nan menggugah. Saya cukup berani untuk tidak menjadi juru bicara teman-teman ketika berbicara dengan beliau. Sebab mesti menyiapkan banyak materi. Di sesi terakhir, tak lupa kami meminta doa. “Pak, lare-lare bade pamit, sakderengipun pamit, nyuwun barokahipun dongane, Pak”. ”Beliau mewanti-wanti demikian, “koe-koe kabeh ki wes tak dungakno bendino. Lah yaopo, ketika kamu berdoa dan mendoakan orang tua,itu sama saja kalian mendoakan guru-gurumu. Dan ketika kamu berdoa dan mendoakan anak-anakmu, itu berarti kamu mendoakan santri-santrimu.”
Doa jualah yang membuat saya tegak untuk melanjutkan niat menyelesaikan naskah tersebut. Seringkali saya merenung. Apakah jalan yang kutempuh kini, merupakan siratan atas jalan-jalan yang dulu ditempuh oleh para leluhur saya? Dalam ritus kuterus merenung, hingga tak kutemui jawaban apa-apa. Tapi setidaknya, lantaran mengingat mereka, tubuhku merasakan dorongan yang sangat luar biasa untuk ajeg berusaha dan berproses. Bukankah jalan ke surga juga berbeda-beda (min abwabil mutafarriqoh)?.
Setelah pengiriman naskah tahap kedua, mataku tak lelah mengintip website Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Hampir sepuluh kali di setiap harinya, kuintip website tersebut. Aktivitas itu berlarut hingga berhari-hari. Yang kutemukan malah penundaan pengumuman. Oke. Sabar.“Asem”, batinku menggertak, “kok gak muncul-muncul se pengumumane”. Menunggu pengumuman bagiku seperti menanti jodoh. Kau harus bersikeras mengintip entah dengan doa ataupun usaha melamar, baru setelah terketuk pintunya, lebur sudah tugas menunggumu.
Tiba saat pengumuman diluncurkan, perasaanku kalut antara bangga dan terbebani. Semacam pertanggung-jawaban ilmiah atas ilmu yang saya terima selama mengenyam pendidikan di pesantren. Saya dituntut semaksimal mungkin untuk memberdayakan khazanah pemikiran untuk kemudian disalurkan dalam muktamar tersebut.
Dalam anganku yang sempit, tak terbayang sama sekali, jika Muktamar Pemikiran Santri Nusantara I diikuti oleh santri seperti saya ini. padahal, di samping nama-nama yang saya kenali, ternyata banyak peserta yang sudah mendapat gelar Doktor hingga Guru Besar di beberapa universitas Islam ternama di Indonesia.
--
Iring-iringan makhluk bersarung membanjiri jagad krapyak. Saat itu terik menghujam deras, memantik gerak tangan untuk menghapus keringat di dahi. Panitia riwa-riwi membenahi segala sudut ruang acara. Mulai tempat duduk, sinoman, konsumsi, sound system, karpet merah yang nantinya dilewati pak menteri dan jajarannya, sampai yang paling tidak bisa dipisahkan dari santri adalah: penataan sandal para tamu di setiap sesi acara. Nilai yang sangat sulit direduksi.  
Pak Lukman Hakim Saifuddin menyebut Muktamar Pemikiran Santri sebagai ruang bersilatul-afkar seluruh santri di Nusantara . Selain didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan modern yang kian menghiasi wajah pendidikan nasional kini, muktamar ini juga menjadi ruang santri berperan aktif dalam membangun peradaban moderat di Indonesia, tukas Kamaruddin Amin. 
Perhelatan akbar yang baru kemarin 10-12 Oktober 2018 dilaksanakan di Krapyak itu memberikan kesan yang luar biasa. Baik bagi peserta, panitia maupun santri sendiri. 
Pembukaan Muktamar dilakukan di halaman Pondok Pesantren Al Munawwir. Selayaknya perhelatan haul, para peserta disambut dengan iringan pawai grebeg santri. Pawai tersebut mengejawantahkan empat periode keberislaman di Nusantara. 1) Periode Diponegoro Dawuh, 2) Periode Resolusi Jihad, 3) Periode Kemerdekaan, dan 4) Periode Milenial.

