God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)
Ahmad Afrizal Qosim
Pemahaman antropologi yang saya dapat ketika melihat film Robinson
Crusoe sangat kompleks. Bukan karena film yang diangkat dari novel karya Daniel
Defoe tersebut berbasis pada pengalaman kebudayaan, melainkan karena, ketika
mengikuti mata kuliah Antropologi, saya pertama kali melihatnya. Dari kesan
pertama itu yang membuat saya tertarik melihatnya sampai selesai.
Dalam artikel ini, saya memakai judul “God dan Pakia”, selain
merupakan paham kepercayaan tentang
Tuhan yang dianut oleh dua bangsa yang berbeda—God dianut oleh orang modern,
dalam hal ini Robinson Crusoe, sedangkan Pakia dianut oleh orang primitif, yang
dalam film ini dipegang oleh Friday, sahabat Robinson—judul tersebut memberi
kesan keragaman pemahaman keyakinan manusia secara geografis. Hal tersebut
tergolong pada Antropologi Metateori Agama[1],
dan salah satu tokohnya adalah Emile Durkheim (1958-1917). Dia beranggapan,
bahwasannya lahirnya sebuah agama tidak terlepas dari kesakralan benda-benda di
sekitar penganutnya. Benda yang sakral ini disebut oleh Durkheim sebagai
“Totem”. Pahamnya disebut “Totemisme”. Seperti paham yang dianut oleh suku
Aborigin di Australia, suku yang menjadi objek penelitiannya. Kita tahu, suku
Aborigin merupakan suku asli Australia yang tinggal di pedalaman, di hutan
belantara, yang hidupnya menyatu dengan alam. Saking terlalu seringnya bersatu
dan mengandalkan alam, pengikut suku Aborigin mempercayai alam sebagai pelindung dan penolongnya.
Sehingga perilaku mereka tidak bisa tidak lepas dari ketundukan dan kesantunan
alam. Mereka berinteraksi dengan alam tanpa keinginan untuk merusaknya.
Alhasil, alam menjadi Tuhan mereka. Hal tersebut yang dialami oleh Friday.
Friday berasal dari bangsa primitif[2]
yang leluhurnya menurunkan kepercayaan kepada keimanan alam. Sehingga dia,
dalam film itu, berusaha meyakinkan Robinson tentang Pakia (Buaya) sebagai
Tuhannya.
Siapa Robinson Crusoe?
Dia adalah seorang dari kalangan Bangsawan, Priyayi, Ksatria di
Britania Raya, Negara Skotlandia tepatnya. Dari basic tersebut, Robinson
diatur dan dibentuk oleh sistem, yang mengharuskannya untuk berlatih ilmu bela
diri, termasuk ilmu memakai pedang bak seorang ksatria. Pengalamannya dalam
beradu kekuatan tidak bisa diremehkan. Bentuk tubuh dan watak yang ada sebagai
bekal untuk menjadi seorang ksatria membuatnya tidak sulit untuk memainkan
peran tersebut. Keluarga serta lingkungan seperti itulah yang menumbuhkan bibit
seorang pengembara, seorang ghuroba’, seorang petualang sejati. Seperti
dikatakan Karl Marx, kesadaran sosial manusia dibentuk oleh lokalitas. Sehingga
Robinson merupakan hasil dari lokalitas sejarah Skotlandia yang orisinil.
Berbekal jiwa petualang, dia beranikan ikut dalam pengembaraan
laut. Namun pengembaraannya tidak berjalan mulus. Badai mengamuk memaksa para
awak kapal terbangun dari tidurnya untuk bersikeras mempertahankan kapal agar
tidak oleh bahkan karam. Namun, takdir berkata lain, kapal yang mereka tumpangi
hancur terbentuk karang. Kapal kemudian terdampar di sebuah pulau yang tak
diketahui sebelumnya oleh Robinson ihwal namanya. Semua awak kapal meninggal
karena kejamnya laut. Kecuali Robinson dan satu anjing piaraan, Lucy yang tertinggal
di salah satu ruangan kapal.
Waba’du, Robinson hidup berdua dengan Lucy. Mereka berjalan ke
sana- ke mari untuk mencari bala bantuan agara bisa keluar dari pulau sunyi
tadi. Pulau yang membuatnya hampir mati dikarenakan matinya interaksi. Sudah menjadi
sunnatullah, bahwa manusia adalah makhluk sosial (human sociaty).
Untuk hidup bersosial dibutuhkan sebuah interaksi. Sedangkan ketika dihadapkan
pada sebuah pulau tersebut dia kehilangan rasa kemanusiaannya karena tidak ada
yang bisa diajak berkomunikasi sebab sepi penghuni.
Perlahan-lahan mereka membuat tempat tinggal. Tempat tinggal mereka
buat dari berbagai bahan alam. Sehingga mencukupi untuk sekedar berlindung dari
hewan buas di hutan. Kemudian mereka
mencari bahan makanan untuk kebutuhan di setiap harinya. Entah itu hewan, entah
buah-buahan, entah apa saja yang bisa mereka makan. Ketergantungan terhadap
alam inilah, yang membuat manusia tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai
makhluk yang tercipta dari alam. Dari tanah, adam diciptakan. Dari tanah pula
anak adam akan hidup.
Setiap hari dia mencari bala-bantuan untuk bisa keluar dari
keheningan pulau. Berlama-lama dia menunggu di bibir pantai untuk menunggu
kapal lewat. Berulang kali kegiatan itu yang setiap hari dilakukannya. Setelah
sudah lama menunggu, namun tak ada hasil yang menggembirakan sedikitpun.
Akhirnya dia kembali ke tempat tinggalnya dan sedikit saja mengurusi kapal
bala-bantuan. Di tempat tinggalnya dia membuat sebuah catatan. Seperti catatan
perjalanan. Kemudian menggambar peta sederhana, yang kiranya nanti bisa dipakai
sebagai alat pembantu untuk kembali ke Skotlandia. Demikian dalam Antropologi
disebut “manusia rasional”, yang memiliki keinginan untuk mengetahui dan
memahami seluruh lingkungan alam dan lingkungan sosialnya dengan logikanya,
dengan kekuatan berpikirnya.
Peristiwa ketika dia menemukan bangsa primitif
[1] Atau bisa
disebut Teori Agama pada umumnya berusaha untuk menjawab setidaknya dua pertanyaan
yang saling terkait: apa asal agama dan apa fungsinya. Sumber; https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_agama. diakses 15
Oktober 2015.
[2] Primitif (baduwi); suku bangsa yang terasing, terbelakang, tertutup merupakan model yang telah tetap dalam studi
etnologi.
Komentar
Posting Komentar