Keblinger Angan (Sebuah Catatan terhadap Film Jakarta Undercover)
Selayaknya megapolitan,
Jakarta menyimpan berjuta variasi kehidupan. Lingkungan yang terbentuk secara
bergelombang—sebab pembangungan infrastruktur yang menggerus pemukiman warga,
membuatnya memiliki kompleksitas ruang lingkup kehidupan yang bervariasi pula.
Mereka yang sukarela
mempertaruhkan hidup di sana, adalah mereka yang berani berjuang mencari celah
dalam kompleksitas ruang kehidupan tersebut. Barangsiapa yang sanggup
mencermati celah ruang itu dan sanggup menaklukannya, mereka mendapatkan
predikat Sang Penakluk Ibu Kota.
Tentu saja, untuk
menjadi sang penakluk itu tidaklah mudah. Anda mesti sanggup tabah bersaing
dengan berjibun manusia yang sama-sama mengadu nasib di sana. Fakta rasio kesuksesan/keberhasilannya
pun, ternyata lebih sedikit dari pada ketidakberhasilannya.
Fakta itu dipertegas dengan banyaknya perantau yang terpaksa menikmati peran
sebagai pengangguran atau menjadi masyarakat pinggiran. Yang berarti mereka
mengulang kehidupan selayaknya di desa. Inilah yang saya istilahkan sebagai
“keblinger angan”, yaitu penyelewengan kenyataan terhadap ekspektasi.
Akan lain
ceritanya, apabila celah itu sanggup ditemukan. Seperti yang dengan sungguh diperjuangkan
oleh Muammar Emka. Sesosok tangguh, ia membidani kelahiran buku yang sangat
kontroversial yaitu “Jakarta Undercover” ini, begitu berani memperjuangkan hak
dirinya untuk memperoleh signifikansi kehidupan di Ibu Kota. Ia mempertaruhkan
bakatnya sebagai seorang wartawan untuk menggeluti Jakarta. Hingga dari buah
tangannya, terlahir buku Jakarta Undercover, yang menguak sisi gelap dari
gemerlap cap Ibu Kota Negara Indonesia tersebut.
Lebih
membanggakannya lagi, buku tersebut telah sukses difilmkan pada tahun 2017
silam.
Bagi saya,
Jakarta Undercover hanyalah catatan seorang jurnalis belaka, yang secara tak
sengaja, tercebur dalam dunia underground Ibu Kota. Akan tetapi, malahan
justru dari catatan sederhana tersebut, saya melihat ketelatenan, ketelitian,
kecermatan hingga kejernihan pikiran dari Muammar Emka. Bayangkan, sebagai
seorang jurnalis, ia dengan apik memposisikan dan memperankan dirinya tatkala
secara tak sengaja tercebur dalam dunia 3D party; drugs, drink, and dancer, everyday
is party.
Di awal-awal, Emka
merasai kesan yang masih aneh, tapi lama-kelamaan ia terbiasa mengikuti pola
hidup mereka. Ia sedemikian cepat menangkap fenomena di hadapannya.
Meskipun,
bagi saya, fenomena itu sangat wajar jika dianggap aneh oleh Muammar Emka, sebab basic
identity dia adalah seorang perantau. Hal-hal di luar kebiasaan adat lingkungannya, pada umumnya, tetap akan dicap
aneh dan tentu saja terasa ganjil jika dilakukan. Namun, Emka membuatnya lebih
aneh dari anggapan orang lain.
Dunia
seksualitas dan lokalisasi barangkali lumrah hadir di daerah-daerah. Ia
menjelma bak parasit tetumbuhan yang akan terus menjalar jika tak . Sehingga segala konstruksi masyarakat menerima
dan mengamini hasil pencariannya tersebut.
Tentu di balik
kecemerlangan buah karyanya itu, bayang-bayang kecaman dan amuk dari who man
have the party pasti membuntutinya. Dan koorporasi-koorporasi ilegal di
belakangnya. Setiap yang hidup di muka bumi ini pasti dimintai
pertanggungjawaban. Setidaknya, Emka telah berhasil mempertanggung-jawabkan
penglihatannya selama mendekam di dunia di balik tirai Jakarta tersebut.
Tapi nyatanya
perjuangan jurnalistik itu tuntas dan terbayarkan dengan berkurangnya minat
masyarakat terhadap gairah seksualitas dan narkoba. Persepsi akan tubuh bagi
seorang pelacur yang mengatakan bahwa my body is my investasy, hadir
dari tekanan sosio-economic Ibu Kota. Mereka berkata; “tubuhku adalah
investasiku”, yang pada dasarnya mereka berinvestasi tubuh pada seorang,
katakanlah Mucikari, sehingga olehnya tubuh itu bisa dieksploitasi dengan
semena-mena dengan cara menerima panggilan dari satu tempat ke lain
tempat.
Komentar
Posting Komentar