Skripsi dan Godaan Nikmat Kawula Muda
Mimpi menjadi
Mahasiswa, ketika menginjak kelas akhir Sekolah Menengah Atas, adalah hal yang
maju. Segera direlakan beberapa waktu luangnya untuk belajar, bimbingan,
sekedar supaya sanggup menyelesaikan soal-soal masuk Perguruan Tinggi, yang
berlabel negeri, atawa favorit.
Atau kalau tidak mau
susah, tinggal kontak orang, kasih jimpitan
berapa sepantasnya—kalau bisa di atas rata-rata orang memberi—lantas, namamu
akan tertera pula dalam deretan calon mahasiswa kampus ini dan itu. Bukan lagi
menjadi rahasia umum kan? Terus ga perlu ikut perkuliahan. Nanti tugas, laporan
dan skripsi sudah ada dan tahu-tahu posting foto wisuda di akun medsosnya.
Diterima dan masuk ke Perguruan
Tinggi merupakan sebuah prestasi yang menggemparkan, kegembiraan pun berimbas
kepada orang tua. Setiap pagi, setelah membeli barang di pasar yang akan
langgeng menjadi bahan obrolan, salah satunya ya mengenai kuliah alias menjadi
mahasiswa. Misal ibu-ibu itu akan berbicara begini, “anakku sekarang kuliah di
kampus A di Yogyakarta”, “Kemarin itu, baru saja mendapat beasiswa”, “dia
sempat juga pernah menjadi kayak ngisi-ngisi seminar begitu”, dan lain
sebagainya. Obrolan ibu-ibu itu selain sebagai pucuk kebahagiaan atas
anak-anaknya yang mengenyam pendidikan tinggi, pun dibarengi dengan kebahagiaan
akan martabat hidupnya yang tidak berkurang, barang sedikitpun.
Nyatanya, tidak jarang
kita hanya berleha-leha di tempat kita kuliah. Mulai jadi traveller dadakanlah,
bertolak ke tujuan wisata dan mall jadi lebih hafal dibandingkan dengan
menghafal pelajaran, mata kuliah dan tugas-tugasnya. Anomali perkuliahan itu
berkelindan dengan kegamangan pemuda atas hal-hal dalam arus utama. Serta
keengganan akan urusan duniawi kampus. Medsos patronnya. Penghargaan termudah
bagi mereka adalah dengan kontinu memberi “like” di beberapa postingannya di
beberapa medsosnya. Itu penghargaan terbaik. Tapi parahnya, itu penghargaan tak
terkira yang berimbas pula atas kehidupan berwujud interaksi sosial yang nyata,
yakni perkara penghargaan tersebut, candu penghargaan, penghormatan, dan
semacamnya.
Bolehlah, menjadi
mahasiswa legenda, riwa-riwi kampus sampai tujuh tahun. Ikut kelasnya adek-adek
gemes, hingga ridho dipanggil mahasiswa basi. Akan tetapi mitos itu terpecah
dengan kebutuhan-kebutuhan lain di luar perkuliahan. Kuliah nomor ke berapa, entah
tugas akhir atau skripsi. Bisa jadi tak dapat nomor mungkin.
Kemungkinan besar, skripsi
bagi mahasiswa adalah tujuan yang tidak mudah disepelekan. Dianggap susah
ataupun mudah, skripsi tetaplah sebuah tangga. Tangga gelar kesarjanaan
tentunya. Sampai beberapa kali, penulis ditanya “lah kalau skripsi itu gimana
Mas?”, “Hm. Gimana ya Mas, ya dijalani semampunya sajalah Mas”. Malu-malu atau
tidak mampu, mungkin adalah siratan jawaban atas pertanyaan tersebut. Mahasiswa
kalau mendengar skripsi, tidak sedikit dari mereka yang melempar muka lantas
mengalihkan suasana.
Apabila diutarakan, skripsi menjadi legitimasi
mahasiswa untuk menambah deret panjang di barisan namanya, dalam wujud gelar
kesarjanaan tadi. Ya S.H, S.Ag, S.Pd, S.sos, S.si, dan lain-lain. Senajan skripsi itu, maaf, kurang akan
prinsip mualamah atau keberpihakan
atas kelangsungan hidup manusia. Terpenting tuntas, dapat Toga.
Barangkali Tuhan perlu
merevisi pertanyaan kubur kelak, bagi para mantan-mantan mahasiswa. Menanyakan
ihwal kemanfaatan dan hasil dari skripsinya. Apabila itu disepakati, mungkin
tak ada lagi pembakaran skripsi yang sebelumnya pernah terjadi di UIN Alauddin
Makassar pada tahun 2016 kemarin. (detiknews,
03/03/2016). Dalih digitalisasi data, agaknya cuma lampu kuning yang dengan
mudah diterabas oleh pengendara usil.
Sebenarnya Skirpsi pun
merupakan pertanyaan kubur. DI sana, bakal ada tu Amal-amal apa saja yang telah
anda lalui selama menjadi mahasiswa, akan pula tertuang dan ditanyakan kepada
anda. Tanpa terkecuali. Sekecap anda berbicara, pertanggung-jawaban akan
mengikuti pula.
Seolah sulit membedakan
kedua nomenklatur itu, tetap saja kita tidak bisa lari dari kenyataan. Jika
skripsi adalah kewajiban mahasiswa, bahwa skripsi adalah semacam pertanyaan
kubur bagi mahasiswa, bahwasannya skripsi pula yang mengantarkanmu kepada gelar
kesarjanaan yang kamu cita-citakan sebelumnya. Lantas apa yang kamu takutkan?
Pada dasarnya, dalam
pembacaan saya atas pendapat teman-teman, jika skripsi itu bukanlah perkara ghayah. Kalau dia hanya berpatok sebagai
hal yang dituju, kemungkinan skripsi itu akan selesai adalah perkara yang
mudah. Spirit untuk menyelesaikan bukanlah hal genting, layaknya antri bikin
KTP-e di kecamatan. Apalagi dikeluh-keluhkan kepada setiap manusia yang dekat
denganmu. Bukannya mengeluh itu malah mengubur spiritmu ya? Keterbelengguanmu
akan keluhan-keluhan negatifmu itu tidak lebih baik dari ceramah yang masih
saja mengutarakan hujatan-hujatan kebencian.
Selayaknya jalan hidup
Ala
kulli hal, 130 sks yang kau habiskan itu, jangan-jangan telah
kau kubur juga, dengan impianmu, sejak sebelum berusaha menggapai pencapaian
skripsi. Tak ada yang menakutkan dari skripsi, adanya anda yang menakuti
skripsimu itu sendiri. Tapi banyak sebab pula yang mengantarkanmu ke sana,
misal kesulitan menghubungi dosen pembimbing, susah memulai meski hanya satu
kalimat berbunyi “tema”.
Bahkan beberapa akan
menahan teror jiwa mendera berbunyi “kapan nikah?”. Itu pun kalau pacarmu itu
baik hingga sabar menungguimu sampai selesai masa-masa skirpsimu, lah kalau
tidak bagaimana?. Sebab itu, pemakzulan
akan impian-impian tersebut di awal itu, barangkali adalah titik penting
sebelum kau merasa gagal sepenuhnya. Kalaupun tidak, skripsi tetap akan menjadi
momok menakutkan bagimu, kau campakkan dia hanya sebagai tugas akhir, tanpa
intonasi pengabdian hidup, mencakup mengukir nama dalam keabadian. Sama sekali
tak terjamahkan. Karenanya, gausah memikirkan skripsi! Tapi kerjakan skripsi!. Wallahu A’lam.
*Langganan
Ngopi di Kantin Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar