Temanku Bercadar dan Sebab-Sebab Kita Pekewuh Kepadanya (3)




"Mbak Rohana kira-kira marah nggak ya, ajakannya kita acuhkan? Kita nggak ikut dia ke masjid". Cetus Surip memecah suasana.

Yang lain tetap bergumam. Nggak berani berkomentar. Saya ngudud sambil mengasisteni Menantu Bu Dukuh memasak, Bambang sibuk dengan berasnya, Wikan serius mengajari Kacung mengiris brambang,  sedang Acep dan Fika masih terus berdebat membuat irisan tempe dan tahu yang proporsional.

"Horizontal ajaloh, biar banyak."

"Jangan, ntar mengubah rasa, mending segitiga".

Surip yang geli menyahut perdebatan dua orang itu, "R1 dan R2 aja sekalian!".

"Ndasmu!! mbok piker stik ps!". Gertakku.

Semua tertawa, tak terkecuali cucu Bu Dukuh yang masih ngempong.

"Lah mbok nggak usah ribut soal itu, pertanyaanku tadi loh dijawab tah". Timpal Surip dengan ekspresi kemarahan yang meluap-luap.

Mendadak suara tawa itu lenyap, mengudara bersama oseng-oseng Menantu Bu Dukuh yang selalu didominasi oleh aroma cabe. Aroma itu seketika terhirup oleh hidung-hidung perut yang keroncongan. Lantas, menantu Bu Dukuh itu angkat bicara.

"Kowe kowe kalau pergi ke masjid semua ntar nggak ada yang masak, terus kalian makan apa? Madang ban?! Kalau nggak makan apa-apa pasti nggak enak, lebih-lebih kalau nanti jatuh sakit. Apa kalian pengin sakit?"

"Nggak, Mbak". Kujawab sekenanya.

"Laiyo, mosok aku terus yang kalian suruh memasak? Yo wegah!".
Kalau saya punya kekuatan seribu kaki, pasti saya akan lari. Tapi untung, yang marah-marah itu perempuan yang suka memasak. heuheu. (:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)