Mbah Munawwir, Barzanji dan Kasihnya kepada Santri
Mbah Munawwir masyhur sebagai Ulama’ ahlul
qur’an Besar Nusantara. Nama
beliau tertulis abadi dengan tinta emas di hati para penghafal dan pecinta Al-Qur’an
di Bumi Pertiwi ini. Sanad Al Qur’an di Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari
nama beliau.
Cucu KH. Hasan Besari ini, dibesarkan dalam lingkungan agamis. Sedari
kecil beliau diasuh langsung oleh ayahandanya KH. Abdullah Rosyad dengan
pemantik semangat hadiah sebesar Rp. 2,50—apabila dalam seminggu Munawwir kecil
dapat mengkhatamkan Al-Qur’an sekali. Begitu seterusnya, sampai beliau belajar
ke Mbah Abdurrahman Watucongol, Mbah Sholeh Darat Semarang, Mbah Kholil
Bangkalan Madura, Mbah Abdullah Kanggotan Bantul, hingga berguru dan Riyadhoh ke Makkah dan Madinah selama 21
tahun dan kembali ke Jawi, Yogyakarta
tepatnya.
Menetap di Krapyak beliau mencoba menguri-uri
pengajaran Al-Qur’an, hingga pada
tahun 1911 M beliau mendirikan Pondok Pesantren Al Munawwir. Santri
perlahan-lahan mulai mendatangi beliau untuk belajar Al-Qur’an. Tapi lingkungan
sekitar yang masih monoton, dirasa menyulitkan beliau, kondisi sosial
masyarakat yang kurang bersahabat membuat Mbah Munawwir bekerja ganda. Selain
mengajar Santri, beliau juga mendidik
masyarakat dengan budi pekerti santri.
Ritual-ritual keagamaan di pesantren, dilaksanakan pula dengan
melibatkan masyarakat sekitar. Seperti Mujahadahan, Sema’an Sabtu Wage, Diba’an atau Barjanjenan, dan
ritual keagamaan yang lain.
Barjanjen, Sejarah dan Hikmah
Dalam konteks ini, Tradisi Barjanjen—orang
Jawa melisankannya—sendiri, merupakan salah satu wadah terbaik bagi Salik, untuk mengandai-andaikan
hal-ihwal akhlak, sifat-sifat, laku Rasulullah saw. Keistimewaan-keistimewaan
dan berbagai peristiwa yang ditimpahkan kepada Rasulullah saw, pun beberapa
hikayat tauladan bagi umat Islam. Bahasa dan Sastra yang tinggi, menjadikan
kitab ini enak dibaca dan dilagukan. Bahwasannya tembang –tembang yang
terkandung di dalamnya merupakan realitas historis Muhammad sejak sebelum dalam
kandungan sampai sesampainya beliau di-pamit-kan
kepada sekalian umatnya oleh Allah swt
melalui Malaikat Izro’il.
Al Barzanji
sendiri merupakan kitab karangan Syaikh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al
Barzanji. Syaikh kelahiran Madinah tahun 1690 M itu wafat tahun 1766 M.
Barzanji berasal dari nama suatu daerah di Kurdikistan, Barzinj. Pada mulanya, kitab tersebut berjudul “Iqd al-Jawahir” yang bermakna Kalung Permata. Tapi lambat laun,
tersohor dengan sebutan Al-Barzanji/Barjanjen.
Pagelaran Barjanjen ini
seringkali dibarengi dengan pola-pola tradisi ritual keagamaan, pengajian,
dialog keagamaan, dan lain sebagainya yang merepresentasikan buah cinta kepada
Kanjeng Nabi. Seperti yang digelar di Keraton Yogyakarta dan Surakarta; Sekaten, Gerebeg Maulud di Demak, Panjang
Jimat di Kasultanan Cirebon, sedang di Cekelet Garut; Mandi Barokah, dan lain sebagainya.
Pakaian Keraton dan Santri
Nah, di Sekaten Keraton
Yogyakarta, Mbah Munawwir seringkali secara eksklusif diundang oleh Sultan HB
IX untuk mengikuti peringatan Maulid Nabi saw. Menilik beliau punya hubungan
genealogis dengan Keraton yang sangat kental. Dimulai sejak era Kakek beliau,
KH. Hasan Bashari yang menjadi Ajudan Raja Jawa di Perang Jawa yakni Pangeran
Diponegoro, sampai pada Mbah Munawwir meminang Nyai R. A. Mursyidah, istri
pertama beliau dari Kraton Yogyakarta.
Karena kedetakan tersebut, dalam beberapa kesempatan, Mbah Munawwir,
tatkala mendapat undangan dari Keraton, seringkali ditawari untuk dijemput Pasukan Arteleri
dari Keraton. Namun, beliau dengan baik-baik tidak segera menerima tawaran
tersebut. “Kersane ingsun kale Santri-santri mawon,
sareng-sareng mlampah ndugi Krapyak”. “Kebetulan
Santri-santri saya juga pengen saya ajak”, beliau dawuh demikian dengan niat tidak menolak tawaran tersebut.
Mbah Munawwir memang sering mengajak santri-santrinya ketika ada undangan
di Keraton, dan undangan yang lainnya. Santri yang diajak pun, tidaklah sama
antara undangan satu dengan yang lain. Dalam urusan ini, beliau bisa dibilang
menggilir para santrinya. Tidak jarang pula, banyak para santri yang
mengharapkan ajakan beliau.
Hingga pada suatu ketika, sebelum berangkat, para santri yang masuk dalam
daftar ajakan Mbah Munawwir, kumpul di depan Ndalem belaiu. “Loh, njenengan toh Gus”, “Loh kok njenengan
Kang?”, “Loh awakmu toh Dul”,”Loh Cak, samean toh, bukane wingi samean meh nyilih duek na
aku yo?”, mereka para santri yang diajak ke Keraton untuk mengikuti Barjanjen, saling bertanya satu sama
lain. “Loh Gus, punten, tasek dereng saget
nyauri utang kulo”, “Gapopo Cak, Santai ae, penting do iso mangan”, “bukane
njenengan wingi bade nyambut duek teng kulo ngge Gus?”, “iyo Kang, tapi gak
sido wes”. “ngge ngapunten ngge Gus, kulo ngge dereng kiriman”. Entah itu
kebetulan atau bagaimana, mayoritas santri yang diajak Mbah Munawwir, adalah
mereka yang terlilit hutang atau bahkan tidak memiliki uang sama sekali. Dan
mereka menyadari hal itu.
“Mungkin Simbah mengetahui keresahan kita,
Kang, Cak, Dul”.
“Nggeh Gus”.
“Setoran gak nambah-nambah, deresan yo keteteran.
Sehingga beliau mendistribusikan kesejahteraan kepada kita, beliau
mempraktekkan kaidah kadal faqru an
yakuna kufron”.
“Hehehe”. Semua
tertawa mendengar hal itu. “Pun mikir
aneh-aneh Gus. Penting Syukur sik, pun dijak Mbah Yai”.
Tak berselang lama, Mbah Munawwir keluar dari rumahnya. Para santri yang
berdialog tadi, terperangah melihat ketampanan Mbah Munawwir yang memakai
pakaian dinas Keraton, berupa model Jas Laken dengan kerah model berdiri, serta
dengan rangkapan sutera lengkap dengan ornamen kancing bersepuh emas, tentu
dengan berblankon.
“Ayo Le, berangkat”. Lamunan mereka
hilang dengan suara ajakan Mbah Munawwir.
*Inti cerita disarikan dari Dawuh Dr. KH.
Hilmy Muhammad
Komentar
Posting Komentar