Orientasi Desa Budaya Berbasis Permainan dan Kesenian Tradisional
Foto : antiketomber.clear.id
Desa sebagai lingkungan
bagi hunian masyarakat, memiliki kedigdayaan yang tak terkira dalam proses
pembangunan karakter warganya. Nomenklatur desa yang bercirikan homogenitas, kebersamaan,
kesederhanaan, dan kearifan dalam berprilaku berimplikasi kepada konsep hidup
masyarakat desa yang bercirikan pandang kebahagiaan kolektif. Misal ada hajatan
Kenduri, masing-masing keluarga akan dengan semangat membantu untuk
mensukseskan acara kenduri itu. Entah itu menyumbang secara materiil, non
materiil. Segalanya terstruktur dalam gerak timbal balik atas kebahagiaan
bersama.
Dinamika hidup yang
dimiliki Desa, lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai. Keagungan nilai yang
diembang oleh Desa, dilandasi oleh keprihatinan keluarga satu dengan yang lain.
Misal orang tua yang tidak jarang melarang anaknya bermain dengan anak dari
orang tua si Anu, orang tua si Pulan, dan seterusnya. Cara pandang kebudayaan
yang sempit itulah, menjadikan desa sebagai institusi yang kurang ramah.
Namun, di balik itu,
terbesit kecemerlangan nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat desa. Adalah
para leluhur, yang memilihkan desa ini dan itu sebagai hunian yang nyaman bagi
para cucu-cucunya di kemudian hari. Seperti di daerah penulis tinggal, yakni
Dsn. Sampurnan, Desa Bungah, Kec. Bungah, di Kabupaten Gresik. Bahwasannya ada
5 faktor yang menjadikan tempat itu dipilih oleh Mbah Qomaruddin[1],
yaitu; 1) Dekat dengan pemerintahan (untuk memudahkan hubungan dengan pusat
kekuasaan). 2) Dekat dengan jalan raya (untuk memudahkan jalan transportasi. 3)
Dekat dengan pasar (untuk memudahkan kebutuhan pokok). 4) Dekat dengan Hutan
(untuk memudahkan mencari kayu baker dan kebutuhan pokok lainnya). 5. Air yang
mencukupi kebutuhan.[2]
Nah, pola-pola demikian yang menjadi acuan leluhur desa, yakni pertimbangan
strategis secara geografis, ekonomis, bahkan politis. Leluhur, melalui
transaksi dengan alam, memberikan angin segar bagi para penghuni setelahnya.
/\/\/\/\/\/
Ketika penulis menggali
sumber dari Lurah Panggungharjo, Sewon, Bantul, Pak Wahyudi Anggoro Hadi pada
event Festival Kalijaga di Bulan April 2017 yang lalu, dia menyebutkan
urgensitas orientasi kebudayaan dalam membangun peradaban desa. Dimulai dari
definisi kebudayaan, itu tidak hanya berhenti pada apa yang kita pakai dan
lihat. Tidak hanya bersifat permukaan. Lebih dari itu kebudayaan harus kita
pahami sebagai literasi. Sehingga dari sana kita sarikan nilai-nilai yang
sebenarnya harus diisi oleh bangsa, sebagai sebuah kesatuan ini.
Berangkat dari sana,
mencuat ide untuk mengimplementasikan pola-pola yang ada dalam kesenian,
kebudayaan yang dinikmati tidak hanya dilihat dan dipakai. Siasatnya, permainan
tradisional itu dilihat lebih kepada unsur setelahnya, yakni pelajaran yang
akan diperoleh tatkala memainkan atau memerankan kebudayaan tersebut. Semisal
permainan Egrang (melatih keseimbangan), permainan Petak Umpet dan Jetengan
(Strategi berperang dan mempertahankan diri), permainan Kincir Angin
(mengetahui gesture dan pola/jenis angin), permainan Engklek (melatih
psikomotorik anak), Ngunduh Osoh/Sarang Burung (mengetahui arsitektur rumah
burung), dan lain sebagainya. Beberapa bentuk permainan tersebut diwujudkan
atas dasar indigenous culture
masing-masing daerah. Setiap daerah mungkin akan berbeda menamai permainan
tersebut, tapi yang terpenting adalah esensi atau hikmah serta pelajaran apa
yang dapat diambil. Hal ini berkenaan pula dengan mambangkitkan kecerdasan
majemuk anak. Pun dalam upaya membangun karakter bangsa. Bahwa sangat jarang
sekali, local wisdoms dijadikan anak
dari Demokratisasi di bangsa ini. Mereka sekedar dianak-tirikan belaka.
Selain itu, Wahyudi
(2017) juga berpendapat apabila Permainan tradisi itu dibangun atas empat
nilai. Pertama, Kesadaran akan faktor
geografis. Komitmen yang dibangun berdasar dinamika desa, menyuguhkan kreasi
hidup atas transformasi nilai-nilai geografis oleh para tetuah atau leluhur
desa yang telah lalu. Para leluhur, mewarisi sikap sadar, jika kehidupan—di
manapun—tidak akan sanggup lepas dari dimensi geografis. Dalam kaitannya atas
hal tersebut, mereka mencoba menkonstruksi alam dalam ruang dan waktu yang
lain, misal seni dalam permainan tradisional.
Dalam kategorisasi
tekstur geografis yang digali kearifannya, leluhur kita menatrapkan beberapa
kelebihan-kelebihan ihwal kecanggihan teknologi yang ada dalam diri manusia itu
sendiri. Pendayagunaan kecerdasan majemuk secara benar, adalah kuncinya.
