Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah


Afrizal Qosim Sholeh


 

Mudahnya demikian, jika anda sedang mengikuti Ziarah Walisongo, pasti melewati Kecamatan Bungah. 17 KM dari Kota Gresik. Jika dari arah selatan (Sunan Giri dan Maulanan Malik Ibrahim), sebelum Kecamatan Manyar, Gresik dan Kebomas. Sementara jika anda dari arah utara (Sunan Bonang Tuban dan Sunan Drajad Lamongan), sebelum Kecamatan Panceng, Ujung Pangkah, Dukun dan Sidayu. Bias dikalam, Kecamatan Bungah merupakan area sentral dari Kabupaten Gresik secara letak Geografis. Akses untuk sampai ke sana pun tidaklah sulit. Sebab Kecamatan itu dilewati oleh Jalan Deandless yang menjulur mulai dari Anyer sampai Panarukan—dengan identitas pohon Asem di bahu kanan maupun kiri jalannya.
Dalam Kecamatan Bungah, yang terdiri dari empat desa (Bungah, Kaliwot, Dukuh, Karangpoh) ada desa yang menjadi desa kelahiran saya, yaitu desa Bungah. Desa yang bisa dibilang sejuk dan strategis. Menurut Abd. Ro’uf Djabir[1] terdapat lima pasal yang menjadikan desa tersebut—daripada desa lain di lingkar Kecamatan Bungah—strategis. Pertama, merupakan desa yang dekat dengan sumber air yakni Sungai Bengawan Solo untuk mencukupi kebutuhuan air sehari-hari. Kedua, dekat dengan kantor pemerintahan yang daripada itu adalah kantor Kecamatan untuk memudahkan hubungan dengan pusat kekuasaan. Ketiga, dekat dengan pasar, sebagai akses untuk akad jual beli terhadap kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) para masyarakat desa. Keempat, dekat dengan jalan raya, yang mempermudah mobilitas masyarakat untuk bepergian dalam segala urusan. Lalu yang kelima, dekat dengan hutan—sebagai lahan pencarian bahan makanan entah itu bercocok tanam sampai berburu, di zaman dahulu. Sebab kelima faktor itulah, seorang guru sekaligus tangan kanan dari pemimpin daerah pertama di Kabupaten Gressie atau Gresik (Kyai Tumenggung Tirtorejo yang pada saat itu kantor pemerintahannya masih berada di Kecamatan Sidayu sebelum akhirnya berpindah di Kecamatan Gresik) bernama Kyai Qomaruddin yang berasal dari desa Bonang, Tuban mendirikan sebuah padukuan di Desa Bungah, yang oleh beliau padukuhan itu diberi nama Sampurnan. Kata Sampurnan merupakan akronim dari dua suku kata yaitu sampurno dan tenanan atau “benar-benar tempat yang sempurna”. Atas dasar lima pasal tadi, beliau tegas menamakan padukuhan itu dengan sebutan nama Sampurnan. Di sana, Kyai Qomaruddin juga mendirikan Pesantren dengan nama Pondok Pesantren Qomaruddin pada tahun 1775 M—menjadi salah satu pondok tertua di Gresik bahkan Jawa Timur, setelah Giri, Sidogiri dan Ampel Dhenta.  
Lain lagi dengan sisi historis dari Desa Bungah sendiri. Sebenarnya ada beberapa versi sejarah, tapi yang ini saya ambil dari salah satu versi dari sesepuh Desa Bungah sendiri yaitu KH. Ishaq Abdurrahman[2]. Beliau menuturkan sendi-sendi historisitas bermulanya nama Bungah sebagai nama Desa. Menurut beliau, tersebutlah Kyai Gede[3], yang dulu sebagai aktor perubahan sosial/seng babad alas di daerah tersebut, terhitung kira-kira abad ke 14 M era Majapahit dan Sunan Giri di Gresik. Masih dalam perspektif beliau, Kyai Gede merupakan saudagar sekaligus Ulama’ dari Makassar yang mencoba peruntungan dagangnya di daerah pesisir timur-laut Jawa. Singkat kalam, sampailah beliau di sebuah lingkungan yang masih banyak ditumbuhi hutan-hutan, sedikit penghuni, masih penuh lebat oleh hutan, struktur masyarakat belum kuat terbentuk, lalu dalam ihwal agama, terbilang masih kurang. Melihat kondisi yang demikian itu, semangat Kyai Gede pun tergugah. Spiritnya untuk berdagang sekaligus berdakwah telah menggebu-gebu. Seperti lazimnya Walisongo, konsep dakwah yang dipakai pun melalui akulturasi dan asimilasi. Dengan tekun, perlahan Kyai Gede mulai mencuri perhatian dengan caranya itu. Dagangannya laris manis, dakwahnya apalagi. Sampai di membangun Masjid bagi tempat ibadah pengikutnya yang telah ramai—Masjid tersebut sekarang, oleh masyarakat desa Bungah dinamai Masjid Jami’ Kyai Gede Bungah yang sampai saat ini masih berdiri kokoh bahkan telah dipugar diperluas kapasitas jumlah jama’ahnya.
Setelah dirasa cukup, beliau sempat tidak menyadari, jika daerah yang disinggahinya sekarang belum punya nama. Tapi itu tidak menjadi kesulitan yang berarti bagi beliau. Sebab kesan pertama tatkala singgah di daerah tersebut, laiknya daerah tempat asal beliau, yakni Makassar, Sulawesi Selatan. Daerah asalnya di sana, pesisir Makassar, terdapat banyak pohon kelapa yang sama persis dengan daerah barunya di pesisir utara Jawa, hingga dalam bahasa ibunya, pohon kelapa itu disebut sebagai “Bongoh”, pendefinisian tersebut berlaku pula dalam kamus lingua franca nusantara[4]. Alhasil, ketika mendapati, daerah itu juga dipenuhi dengan pepohonan kelapa, maka Kyai Gede menamainya sebagai “Bongoh”. Lambat laun, pengucapan “Bongoh” berubah aksen—jika orang Jawa yang mengucapkannya—menjadi “Bungah”.
Nah, dari pelafalan Bungah itu, muncul penafsiran baru. Lafal “Bungah” oleh Falsafah Jawa atau Falsafah Nusantara ditakwilkan sebagai wujud “rasa senang”. Wong ikuloh ketok bungah/ orang ituloh terlihat gembira atau senang. Urip iku kedah bebungahne wong/hidup itu fardhu membahagiakan orang. Demikian seterusnya.
Setelah Kyai Gede mangkat, masyarakat desa Bungah, secara kolektif, telah banyak yang menganut agama Islam. Lalu solidaritas masyarakat sebagai tugas kesalehan sosial, telah beliau perbaiki sekaligus kuatkan. Beliau dimakamkan di belakang Masjid yang dibangunnya bersama penduduk sekitar. Tak ada keterangan tarikh beliau dikebumikan.


