Rejuvenasi Santri dengan Mujahadah Globalisasi

Sumber Foto: Dreams


Oleh: Afrizal Qosim Sholeh

“Adapun buih itu maka akan musnah tak berbekas, akan tetapi sesuatu yang memberi kemanfaatan bagi manusia, maka ia kekal di muka bumi”
(QS. Ar-Ra’du;17)

Suatu hari, ada seorang teman bilang seperti ini kepada penulis, “Setidaknya ada lebih dari lima teman saya—kebetulan mereka santri—yang followers Instagramnya di atas angka 1000. Kuperhatikan geliat kesehariannya, meski hanya via dunia maya. Di hari-harinya, mereka hampir selalu membuat Story; semacam ruang publish kegiatan keseharian di Instagram. Mulai dari curhatan, berada di sebuah tempat; Mal, Café, Wisata, selfie dengan dandanan super waw, bahkan ritual ibadah pribadi, pun mereka publish.”
Kemudian dia melanjutkan secara sindiran menggelitik, “Barangkali Story Instagram itu apik, sebab, minimal kita mengetahui kabar dari teman-teman lewat dunia maya. Mengetahui perilaku apa yang mereka gemari dan geluti, cukup perhatikan Story IG-nya. Melihat teman merasa bahagia dan sedih sekarang tidak sulit, cukup amati Story IG-nya. Pun jika ingin stalking dia punya kinasih atau tidak, cukup amati IG serta Story IG-nya.”
Kujawab saja uraian teman saya itu dengan ringan dan santai, “Baiklah, fenomena semacam itu, anggap saja sebagai ikhtiar idkholussurur fi qolbil ‘followerriyin’; mentransfer kebahagian ke hati para follower.”
Lantas dia menambahkan, “Mengapa santri sekarang kok sedemikian mudah bergumul dengan globalisasi?, misal yang tadi itu, euphoria maya santri sedemikian membuncah!”.
Kalau saya mau kasar, pertanyaan yang diajukan kepada saya itu adalah pertanyaan berbau orientalistik. Tidak hanya kategoris dan binaris, tetapi juga merendahkan. Sarkastik. Saya bertanya balik, apa karena kita santri makanya kita tidak boleh aktif, mengakomodasi kemajuan? Apa karena di setiap harinya dijejali kitab kuning, diajar dengan metode klasikal dan digencer ritual ibadah keagamaan, lantas dilarang juga beribadah sosial-religius di jagad maya?.
Sedari mengelus dada, saya mencoba menahan amarah.
Penegasan Karakter Pesantren
Menariknya lagi, pertanyaan-pertanyaan di awal tadi, kok baru kali ini diutarakan dengan tanpa pretensi atas apa yang diharapkan. Artinya, pertanyaan itu adalah stigma atas betapa masyarakat pesantren sedemikian terhanyut dalam realitas globalisasi, yang berwujud teknologi dan informasi; internet dan sosial media.
Dalam bathin, memangnya kalian belum baca bukunya Abdullah Hamid Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren: Pelajaran dan Santri dalam Era IT dan Cyber Culture (2017)? Atau memang sampean-sampean jarang baca buku?. Kuharap tidak.
Di dalam bukunya, Hamid mengharapkan bangkitnya moral tradisi pesantren sebagai ikhtiar pengakomodasian dan pendekatannya terhadap IT dan cyber culture. Ikhtiar yang diupayakan itu dalam koridor benteng pertahanan masyarakat pesantren Sebab ihwal character building sejatinya telah menjadi sifat dasariah dari pendidikan yang diajarkan di pesantren. Corak dari nilai-nilai, norma, moral serta spiritualitas yang dikelola dalam kurikulum maupun pengajaran amaliah di pesantren, adalah kunci. Adalah modal sosial (capital social) dari masyarakat pesantren itu sendiri. 
Jauh sebelum Hamid, Nurcholish Madjid—penulis disertasi Ibn Taymiyya on Kalam and Falasifa pada dua puluh tahun yang lalu dalam Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1997:180), juga mencoba mengevaluasi sistem peran pesantren terhadap masa depan pendidikan Islam bangsa Indonesia. Dia mengidealkan pesantren harus mengambil posisi sebagai pengemban amanat ganda (duo mission), yaitu amanat keagamaan atau moral dan amanat ilmu pengetahuan.
Setelah mengetahui karakteristik dan misi pesantren, lantas bagaimana ikhtiar santri menjawab globalisasi. Apakah kita menghanyutkan diri? Atau berelaborasi?
Menilik modal sosial pesantren tadi, sekaligus dalam rangka membantah anggapan bila santri hanya sanggup ‘ngartis’ di media sosial, tidak memungkiri tumbuh ikhtiar lain yang dilakukan oleh segolongan ‘santri liyan’ dalam berdakwah. Berbicara Islam rahmatan lil alamin di jagad maya. Setidaknya ‘ngartis bilhimkmah wal mauidhatil hasanah-lah’.
