Tidak Dinamakan Tidur, Tidur Yang Belum Dibangunkan

Sumber Foto: Alodokter


Upacara pemakaman kiai tinggal menghitung menit. Himbauan dari Pak Lurah kepada untuk ikut mengantarkan jenazah kiai, telah tersiar ke mana-mana. Pelataran pesantren sudah penuh sesak. Pasalnya, pada waktu-waktu ini lah, kita merasakan keistimewaan para kiai dan pesantren kita. Sehingga berjibun manusia membendung dan mengerumuni jenazah kiai.

Sementara itu, di komplek masih banyak santri yang sibuk menyiapkan diri. Ada yang baru datang kuliah—seperti saya, yang masih perlu bebersih, ada yang masih mandi, salat duhur, dan juga tidak sedikit yang masih tertidur pulas.

Seperti halnya di kamar, kutemui sehabis ngebut pulang dari ngampus ternyata masih menyisahkan tiga orang; dua masih mandi, sedang yang satu masih pulas tidur. Saya mencoba membangunkan, tapi yang dibangunin hanya mulet-mulet. Berkali-kali, terus seperti itu.

Saya pun putus asa diiringi dengan makian, “yaopo seh arek iki, kiaine kate dimakamno malah enak-enakan turu. Hfft.” tapi makian itu tersendat. Hanya sampai di batang tenggorokanku.  
--
Yang tidur itu bernama Dopir. Ia memang terkenal sering begadang. Ngelowo. Hidupnya terbalik. Tidur di siang hari, aktifitas di malam hari.

Seperti pada umumnya di pesantren, begadang adalah hal lazim. Hingga tidak sedikit dari mereka yang hobi begadang disakralkan. Tapi Dopir tidak, begadangnya malah mendesakralkan begadang itu sendiri. Lha, wong dibuat aktifitas yutupan, ludoan, dan ngepes.

Jadi wajar, kalau susah dibangunin. Sebab di satu sisi matanya lelah melihat sinar hengpon. 
Hingga butuh pepetengan yang cukup. Di sisi lain, dia tak terlalu pusing-pusing amat dengan aktifitas di luar ngajinya. Alias cah selo. Yang berumus hidup tidur nyenyak, madang jenak. 
--
Saya pun abai lantas berganti pakaian, mengambil wudu dan bergegas sembahyang. Di sela-sela sembahyangku, kedua temanku sudah tuntas mandi lalu berganti pakaian dan bergegas sembahyang . Yang tadi tidur, masih tidur juga.

Setelah kita sudah siap berangkat, temanku masing-masing memandangi teman kita yang masih tidur. Pandangan kita bersirobok.

“Jaq, bangunin Dopir lah, dia mau ikut ngantar kiai atau nggak? Bisa-bisanya masih tidur.” 

Saya menyeka mengingatkan untuk segera membangunkan Dopir.
Ojaq langsung tanggap, sambil menepuk-nepuk kaki Dopir, ia berujar “Pir….Dopir!... Bangun! Kamu ikut nggak?”

Dopir masih tidur, sampai kata dan gerakan itu diulang sampai ketiga kalinya, ia baru mulet-mulet dan sadar. Dari mulutnya sekelebat dia berucap “Nggak. Aku mau tidur.”

“Bajingan. Lah awit mau koe ngopo, Pir…Dopir…!!! Sare?! Ngebluk?! Memejamkan mata?! Sare?! Menelentangkan badan!”

Yang diumpati tetap tidur dengan tenang di alamnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)