Pembaharuan Masyarakat
Setelah enam abad berlalu setelah datangnya Kyai Gede, masyarakat mulai mafhum ihwal beberapa adat dan syari’at lokalitas yang fardhu dipatuhi juga dikembangkan. Kepengetahuan mereka telah menjadi pengakuan dari beberapa desa di Kecamatan Bungah. Sebab idealitas geografis, desa Bungah menjadi desa percontohan. Mulai dari ihwal perdagangan, pemerintahan, kependudukan, bahkan pendidikan, tapi dengan jujur, minus di bidang wisata.            
            Dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan Islam, desa Bungah memiliki banyak Pondok Pesantren yang satu dengan lainnya memiliki kesamaan akar genealogis. Ada Pondok Pesantren Qomaruddin, Pondok Pesantren Al-Ishlah, Pondok Pesantren Syafi’iyyah, Pondok Pesantren Baiturrahim, Pondok Pesantren Zainal Abidin, Pondok Pesantren al-Harun, APTQ (Asrama Pesantren Ta’limul Qur’an), Pondok Pesantren Tegalrejo, Pondok Pesantren Baiturrahman, tidak aneh, melihat banyaknya pesantren yang berdiri di sana, desa Bungah masyhur dengan sebutan desa Santri.
            Sementara dalam pendidikan formal, terdapat Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin, terdiri dari (TK, MI, MTS 1—khusus putra, MTS 2—khusus putri, SMP, SMA, MA, SMK, IAIQ, STTQ). Juga ada SD Negeri, MAN 1 Gresik yang berada di Bungah, Yayasan Muhammadiyah (TK, MI, SMP, SMA dan SMK), SMP al-Ishlah, MA al-Ishlah. Beberapa pendidikan formal tersebut, mulai lahir pada abad ke 19 M, dengan tentu tidak semaju dan seramai yang penulis sebutkan di atas. Tentunya, lembaga pendidikan tersebut, merupakan aset berharga pemerintahan desa.
            Roda perekonomian pun tak kalah pesat, terdapat Pasar Legi—pasar tradisional Jawa yang berdasar pada penanggalan Jawa. Selain beberapa tokoh milik pribadi yang tersebar di berbagai sudut desa. Belum lagi, disusul telah banyaknya swalayan modern masuk desa. Desa Bungah didaulat pemerintahan kabupaten, sebagai desa sentra pengrajin peci dan rebana.
            Ala kulli hal, dengan tidak lupa mengingat jasa leluhur desa yang telah berbaik hati merelakan jasanya untuk membangun pondasi desa yang demikian kokoh, masyarakat desa Bungah saat ini, telah mengambil beberapa buah yang telah para leluhur tanam dan rawat dengan baik. Lewat pula beberapa kemajuan teknologi, desa Bungah bukanlah masyarakat yang menolak kemajuan, mereka mencoba mengakomodasi beberapa modernisasi yang ditawarkan oleh zaman. Tetap dengan teguh memantapkan sikap selektif dan sederhana.    



[1]  Abd. Ro’uf Djabir, Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin (Gresik: YPPQ, 2014), Hlm. 15
[2]  Pengasuh Pondok Pesantren al-Harun, sekaligus salah satu keturunan Mbah Kyai Qomaruddin dalam http://dicukmisbach.blogspot.co.id/ diakses pada 23 September 2016.
[3]  Tidak jauh berbeda dengan sejarah desa Bungah yang memiliki versi tidak sedikit. Tokoh dan karakter “Kyai Gede” pun memiliki banyak versi sejarah. Misal dalam buku Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin penulisnya menuturkan bahwasannya “Kyai Gede” merupakan salah satu santri pertama dari Kanjeng Sunan Giri dari banyak santrinya yang tersebar di berbagai desa di Jawa Timur, di Kabupaten Gresik terutama. Namun sayang, oleh penulisnya, tidak disebutkan secara detail pun rinci, sebenarnya siapa tokoh dan karakter “Kyai Gede” itu, asal-usulnya dari mana, silsilah keluarga dari siapa, juga pengaruhnya seperti apa. Tapi dalam sumber lain, penulis menemukan titik temu, bahwasannya Kyai Gede merupakan sebuah gelar dari keturunan Ario Abdullah/Arya salah satu Mahapatih Majapahit yang ditugaskan untuk menguasai daerah Palembang. Sumber itu, berasal dari penuturan Agus Sunyoto dalam master-piece nya Atlas Walisongo, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2016).
[4] Anonymous, Bungah, Gresik dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Bungah,_Gresik, diakses pada 24 September 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)