--
“Muktamar ini tepat sekali dilangsungkan di tempat ini, karena sejarah pesantren ini dipenuhi oleh para aktifis pergerakan sosial kemasyarakatan. Putra-putri al-marhum KH. Muhammad Munawwir tercatat ikut berperan mengisi dan mewarnai perjuangan kemerdekaan negeri ini.”
Gus Hilmy salah satu perantara diriku untuk tak kuasa membuat mataku berkaca-kaca hingga air mata mengucur deras. Turun sampai menghujam di bibirku. Hingga tak terhitung berapa kali sarungku kuangkat untuk hanya sekedar mengusap air mata itu.
Di satu sisi aku malu, ketika banyak mata mengawasi berada tepat di sekelilingku. Gus Hilmy yang terus bermanaqib mengenai pesantren krapyak sembari menyebutkan nama-nama ulama yang benar-benar kukagumi. Sontak membuat bathinku terhentak. Seketika itu pula terbayang pertanyaan; Who am i? menginjakkan kaki di sajadah suci yang melahirkan begitu banyak ulama mahadahsyat yang sangat berpengaruh di negeri ini.
Tepat ketika Gus Hilmy menyebutkan Allahu Yarham Kiai Haji Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad kemudian menjelaskan sepak terjang beliau hingga menyebut beberapa nama ulama hebat yang pernah mengenyam pendidikan di sini, sebut saja Mbah Arwani, Mbah Umar, Mbah Muntaha, Mbah Nawawi, Gus Dur, Gus Kholil Bisri, Gus Mus, Kiai Said, Kiai Masdar Farid Mas’udi, dan masih banyak lagi nama-nama kiai yang ketika disebutkan tangisku terus bercucuran. Bak darah, aku kelabakan menanganinya.
“Demikian juga sesuai dengan tema, Muktamar ini juga tepat sekali dilangsungkan di sini karena banyaknya kiai intelek yang bertabur karya hebat berasal dari para kiai pesantren ini”
--
Di panel spesial yang diisi oleh Buya Husen Muhammad, tiba di sesi tanya-jawab saya memberanikan diri untuk undur sejenak, sekedar mengisap rokok dan menyruput kopi di pelataran Aula G Al Munawwir. Habis sebatang, tiba-tiba seorang menghampiri tempat duduk saya. Dari kejauhan wajah orang yang mendekat itu sangat akrab di ingatanku. Sembari membersihkan tempat, saya menyilakan “Monggo Mas”.
Kami berkenalan, bertukar api rokok sampai, membahas jurusan. Oh iya, banyak dari peserta yang baru kukenali tepat di muktamar mengatakan jika saya sudah S2. Padahal S1 saja belum lulus-lulus. Hehe. Terutama Mas Raedu.
Setelah babibu.. tetiba Mas Raedu berbisik lirih,
“Doakan saya ya, biasanya doa santri t**fiz itu manjur.”
“Haduh, nopo toh mas. Kulo sik nyantri. Dereng kiai. Ampun dijaluk I dungo-dungoan. Lek dungo dinungo niku pasti. Hehe.” Stay kalem sajalah. Hehe.
“Jadi gini, saya sedang ada masalah besar”, saya semakin serius mendengar, merasakan ucapan seorang sastrawan yang meliuk-liuk. “secara normative, saya sudah tidak lagi bergelut dengan kata-kata. Karena saya sekarang disuruh mengurus pesantren di rumah. Pesantren di rumah belum punya tokoh yang begitu dipandang oleh masyarakat kampung. Sebab beberapa tahun terakhir yang mengasuh adalah bu Nyai, dan itu Nenek saya. Jadi saya terpaksa mengajar anak-anak kecil di rumah. Meramut anak e wong.”
Aku memang tak pandai menanggapi. Tapi dalam hatiku berat rasanya menerima kenyataan jika seorang sarjana Strata 2 jurusan antropologi di universitas ternama di Yogyakarta, masih menganggap mengasuh anak-anak di kampung adalah sebuah masalah besar. Hm. Hm. Hm.
Ya begitulah warna-warni muktamar yang saya rasai.

Barangkali ada yang minta artikel saya, bisa komentar atau dm di sosial media saya yaaa. J))))

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)