Ngilmu Kalijaga; Kolaborasi Sholawat Hadrah dan Emprak

Foto : deskgram.org         

Malam yang lumayan dingin. Berkalut mendung dan semilir angin yang mondar-mandir. Meramaikan suguhan apik di panggung utama Festival Sunan Kalijaga. Lapangan utama yang terbuka itu, menjadi tempat terindah bagi mereka para penikmat cultural heritage Kanjeng Sunan Kalijaga. Para penikmat itu duduk bersila seraya melihat pagelaran musik Jawa dengan Arab yang berbalut selimut tradisi keislaman Nusantara. 
Adalah kolaborasi pementasan Sholawat Hadrah dengan Sholawat Emprak, pada 14 April 2017 di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, yang  yang dinikmati oleh sekian banyak penonton yang, ternyata juga telah menjadi fenomena lumrah sekaligus menggugah. Berangkat dari signifikansi kebudayaan dalam realitas umat beragama di Indonesia, dengan mengakuisisi elementer kebudayaan dari manapun, sebab itu jangan mengherankan ihwal kegumunan masyarakat Jawa dengan dinamika perubahan zaman, bisa dikatakan hampir tidak ada.
Seolah-olah sedang beradu irama kehidupan dengan iringan musik yang didendangkan, hadirin hampir tak bergeming, menikmati suara Rebana berpadu dengan Gending. Dimensi khusyuk menggenapi sanubari makhluk. Prinsipnya, irama yang dibawakan, tercurah sebagai khidmah perjalanan kehidupan. Kadangkala alunan itu mellow, kadang menanjak—menuntun pada klimaks, lalu hidup pasrah, dengan ikhtiar tiada henti tatkala nada itu kembali merendah. Selain itu, kuasa kebersamaan dalam memikat syafaat, syair-syair pujian terhadap Kanjeng Nabi saw dalam bentuk bahasa Jawa ataupun Arab, tanpa henti diwiridkan. Salah satu representasi makna syair-syair itu, dikatakan oleh Mulyanto[1], sebagai wujud dakwah mengajak, mencerminkan dan meneladani Kanjeng Rasulullah. Ada tiga tembang yang dibawakan dalam kesempatan tersebut, (1) Dandanggulo, pada umumnya untuk mewiwiti/mengawali pementasan. Dandanggulo juga berhubungan dengan acara yang akan atau sendang diperingati. (2) Kinanti, mengemban tanggung jawab untuk mengenal pemimpin agama Islam. Dimulai dari Wali, Sayyid, lalu turun temurun ke Kyai dan Ulama. Tembang ini juga menjadi pramula tembang ketiga yang mereka bawakan, (3) Tembang-tembang sholawat. Sementara dalam pola gerakan tarian, menurut Mbah Adi (70) pemain senior Emprak terhitung mulai tahun 1965, dia menyebut tarian-tarian itu mengikuti nada dari lagu dan musiknya. Secara sadar, tarian itu adalah sebuah naluri. Agaknya, sementara ini, argumen kita berhenti pada dakwah dalam perspektif seni musik.
Mengetahui hal tersebut, Jawa dengan Arab sulit dipisahkan akar genealogis-historisnya. Apalagi dalam pola Islamisasi masyarakat Jawi (sebutan untuk Nusantara kala itu) Arab menjadi stigma Islam. Islam ya Arab. Hal ini dikarenakan identifikasi para tokoh yang menyebarkan Islam, pun dengan apa yang didakwahkan. Tersebutlah Syekh Subakir yang menancapkan sebuah Jimat bagi tanah Jawa yang tersohor dengan sebutan Jamus Kalimasada di Perbukitan atau Gunung Balak, Magelang.[2] Begitu halnya dengan Siti Fatimah Binti Maimun, Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Maulana Asmaraqandi dari Persia yang menyebarkan Islam awal di Jawa Timur.
Siasat mereka dalam strategi dakwah adalah negosiasi budaya. Mencari titik-temu dua kutub kebudayaan. Mentradisikannya melalui ritual-ritual baru yang tak asing. Dimana dimensi Jawa tidak dihilangkan, tidak dinafikan, apabila Islam sanggup diterima di sanubari manusia Jawa. Apalagi kala itu, masih suka-sukanya para pendatang yang berdakwah dengan berdagang. Pasar dijadikan sebagai majlis pengajian. Lingkungan pasar, meskipun orang yang datang berpijak pada komoditas atau kebutuhan, yang mana setiap kali pertemuan itu diakhiri dengan ijab-sah perniagaan. Tapi dengan kecerdasaan para Ulama, pasar dihiasi dengan sikap yang tercurah dari nilai-nilai keislaman. Lambat-laun, pembeli pun mulai tertarik dengan beberapa perhiasan sikap tersebut, lantas majlis pengajian dengan mudah meraup massa.
Negosiasi budaya tersebut, terasa lebih digencarkan lagi, lebih fundamental lagi prinsip dan prosesnya. Adalah Kanjeng Sunan Kalijaga, murid dari Guru Sejati Sunan Bonang yang mendasari pola-pola akulturasi Arab dengan Jawa atau Jawa bergandengan dengan Arab. Salah satu wujud ikhtiar tersebut, adalah melalui kesenian-kesenian seperti Wayang, Musik Gamelan, Pengajian, juga Musik Hadrah. Sehingga bukannya terjebak virus kredensialisme atau menampakkan keislamannya, akan tetapi, sisi esensial atas ikhtiar tersebutlah, yakni nilai-nilai religiusitas yang melekat pada sikap Sunan Kalijaga di era awal masa-masa dakwahnya.
Jawane digowo, Arab e dirawat, Barat dirumat,  istilah itu masyhur bagi negosiasi budaya antara dua kebudayaan. Jalan tengahnya itu dielaborasi, akulturasi nilai-nilai di antara keduanya.  
