Ketika Khotbah Jumat Jadi Alat Perpecahan dan Dilema Kredo Agama

Sumber Foto: Khazanah - Republika


Oleh : afrizal qosim sholeh*

Beberapa kali saya ringkuh dengan khotbah yang panjang dan juga lama. Apalagi khotbah yang disampaikan dengan menggebu-nggebu, energik, dan tak karuan gesture dan intonasinya.

Benar saja, jika khotbah merupakan rukun salat Jumat. Tidak sah Jumatan bila tanpa adanya khotbah. Hingga khotbah diatur tanggal dan tema agar, sesuai dengan moment, tapi belum tentu kontekstual.

Belum dengan soal khotbah yang berisi ujaran kebencian, teror, dan isu SARA. Menyudutkan—kebanyakan berwujud fitnah dan persoalan pribadi—satu pihak dengan dalih agama, lantas membenarkan pihaknya sendiri. Seperti pengalaman yang dialami oleh Gus Ulil Abshar Abdalla dengan Abdul Gaffar Karim. Yang sempat menikmati khotbah provokatif ketika melaksanakan Jumatan di Jakarta.

Serta beberapa aduan soal isi khotbah Jumat yang provokatif, yang diterima oleh Menteri Agama. Seperti yang juga pernah terjadi di Gunung Kidul, ketika salat ied, khatib menyinggung kasus penodaan agama dengan ujaran kebencian yang mengakibatkan jamaah bubar.

Persoalannya kemudian, khotbah itu bertempat di masjid, sedang masjid merupakan tempat ibadah, lantas apakah masjid, secara personifikasi, juga membenarkan usaha mengadu-domba? Mengumbar aib orang lain? dan menyeru untuk bermurka?

Tentu tidak! Hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam. Laa masjida ussisa ‘ala at taqwa. Bahwa ketakwaan telah menjelma dalam koridor niat dalam membangunan masjid. Takwa itu dianasirkan melalui niat menyediakan ruang beribadah dengan baik, bukan malah digunakan untuk menerjang dan menerpa ketakwaan itu sendiri, sebagaimana perilaku pengkhotbah tadi.  

Adapun masyarakat yang menerima khotbah, besar kemungkinan akan  mengamini pesan khatib tersebut. Terlepas dari paham tidaknya jamaah akan isi khotbah, sedikit banyak mereka akan menginternalisasi nilai-nilai kalaliman tersebut. Apalagi yang dijadikan alat adalah agama.

Bagi masyarakat kota, agama menjadi semacam pesakitan. Mereka yang diderai ombak kehidupan, berlai ke ranah agama untuk mencari perlindungan. Sebab pesakitan, umat enggan agamanya dicederai. Dengan dalih apapun mereka akan usahakan demi mempertahankannya, meskipun dengan cara mencederai saudara seimannya sendiri.

Khotbah yang disampaikan dengan model demikian apakah sanggup membawa nilai-nilai dasar khotbah; ud’uu ila sabili robbika bil hikmati wal mauidhotil hasanah?  Jawabannya jelas tidak. Meskipun mereka memuat dalil nash Alquran, akan tetapi pada dasarnya itu hanya upaya politisasi khotbah dengan dalih nas agama.

Dalam hal ini negara sudah merespon dengan baik. Melalui Kementerian Agama, negara mencoba mengatur dan membatasi isi khotbah. Dengan harapan, telinga masyarakat tidak dirisaukan dengan cemoohan dan ujaran kebencian yang menyulut permusuhan.

Pada dasarnya, upaya yang dilakukan oleh kemenag itu bukan semata menyatakan bahwa khotbahnya belum benar. Asal sudah memenuhi syarat, khotbah Jumat dianggap benar. Sebaliknya, apabila syarat sudah terpenuhi tapi muatan yang dibawa jauh dari nilai keislaman bisa jadi khotbah itu tidak sah. Karenanya, Kemenag mencoba menggarisbawahi prinsip-prinsip yang mencedari Islam itu sendiri.

Negara Mesir yang juga kental dengan unsur keislaman, sejak tahun 2014 sedang berupaya menangkal merebaknya gerakan ekstremisme mencoba menyeragamkan isi khotbah. Khotbah yang akan disampaikan oleh khatib, ditulis oleh institusi keagamaan di masing-masing daerah. Sehingga isu dan konteks mendapatkan momentnya. Dari sana kita bisa mengambil pelajaran, bila pemerintah bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia untuk membuat isi teks khotbah yang sesuai dengan ajaran Islam.     

Ala kulli hal, inti dari khotbah itu menyeru dan mengajak untuk mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; ittaqu allaha haqqa tuqotihi. Bertakwalah kepada Allah dengan kesejatian takwa. Apa itu kesejatian takwa? Yakni dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi segala larangannya. Dalam ranah sosiologis, takwa itu menyelamatkan sesama manusia dengan lisan dan tangannya.  

Karenanya, tidak dibenarkan menggunakan khotbah untuk mengelabui Tuhan dengan memperolok dan memfitnah sesama manusia dengan alat agama Tuhan. Mending khotbah sedikit tapi internalisasi untuk mempertebal iman dan takwa bisa diterima dengan baik. Daripada khotbah panjang yang mencederai sesama muslim sendiri. Apalagi tahun ini tahun politik, maka pengawasan akan hate speech dan politisasi masjid harus digencarkan.

*Mahasiswa Sosiologi Agama dan pegiat di Lingkar Studi Pengembangan Pondok Pesantren (LSP3)    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)