Namun, relatifitas atas relevansi globalisasi terhadap santri, nyatanya, tidak melulu terpaku pada ihwal fungsi sosialnya belaka; seperti berdakwah. Akan tetapi, lebih jauh, sebagai manusia utuh, globalisasi tak pernah pandang bulu. Dampak yang diakibatkan mereka adalah ad-dunya wa ma fiha. Sejarah mengatakan bahwa globalisasi itu buah dari pendidikan Barat. Ada yang mengatakan ‘modernisasi’ itu sama dengan ‘westernisasi’. Pola-pola yang ditawarkan globalisasi, itu lahir di bawah kontekstualisasi Barat dengan pandangan tertentu tentang realitas alam. Epistimologi globalisasi berkonotasi dengan akar filosofis kaum Barat. Cara-cara Barat, adat-kebiasaan Barat, tradisi Barat serta weltanschauung Barat. Semua serbi Barat. Jika boleh bersepakat, penulis mengamini dawuh Sayyed Hossein Nashr dalam “Knowledge and The Sacred” (1989); dia berinklusi bila modernisasi Barat telah dijauhkan dari nilai-nilai etika. Dari situ, kita mungkin akan menemukan celah globalisasi untuk kita perbaiki. Sebab dalam mengelola globalisasi, mereka (Barat) cenderung dan, bisa dipastikan, hanya akan berlandaskan pada nilai-nilai produksi. Sementara mereka lalai akan implikasi moral, spiritualitas serta gejala psikis terhadap konsumennya. Nah, ihwal metafisika itu, yang menjadi concern sekaligus ‘indigenous’ bagi kultur santri dalam merealisasikan ‘Mujahadah Globalisasi’.
Mendoakan Kebangkitan
Mujahadah ini bertujuan untuk mewanti-wanti supaya tidak terulang (lagi) sejarah luka lama bangsa Islam, seperti yang dialami oleh Musthafa Kemal At-Tartuk—pemimpin kerajaan Turki Usmani, dengan pemahaman minim akan sejarah pemikiran serta filsafat Barat, membawanya pada penerimaan secara mentah-mentah ideologi Barat mengenai negara sekuler yang diupayakannya di Turki kala itu. Sialnya, ikhtiar tersebut justru malah menjerumuskan Islam, lebih dekat kepada kehancuran.
Sejarah Mujahadah di Indonesia itu sendiri, disebutkan oleh Munawwar Abd. Fattah (2006:143), sama halnya mewirid reformasi. Bayangkan, menjamurnya majlis mujahadah bermuasal dari gejolak masyarakat muslim, terutama Nahdliyin, terhadap perilaku otoriter dan menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh orde baru. Nah, upaya melakukan mujahadah tersebut bertujuan untuk mengcounter ketidak-tepatannya sikap orde baru.
Ala kulli hal, Mujahadah Globalisasi sebagai ikhtiar santri dalam menghadapi realitas globalisasi yang makin menjadi-jadi ini, menurut penulis dilakukan dengan tiga buah langka dalam kerangka besar hadis Nabi Saw. berikut; “’Ala al-aqil an yakuuna ‘aarifan bizamaanihi musytaqbalan fiy sya’nihi ‘aarifan birabbihi” (seorang yang berakal harus paham kondisi zaman, berbuat yang terbaik untuknya, seraya mengingat Tuhan). (al-hadis; dalam kitab Muhasabatunnafsi li ibni abi dunya: 12). 
Pertama, Dinamisasi (’Ala al-aqil an yakuuna ‘aarifan bizamaanihi), sebuah upaya mere-organisir adat dan perilaku lama lalu mengelaborasikannya dengan nilai-nilai baru, buah dari perenungan dinamika zaman. Dinamisasi ini ditekankan untuk mengembalikan degradasi moralitas serta spiritualitas masyarakat yang sempat goyah, tatkala dibenturkan dengan globalisasi. Salah satu upaya menuju ke sana adalah dengan pencarian kembali sebuah nilai-nilai agung dalam keseharian santri, merenung akan keberadaan dan kekhususan diri dan zaman, menemukan sikap yang tak berlawanan arah, pun tak searah—Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli (Sunan Kalijaga, Serat Lokajaya, Lor 11.629) dengan harapan memudahkan untuk beradaptasi, beintegrasi dengan zaman dan norma-norma yang telah berjalan namun tidak jatuh ke dalam. Dengan prinsip mengambil hal yang baik, menolak hal yang buruk. 