Bagaimana produk itu mengalami eksternalisasi ke internalisasi nilai-nilai. Hingga
terbentuklah kinerja, sebutlah permainan tradisional yang sampai hari ini pun
masih bisa kita nikmati, mesi hanya segelintir.
Kedua,
Kreativitas. Dari hasil atas negosiasi manusia ingsun sejati terhadap gejala dan kondisi alam, timbul daya
kreativitas tanpa batas. Kreativitas muncul bukan sebab keterpaksaan, melainkan
dorongan atas kehendak sendiri dalam memanfaatkan kinerja apa yang ada serta
pendayagunaan akal dengan tepat. Seperti Kincir Angin, adalah proses kreatif
dalam menyikapi angin di daerah dataran rendah. Sehingga bentuknya dibikin 3 D,
hal ini merupakan rangsangan daripada bentuk anginnya sendiri. Bagaimana Kincir
itu dapat menangkap angina dengan mudah. Dibentuklah lengkungan untuk merangkum
kehadiran kekuatan angin. Lain bentuk jika Kincir Angin itu dibuat di geografis
pegunungan atau pesisir pantai. Begitu seterusnya.
Ketiga,
Mandiri. Sikap kemandirian diri dalam menghargai apa yang diciptakannya dengan
tangan sendiri. Artinya belum rela apabila proyek yang sedemikian rupa
keasliannya, dijiplak tanpa seizin melalui upaya industrialisasi dan
kapitalisasi. Sebab konsep besar yang diciptakan disandarkan atas niat
membangun kepribadian unggul manusia melalui permainan. Mereka, kerap kali
masih memilih untuk mendistribusikannya sendiri. Sesuka hati.
Keempat,
Permainan adalah alat untuk membangun kecerdasan majemuk anak-anak yang terdiri
dari Kecerdasan verbal (melalui seni menembang, bernyanyi, berdialog dengan
tutur yang baik), Kecerdasan psikomotorik (melalui permainan tradisional
seperti Egrang, Engklek, Panjat Pinang, dst), Kecerdasan emosional (pola yang
didapat ketika mendengar hal-hal yang dilagukan secara berirama, Gamelan,
Hadrah, Gending), Bagaimana bercocok tanam (penyatuan anak dengan alam
sekitar), bagaimana bertahan hidup. Bahkan ajaran berketuhanan yang seringkali
disisipkan dalam istilah-istilah seni keagamaan. Seperti pementasan Wayang,
Pengajian, ikut andil dalam Grebeg Maulud, Sekaten yang berasal kata dari
kalimat Syahadatain—merupakan hasil
meditasi dari Sunan Kalijaga dalam proses Islamisasi Kraton.
Ala
kulli hal, kontemplasi wujud permainan dan kesenian
tradisional yang penulis sebutkan di atas, menjadi alternatif pada orientasi
desa budaya di belahan nusantara manapun. Pengukuhan kedua hal tersebut sebagai
cagar budaya nasional, bahkan internasional tidak hanya menjadi suntikan segar,
tetapi juga menyangkut penghargaan kepada para leluhur terdahulu.
/\/\/\/\/\/\
Permainan tradisional ata
dolanan sebagai warisan lintas
generasi yang masih sanggup hidup dalam alam masyarakat desa—meskipun terhitung
jarang sebab desakan globalisasi, mengalami masa-masa sulit tatkala gempuran
modernasi cum globalisasi merambah
dimensi terdalam masyarakat, yaitu hati nurani. Sebab perut dan hati
berdekatan, hati dibuat mati dalam kurungan globalisasi. Anak-anak lebih
memilih berjam-jam bermain permainan yang ada di gadget mereka masing-masing.
Daripada berjebur di Kali, bermain di Sungai, berkompetisi di Lapangan
misalnya. Demikian ini merupakan tantangan terberat bagi kesenian dan permainan
tradisional masyarakat dewasa ini. Menilik beberapa urgensitas nilai-nilai yang
termuat dalam permainan dan kesenian tradisional tadi, yang dapat disimpulkan
sebagai upaya mengembangkan karakter dasar kecerdasan majemuk anak. Tidak bisa
tidak, hal tersebut fardhu dipelihara,
dengan cara apapun.
Segala sesuatu memang tidak
bebas nilai. Dalam upaya menghargai leluhur dalam menciptakan kesenian dan
permainan tradisional yakni mereka telah melakukan survei sejarah pula. Dalam
tujuan besar untuk membentuk karakter anak, membangun tatanan sosial. Terkait
dengan kesadaran geografis, kreatifitas, kemandirian. Terkait pula dengan
kecerdasan majemuk anak. Itu menjadi bagian yang segera mungkin
diimplementasikan dalam wadah edukatif masyarakat, terutama anak-anak. Adalah Keluarga,
yang menjadi salah satu aktor penting dalam hal itu. Dalam Mensikapi secara
bijak arus modernisasi yang mengganggu ketenangan leluhur di alam sana. Harus
dibangun kesadaran sejak dini, menyadarkan apabila ada hal-hal yang hilang
tatkala mereka tercebur langsung dalam proses modernisasi. Digitalisasi
bukannya dinafikan, tapi tentang cara dan bagaimana kita menyikapinya. Jika
orientasi kita malah condong ke ranah modern, maka jangan salah apabila
aksentualisasinya pun jauh dari ranah tradisional. Seni dan tradisi akan hilang
ditelan kungkungan modernisasi. Jangan sampai!
Komentar
Posting Komentar