Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah
Afrizal Qosim Sholeh
Mudahnya demikian, jika anda sedang mengikuti Ziarah Walisongo,
pasti melewati Kecamatan Bungah. 17 KM dari Kota Gresik. Jika dari arah selatan
(Sunan Giri dan Maulanan Malik Ibrahim), sebelum Kecamatan Manyar, Gresik dan
Kebomas. Sementara jika anda dari arah utara (Sunan Bonang Tuban dan Sunan
Drajad Lamongan), sebelum Kecamatan Panceng, Ujung Pangkah, Dukun dan Sidayu.
Bias dikalam, Kecamatan Bungah merupakan area sentral dari Kabupaten Gresik
secara letak Geografis. Akses untuk sampai ke sana pun tidaklah sulit. Sebab
Kecamatan itu dilewati oleh Jalan Deandless yang menjulur mulai dari Anyer
sampai Panarukan—dengan identitas pohon Asem di bahu kanan maupun kiri jalannya.


Setelah dirasa cukup, beliau sempat tidak menyadari, jika daerah
yang disinggahinya sekarang belum punya nama. Tapi itu tidak menjadi kesulitan
yang berarti bagi beliau. Sebab kesan pertama tatkala singgah di daerah
tersebut, laiknya daerah tempat asal beliau, yakni Makassar, Sulawesi Selatan.
Daerah asalnya di sana, pesisir Makassar, terdapat banyak pohon kelapa yang
sama persis dengan daerah barunya di pesisir utara Jawa, hingga dalam bahasa
ibunya, pohon kelapa itu disebut sebagai “Bongoh”, pendefinisian tersebut
berlaku pula dalam kamus lingua franca nusantara[4].
Alhasil, ketika mendapati, daerah itu juga dipenuhi dengan pepohonan kelapa,
maka Kyai Gede menamainya sebagai “Bongoh”. Lambat laun, pengucapan “Bongoh”
berubah aksen—jika orang Jawa yang mengucapkannya—menjadi “Bungah”.
Nah, dari pelafalan Bungah itu, muncul penafsiran baru. Lafal
“Bungah” oleh Falsafah Jawa atau Falsafah Nusantara ditakwilkan sebagai wujud
“rasa senang”. Wong ikuloh ketok bungah/ orang ituloh terlihat gembira
atau senang. Urip iku kedah bebungahne wong/hidup itu fardhu
membahagiakan orang. Demikian seterusnya.
Setelah Kyai Gede mangkat, masyarakat desa Bungah, secara
kolektif, telah banyak yang menganut agama Islam. Lalu solidaritas masyarakat
sebagai tugas kesalehan sosial, telah beliau perbaiki sekaligus kuatkan. Beliau
dimakamkan di belakang Masjid yang dibangunnya bersama penduduk sekitar. Tak
ada keterangan tarikh beliau dikebumikan.
Pembaharuan Masyarakat
Setelah enam abad berlalu setelah datangnya Kyai Gede, masyarakat
mulai mafhum ihwal beberapa adat dan syari’at lokalitas yang fardhu
dipatuhi juga dikembangkan. Kepengetahuan mereka telah menjadi pengakuan dari
beberapa desa di Kecamatan Bungah. Sebab idealitas geografis, desa Bungah
menjadi desa percontohan. Mulai dari ihwal perdagangan, pemerintahan,
kependudukan, bahkan pendidikan, tapi dengan jujur, minus di bidang wisata.
Dalam bidang
pendidikan, terutama pendidikan Islam, desa Bungah memiliki banyak Pondok
Pesantren yang satu dengan lainnya memiliki kesamaan akar genealogis. Ada Pondok
Pesantren Qomaruddin, Pondok Pesantren Al-Ishlah, Pondok Pesantren Syafi’iyyah,
Pondok Pesantren Baiturrahim, Pondok Pesantren Zainal Abidin, Pondok Pesantren
al-Harun, APTQ (Asrama Pesantren Ta’limul Qur’an), Pondok Pesantren
Tegalrejo, Pondok Pesantren Baiturrahman, tidak aneh, melihat banyaknya
pesantren yang berdiri di sana, desa Bungah masyhur dengan sebutan desa Santri.
Sementara dalam
pendidikan formal, terdapat Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin, terdiri dari
(TK, MI, MTS 1—khusus putra, MTS 2—khusus putri, SMP, SMA, MA, SMK, IAIQ,
STTQ). Juga ada SD Negeri, MAN 1 Gresik yang berada di Bungah, Yayasan
Muhammadiyah (TK, MI, SMP, SMA dan SMK), SMP al-Ishlah, MA al-Ishlah. Beberapa
pendidikan formal tersebut, mulai lahir pada abad ke 19 M, dengan tentu tidak
semaju dan seramai yang penulis sebutkan di atas. Tentunya, lembaga pendidikan
tersebut, merupakan aset berharga pemerintahan desa.
Roda perekonomian
pun tak kalah pesat, terdapat Pasar Legi—pasar tradisional Jawa yang berdasar
pada penanggalan Jawa. Selain beberapa tokoh milik pribadi yang tersebar di
berbagai sudut desa. Belum lagi, disusul telah banyaknya swalayan modern masuk
desa. Desa Bungah didaulat pemerintahan kabupaten, sebagai desa sentra pengrajin
peci dan rebana.
Ala kulli hal,
dengan tidak lupa mengingat jasa leluhur desa yang telah berbaik hati merelakan
jasanya untuk membangun pondasi desa yang demikian kokoh, masyarakat desa
Bungah saat ini, telah mengambil beberapa buah yang telah para leluhur tanam
dan rawat dengan baik. Lewat pula beberapa kemajuan teknologi, desa Bungah
bukanlah masyarakat yang menolak kemajuan, mereka mencoba mengakomodasi
beberapa modernisasi yang ditawarkan oleh zaman. Tetap dengan teguh memantapkan
sikap selektif dan sederhana.
[1] Abd. Ro’uf Djabir, Dinamika Pondok
Pesantren Qomaruddin (Gresik: YPPQ, 2014), Hlm. 15
[2] Pengasuh Pondok Pesantren al-Harun, sekaligus salah satu keturunan
Mbah Kyai Qomaruddin dalam http://dicukmisbach.blogspot.co.id/ diakses pada
23 September 2016.
[3] Tidak jauh berbeda dengan sejarah desa Bungah
yang memiliki versi tidak sedikit. Tokoh dan karakter “Kyai Gede” pun memiliki
banyak versi sejarah. Misal dalam buku Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin
penulisnya menuturkan bahwasannya “Kyai Gede” merupakan salah satu santri
pertama dari Kanjeng Sunan Giri dari banyak santrinya yang tersebar di berbagai
desa di Jawa Timur, di Kabupaten Gresik terutama. Namun sayang, oleh
penulisnya, tidak disebutkan secara detail pun rinci, sebenarnya siapa tokoh
dan karakter “Kyai Gede” itu, asal-usulnya dari mana, silsilah keluarga dari
siapa, juga pengaruhnya seperti apa. Tapi dalam sumber lain, penulis menemukan
titik temu, bahwasannya Kyai Gede merupakan sebuah gelar dari keturunan Ario
Abdullah/Arya salah satu Mahapatih Majapahit yang ditugaskan untuk menguasai
daerah Palembang. Sumber itu, berasal dari penuturan Agus Sunyoto dalam master-piece
nya Atlas Walisongo, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2016).
[4] Anonymous, Bungah,
Gresik dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Bungah,_Gresik, diakses pada
24 September 2016.
Komentar
Posting Komentar