Kedua, Reproduksi (musytaqbalan fiy sya’nihi), setelah dianggap sanggup menempatkan posisi yang tepat, usaha seorang santri selanjutnya adalah memproduksi ulang teks-teks dan ajaran dalam pesantren. Entah itu berwujud tulisan dan atau dalam aksi dakwah. Sebab, kemungkinan, kalau kita enggan mereproduksi ajaran pesantren, muatan-muatan ajaran agama bercirikan pesantren akan tergerus oleh beberapa ideologi yang merugikan agama Islam itu sendiri. Bahkan sekarang pun, ranah cyber religion masih belum bisa dikatakan telah kita kuasai atau pegang seutuhnya. Internet dan sosial media dewasa ini menjelma menjadi sentral peredaran ajaran-ajaran keagamaan, sementara kaum Islam fundamentalis—yang tak mendapatkan tempat berdakwah di dunia nyata, membuatnya memilih jagad maya sebagai jalan berdakwahnya. Hingga penuh ideologi mereka di sana.
Imam Malik menyatakan: “Laa yashluhu amru hadzihi al-ummah illa bima sholuha bihi awa’ilihaa”(Tiada bakal jaya urusan umat ini melainkan dengan konsep lama yang pernah membawa kejayaan umat zaman dahulu kala). Ikhtiar bagi santri untuk berkarya dan memperbaharui karya-karya ulama terdahulu merupakan jihad literatif yang damai dan menyejukkan. Pun kedepannya, dakwah kita akan sempurna juga dengan kesanggupan kita dalam mengisi celah kekosongan di berbagai segi kehidupan. Sebab sesuatu yang memberi kemanfaatan, akan kekal di muka bumi.      
Ketiga, Menemukan konsepsi kedamaian (‘aarifan birabbihi) adalah reinternalisasi atau titik sublimitas dari gerak perjuangan spiritual atau mujahadah globalisasi. Di mana setelah dirasa cukup mampu untuk berkontemplasi dengan zaman, membaca dan mentransformasikan teks langit ke jagad bumi, atau meminjam istilah Gus Dur—Membumikan Islam, menyodorkan gagasan Islam dengan tidak menafikan agama-agama lain yang duduk berdampingan, fardhu untuk menyalami saudara dalam naungan pancasila. Di pesantren kita diajari hidup bersama meski dari berbagai daerah, begitu halnya di masyarakat, harus sama. Sama-sama saudara, saling memiliki rasa satu sama lain. Karena itu semua, musabab multikultural dan multi-religion bangsa harus tetap teguh-tegap dipegang dan dipertahankan.
Adakalnya menyibak zaman seperti berbicara dengan Tuhan. Seolah-olah setelah kita mengetahui hal ini, terasa lebih mengenal Tuhan secara lebih dekat. Keyakinan terhadap tempat kembali adalah hal yang menjadi pembeda kita dengan pendidikan barat. Bahwa segala sesuatu akan kembali kepada-Nya sebab milikNya. Kontemplasi dengan Tuhan serta zaman inilah nilai-nilai sublimitas terhadap mujahadah globalisasi atau yang penulis maksud sebagai ‘menemukan konsepsi kedamaian’. Kita beragama dengan tanpa melupakan Tuhan. Kita berilmu dengan tanpa meragukan keagungan Tuhan. Sebab Dia menjadi bayang-bayang kita juga.  
Dari sini saya teringat seruan Gus Mus yang dikutip oleh Edi AH Iyubenu buah oleh-oleh sowannya ke Rembang (Mojok.co,18/07/2017). Dalam tulisan renyah itu, Mas Edi menceritakan bila Gus Mus mengomentari perkembangan agama Islam di Indonesia kala itu. Jika Islam sekarang disampaikan dengan corak lain; kasar, keras, diskriminatif, mencaci-maki satu sama lain. “Islam seperti itu mudah dipropagandakan melalui media informasi masa kini,” dawuh Gus Mus. “Seperti Youtube, Televisi, Radio dan berbagai medsos lainnya.” Beliau sekali lagi berkomentar begini “Orang-orang muslim moderat ini ya harus tampil ke panggung. Melalui tulisan atau ceramah. Jangan diam lagi. Diam tak lagi membantu apa-apa pada keadaan yang makin mencemaskan ini.” 
Lah, yang melahirkan muslim moderat di Indonesia itu siapa lagi kalau bukan institusi Islam yang masyhur disebut “Pesantren”. Wallahu A’lam



Daftar Pustaka
Buku
Abdul Fattah, Munawwar., Tradisi Orang-Orang NU (Yogyakarta: LKis, 2006)
Hamid, Abdullah., Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren: Pelajaran dan Santri dalam Era IT dan Cyber Culture (Surabaya: Imtiyaz, 2017).
Madjid, Nurcholish., Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina Press, 1997).
Nashr, Sayyed Hossein., Knowledge And Sacred (State University of New York Press, 1989).

Internet
Iyubenu, Edi Ah, Gus Mus: Muslim moderat harus tampil ke panggung dalam https://mojok.co/edi-ah-iyubenu/liputan/bertamu-seru/gus-mus-muslim-moderat-harus-tampil-ke-panggung/ diakses pada 09 Oktober 2017 pukul 15.45 Wib.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)