/\/\/\/\/\/\/\/\/\
Bagaimana Arab yang direpresentasikan oleh Musik Hadrah memberikan getaran nadir yang tidak biasa. Masyarakat Islam yang sedari kecil dikenalkan dengan lisan Arab—ketika lahir di bumi Nusantara mereka diadzani di telinga kanan, lalu diiqomahi di telinga kiri—tidak mengagetkan ketika mereka mendengarkan lantunan sholawat, lantas mengikuti dengan gerakan yang mendayuh-dayuh. Orang setiap harinya, dalam ritual ibadah, lisan Arab adalah sebuah keharusan. Seperti bacaan-bacaan dalam Sholat, do’a-do’a sebelum dan sesudah kegiatan sehari-hari—meskipun bisa pula syari’at do’a itu dijawakan[3], membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Arab menjadi wajah anyar bagi masyarakat yang meyakini Islam, di manapun letak geografis mereka. Entah itu mungkin di Amerika, Afrika, China, Australia, bahkan Alaska. Dalam kategori ini, bisa dikata, Lisan Arab, adalah representasi Budaya Islam dalam upaya mempersatukan umatnya.
Dalam pementasan kali ini, kategori sholawat diwakilkan oleh Grup Hadrah Nida’ul Khoir dari Bantul yang dihimpun dari beberapa pemuda di kampung. Imyas, pemimpin hadrah, dalam hal ini lebih tertarik menjelaskan historisitas grupnya, dimana dalam upayanya menghimpun pemuda kampung yang dulunya, mereka pecandu Arak, suka berjudi, dan lain sebagainya. Hal ini meresahkan banyak warga kampung. Dan Imyas, memprakarsai pendirian Grup ini dalam rangka mengembalikan ruh kepemudaan yang tepat dan baik. Bukan malah meresahkan warga kampung.
Dalam pementasan kali ini, grup hadrah berkesempatan membawakan beberapa Sya’ir-Sya’ir Arab yang berjudul Ya Imamarrusli, Lir-ilir dari Sunan Kalijaga, Iling-Iling Siro Manungso Sya’ir gubahan dari Sultan Agung. Intisari dalam sya’ir ini hampir tidak bisa dipisahkan dari konsep Sangkan Paraning Dumadi dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Dimana titik hikmah yang dapat diambil adalah konsep asal-muasal kita berasal dan di mana pula setelahnya kita akan kembali.
/\/\/\/\/\/\/\/\/\
Di era Walisongo, dalam rangka merayakan tradisi Maulid Nabi, Masjid Demak pernah menjadi salah satu majlis konferensi besar. Yaitu pertemuan, permusyawaratan antara para wali se-zamannya. Tradisi Maulid Nabi yang diadakan itu, diikuti oleh masyarakat sekitar yang tertarik mendengarnya, dan diiringi pula dengan tabuhan Rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni Arab. Selain itu, oleh Sunan Kalijaga, seni irama Arab representasi dari terbangan tersebut, diselaraskan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Yaitu menambahkannya dengan variasi alat musik Gamelan. Penataan Gamelan pun tidak sederhana, ada di tempat Pagengaan yaitu sebuah tarub yang ada di halaman Masjid. Alhasil kolaborasi apik atas suguhan itu, tidak sedikit mengundang decak-kagum bercampur penasaran para warga. Ditambah dengan audiensi atau wejangan-wejangan yang disampaikan oleh para wali dengan gaya bahasa dan dialek yang sungguh menggugah, membuat warga silih berganti mengantri masuk ke dalam Masjid. Tapi sebelum memasuki Masjid, diperkenankan terlebih dahulu untuk berwudhu di Kolas di pelataran Gapura pintu Masjid.
Ala kulli hal, beberapa metode dakwah Islam yang penulis jelaskan di atas, telah mentradisi sejak sebelum Islam sendiri datang di Jawa. Seperti kesenian musik sholawat Emprak ini, yang dilihat dari alat musik serta tembang yang dibawakan, semuanya adalah representasi dari kultur masyarakat Jawa. Tapi kita patut mengapresiasi, jika hal urgent yang menengahi keberhasilan dakwah Islam adalah penuturan bahasa serta tata krama akhlaknya. Harmonisasi akhlak yang dilakukan oleh Walisongo salah satunya adalah melalui kesenian tradisional. Sebab seni sanggup mengunggah dan mengetuk sanubari iman terdalam penikmatnya. Tentu, akhlak budi pekerti merupakan warisan penting yang patut kita teladani dari Jawa ini. Wallahu A‘lam.



[1] Ketua Sholawat Emprak
[2] Dalam Novel Layla (2017), Candra Malik menyebutkan bahwasannya Masyarakat sekitar Perbukitan Balak, tidak berani menyebut Balak hanya sebagai Bukit. Mereka dengan serius menyebutnya sebagai Gunung, takut kualat katanya. Padahal secara keilmuan geografi, Balak dikategorikan sebagai Bukit.
[3] Seperti perbuatan putra Aria Teja IV Bupati Tuban—Raja di bawah Maharaja Majapahit kala itu. Dia adalah Raden Syahid, Maling Cluring, Syekh Malaya atau masyhur dengan nama Sunan Kalijaga. Do’a-do’a yang diperkenankan oleh Sunan dengan menggunakan bahasa Jawa adalah Tembang atau Kidung Rumeksa Ing Wengi (Perlindungan di Malam Hari). Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), Hlm. 16.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)