Yang Halal Tapi Haram
![]() |
Sumber Foto: Yes Muslim |
Manusia pasti punya harapan untuk
bisa hidup mapan, kaya, berkecukupan, dan segala taraf hidupnya terpenuhi.
Untuk itu, mereka berani bertaruh fisik, waktu, dan nyawa. Bekerja keras di
setiap hari. Membanting tulang, mondar-mandir mencari jalan.
Layaknya tabiat, harapan hidup
mapan itu, selalu dibarengi dengan sikap kekurangan. Anggapan jika,
kebutuhan—mulai dari primer, sekunder, dan sampai tersier—belum sepenuhnya
terpenuhi masih demikian menghinggapi di hampir segala kelas sosial
masyarakat.
Tabiat itu semestinya bernilai
positif, jika mereka memaknainya untuk memelihara diri, memanfaatkan tenaga
mental maupun fisiknya dalam mempertahankan dan mempertaruhkan hidup di dunia
ini.
Pendek kata, hidup itu soal
perjuangan. Dan ketentuan mapan atau tidaknya, kelak akan dinilai dari apa yang
selama ini telah kita perjuangkan. Dengan catatan, tanpa mengingat dan
mengungkit amal perjuangannya tersebut.
Namun, tidak sedikit pula yang
memaknai tabiat itu hanya sebagai tujuan materialistis kehidupan dunia belaka.
Yang tergolong dalam kategori
ini, adalah mereka yang segan mendistribusikan—dengan terang atau
sembunyi—harta bendanya untuk; haji, sedekah, infak, zakat, menyumbang
pembangunan masjid, dan yang paling parah yaitu mendanai kelompok ekstremis-radikal
untuk tujuan stabilitas politik otoritatif sesaat yang kian hari makin marak.
Terbaru, yakni kabar donasi
pemerintah Suriah yang justru malah diselewengkan untuk pendanaan
kegiatan-kegiatan ormas berbasis ekstrimis-radikalis di Indonesia.
Dari sini saya teringat komentar di
tweet-an Prof. Nadirsyah, komentar itu berbunyi demikian, “Adakah amal yang
halal tapi bernilai haram?”.
Dari sana saya pengin membantu
Prof untuk menjawab dengan membayangkan, apabila ada beberapa donasi yang diberikan
secara sukarela namun jatuh di tangan yang salah, yang kadar fungsionalisasinya
tidak tepat guna atau keluar dari normatifitas agama seperti pembunuhan,
pendanaan ikhtiar penyebaran hoax, fitnah, dan hate speech konsekuensi
yang akan diterima adalah donasi itu akan mubazir, tak bernilai, alias haram.
Buat apa juga mendonasikan uang
tapi tidak digunakan untuk kemaslahatan melainkan kemafsadatan? “Sungguh
tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan
(melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan
ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada
istrimu”.
Apalagi kemafsadatannya itu
berakibat pada tindak kejahatan yang serius semacam pembunuhan, kekerasan, dan
perbuatan lalim lainnya. Bukankah sudah jelas dalam prinsip Maqashid Syari’ah,
di samping perintah untuk hifdhud din, kita juga dipercayai untuk hifdzul
maal, hifdhun nasl, hifdhul aql, dan hifdhun nasb,
yang kelima unsurnya saling memiliki keterkaitan satu sama lain.
Alhasil, apabila Anda seorang
mapan, yang telah berjuang banting tulang bertahun-tahun untuk mengais rezeki,
lantas mendonasikan uang kepada mereka yang jelas-jelas menyalahgunakan uang,
mentasarrufkan uang dengan cara yang tidak tepat seperti yang penulis sebut di
atas. Wa an maalihi ayna iktsabahu wa fiyma anfaqahu. Maka, amal yang awalnya Anda pirikirkan
dan niatkan untuk kebaikan itu, tidak akan bernilai apa-apa.
Apalagi amal yang
Anda ungkit-ungkit.
Komentar
Posting Komentar