Ambivalensi Lensa
Catatan untuk
Intan Masruroh
Suatu ketika kau
bertamu ke tempat kos temanmu. Dia menawarimu menu minuman yang dia punya, “sebentar,
aku akan buatkan untukmu minum, sekedar hanya penghangat suasana”, dalihnya. “Mau
minum apa? Hmm. Tapi saya hanya punya kopi sachet”. Terjebak pertanyaan itu,
kau sulit mengelak. “Ya sudah, tidak masalah”. “Tapi..”.
Kau tak perlu
berusaha sedetail mungkin untuk sanggup menyuguhkan secangkir kopi sachet
misalnya, kepada temanmu. Tak perlu harus berapa derajat kau mendidihkan airnya,
tak perlu pula kau harus menyarankan putaran sendok ketika mengaduk, harus
mengikuti arah jarum jam atau malah melawan arah jarum jam. Jelasnya, jawaban
yang aku sodorkan tatkala menikmati jamuanmu tetaplah berbunyi “hm. enak”. Meskipun
itu pseudo belaka. Sebab jika kau bersandar tegap kepada tujuan, itu bukanlah
akhir. Jangan salah lihat. Apalagi memandang
kopinya, tapi pandanglah khidmahnya dalam menyuguhkannya kepadamu. Sejalan pula
dengan bagaimana caramu menghargai proses. Boleh-boleh saja sajian itu kau rasa
tidak enak. Tapi apakah itu bentuk ketidak-sepahamanmu atas cara dia memproses
kopinya? Atau ketidak-sukaanmu kepadanya? Kadang berpikir heuristik yang
menjadi anak turun algoritma itu terlalu menafikan ihwal mannah.
Jika anda
mengenal burung Emprit tapi berlagak memburuh Phython yang besarnya
berkali-lipat dari besarnya burung emprit itu sendiri, akal sehat kita
cenderung akan tidak terima. Sebab dalam proporsi tubuh saja, si Emprit belum
ada apa-apanya dengan raja rerimbunan tersebut. Tapi benarkah hal itu belum
atau tidak pernah terjadi? Kenyataannya, setiap pola yang kita rangkai, masih
teguh pula serangkaian takdirNya. Sambungnya, bisa saja Emprit itu mati, bisa
pula Phython dicucuk Emprit, jika nasib baik menimpanya. Nah, selain qodho’ dan
qodar, Tuhan menghadirkan nasib, yang sanggup kita akal, pikir dan dzikir. Rongga
yang sempit itu, mestinya tetap kita ikhtiari. Nyatanya, yang sering terjadi,
nasib kita pun bergantung kepada orang lain. Hingga akhirnya Tuhan mengharapkan
kita untuk saling memahami situasional satu dengan yang lain. Seperti Phython
dan Emprit tadi. Emprit bisa menang karena mungkin Phython sedang kelaparan,
sakit, atau bahkan mengalah.
“Tapimu” itu
adalah jebakanmu sendiri. Memenjarakanmu pada ruang yang sama. Bak kau
menjepret dengan fokus lensa manual, dirimu akan memfokuskannya pada titik
terdekat. Supaya gamblang terlihat. Padahal cara terbaik untuk menjaga adalah
menjauh. Sekian dari beratus alasan, “tapi” menjadi variable yang paling
mendominasi. Alasan hanya akan menjauhkanmu kepada kepercayaan. Sebab alasan
itu masih sekandung dengan alibi, orang jamak memafhumi.
Tapi kenapa keindahan
dan cahaya dipisahkan oleh getir kenyataan hidup?
Prinsipnya, jati
diri adalah harta karun sesungguhnya. Siapa pun yang telah menemukan lantas
mengembannya, dia tidak akan kemaruk terhadap kekayaan termahal itu.
Yogyakarta, 04 Mei 2017
Sumber Foto : Ig @masruroh_intan
Terlalu sulit dipahami
BalasHapus