Skripsi dan Godaan Nikmat Kawula Muda

Oleh : Afrizal Qosim Sholeh*

Mimpi menjadi Mahasiswa, ketika menginjak kelas akhir Sekolah Menengah Atas, adalah hal yang maju. Segera direlakan beberapa waktu luangnya untuk belajar, bimbingan, sekedar supaya sanggup menyelesaikan soal-soal masuk Perguruan Tinggi, yang berlabel negeri, atawa favorit.
Atau kalau tidak mau susah, tinggal kontak orang, kasih jimpitan berapa sepantasnya—kalau bisa di atas rata-rata orang memberi—lantas, namamu akan tertera pula dalam deretan calon mahasiswa kampus ini dan itu. Bukan lagi menjadi rahasia umum kan? Terus ga perlu ikut perkuliahan. Nanti tugas, laporan dan skripsi sudah ada dan tahu-tahu posting foto wisuda di akun medsosnya.   
Diterima dan masuk ke Perguruan Tinggi merupakan sebuah prestasi yang menggemparkan, kegembiraan pun berimbas kepada orang tua. Setiap pagi, setelah membeli barang di pasar yang akan langgeng menjadi bahan obrolan, salah satunya ya mengenai kuliah alias menjadi mahasiswa. Misal ibu-ibu itu akan berbicara begini, “anakku sekarang kuliah di kampus A di Yogyakarta”, “Kemarin itu, baru saja mendapat beasiswa”, “dia sempat juga pernah menjadi kayak ngisi-ngisi seminar begitu”, dan lain sebagainya. Obrolan ibu-ibu itu selain sebagai pucuk kebahagiaan atas anak-anaknya yang mengenyam pendidikan tinggi, pun dibarengi dengan kebahagiaan akan martabat hidupnya yang tidak berkurang, barang sedikitpun.
Nyatanya, tidak jarang kita hanya berleha-leha di tempat kita kuliah. Mulai jadi traveller dadakanlah, bertolak ke tujuan wisata dan mall jadi lebih hafal dibandingkan dengan menghafal pelajaran, mata kuliah dan tugas-tugasnya. Anomali perkuliahan itu berkelindan dengan kegamangan pemuda atas hal-hal dalam arus utama. Serta keengganan akan urusan duniawi kampus. Medsos patronnya. Penghargaan termudah bagi mereka adalah dengan kontinu memberi “like” di beberapa postingannya di beberapa medsosnya. Itu penghargaan terbaik. Tapi parahnya, itu penghargaan tak terkira yang berimbas pula atas kehidupan berwujud interaksi sosial yang nyata, yakni perkara penghargaan tersebut, candu penghargaan, penghormatan, dan semacamnya.  
Bolehlah, menjadi mahasiswa legenda, riwa-riwi kampus sampai tujuh tahun. Ikut kelasnya adek-adek gemes, hingga ridho dipanggil mahasiswa basi. Akan tetapi mitos itu terpecah dengan kebutuhan-kebutuhan lain di luar perkuliahan. Kuliah nomor ke berapa, entah tugas akhir atau skripsi. Bisa jadi tak dapat nomor mungkin.
Kemungkinan besar, skripsi bagi mahasiswa adalah tujuan yang tidak mudah disepelekan. Dianggap susah ataupun mudah, skripsi tetaplah sebuah tangga. Tangga gelar kesarjanaan tentunya. Sampai beberapa kali, penulis ditanya “lah kalau skripsi itu gimana Mas?”, “Hm. Gimana ya Mas, ya dijalani semampunya sajalah Mas”. Malu-malu atau tidak mampu, mungkin adalah siratan jawaban atas pertanyaan tersebut. Mahasiswa kalau mendengar skripsi, tidak sedikit dari mereka yang melempar muka lantas mengalihkan suasana.
 Apabila diutarakan, skripsi menjadi legitimasi mahasiswa untuk menambah deret panjang di barisan namanya, dalam wujud gelar kesarjanaan tadi. Ya S.H, S.Ag, S.Pd, S.sos, S.si, dan lain-lain. Senajan skripsi itu, maaf, kurang akan prinsip mualamah atau keberpihakan atas kelangsungan hidup manusia. Terpenting tuntas, dapat Toga.
Barangkali Tuhan perlu merevisi pertanyaan kubur kelak, bagi para mantan-mantan mahasiswa. Menanyakan ihwal kemanfaatan dan hasil dari skripsinya. Apabila itu disepakati, mungkin tak ada lagi pembakaran skripsi yang sebelumnya pernah terjadi di UIN Alauddin Makassar pada tahun 2016 kemarin. (detiknews, 03/03/2016). Dalih digitalisasi data, agaknya cuma lampu kuning yang dengan mudah diterabas oleh pengendara usil.    
Sebenarnya Skirpsi pun merupakan pertanyaan kubur. DI sana, bakal ada tu Amal-amal apa saja yang telah anda lalui selama menjadi mahasiswa, akan pula tertuang dan ditanyakan kepada anda. Tanpa terkecuali. Sekecap anda berbicara, pertanggung-jawaban akan mengikuti pula.
Seolah sulit membedakan kedua nomenklatur itu, tetap saja kita tidak bisa lari dari kenyataan. Jika skripsi adalah kewajiban mahasiswa, bahwa skripsi adalah semacam pertanyaan kubur bagi mahasiswa, bahwasannya skripsi pula yang mengantarkanmu kepada gelar kesarjanaan yang kamu cita-citakan sebelumnya. Lantas apa yang kamu takutkan?
Pada dasarnya, dalam pembacaan saya atas pendapat teman-teman, jika skripsi itu bukanlah perkara ghayah. Kalau dia hanya berpatok sebagai hal yang dituju, kemungkinan skripsi itu akan selesai adalah perkara yang mudah. Spirit untuk menyelesaikan bukanlah hal genting, layaknya antri bikin KTP-e di kecamatan. Apalagi dikeluh-keluhkan kepada setiap manusia yang dekat denganmu. Bukannya mengeluh itu malah mengubur spiritmu ya? Keterbelengguanmu akan keluhan-keluhan negatifmu itu tidak lebih baik dari ceramah yang masih saja mengutarakan hujatan-hujatan kebencian.
Selayaknya jalan hidup
Ala kulli hal, 130 sks yang kau habiskan itu, jangan-jangan telah kau kubur juga, dengan impianmu, sejak sebelum berusaha menggapai pencapaian skripsi. Tak ada yang menakutkan dari skripsi, adanya anda yang menakuti skripsimu itu sendiri. Tapi banyak sebab pula yang mengantarkanmu ke sana, misal kesulitan menghubungi dosen pembimbing, susah memulai meski hanya satu kalimat berbunyi “tema”.
Bahkan beberapa akan menahan teror jiwa mendera berbunyi “kapan nikah?”. Itu pun kalau pacarmu itu baik hingga sabar menungguimu sampai selesai masa-masa skirpsimu, lah kalau tidak bagaimana?.  Sebab itu, pemakzulan akan impian-impian tersebut di awal itu, barangkali adalah titik penting sebelum kau merasa gagal sepenuhnya. Kalaupun tidak, skripsi tetap akan menjadi momok menakutkan bagimu, kau campakkan dia hanya sebagai tugas akhir, tanpa intonasi pengabdian hidup, mencakup mengukir nama dalam keabadian. Sama sekali tak terjamahkan. Karenanya, gausah memikirkan skripsi! Tapi kerjakan skripsi!. Wallahu A’lam.


*Langganan Ngopi di Kantin Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)