Mendaras Makna Keadilan dan Relevansi Peran Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban
Oleh: Afrizal Qosim Sholeh
Keadilan. Sebagai syarat wajib Demokrasi, keadilan adalah
ihwal yang sulit diabaikan. Pemimpin tidak bisa seenaknya memimpikan Demokrasi,
dengan menafikan apa itu Keadilan. Mustahil. Berkaca pada sila kelima Falsafah
Negara kita—Pancasila—yang berbunyi Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, seluruh rakyat Indonesia berhak atas
nikmat rasa adil. Dengan kata lain, nikmat rasa adil itu, sesungguhnya, telah
ada, bahkan tertanam sejak kita terlahir di Bumi Pertiwi ini. Bolehlah kita
berbangga, dalam Falsafah Negara termuat kata “keadilan”. Tapi nyatanya,
keadilan sampai saat ini, menjadi tugas berat kita sebagai bangsa Indonesia.
Layaknya impian yang masih jauh dari angan-angan.
Lebih parah lagi, cita-cita luhur para leluhur bangsa itu,
acapkali, oleh kita, hanya dijadikan sebatas penghias dinding-dinding kantor,
sekolah, ataupun rumah kita. Dengan gambaran singkat itu, tidak banyak yang
berasumsi atas konsep keadilan di Indonesia. Sebab keadilan dimengerti sebagai
paradigma, jika keadilan diterima sesuai strata sosialnya. Artinya, jika strata
sosial Anda rendah, maka jangan harap merasakan nikmat keadilan yang sesungguhnya.
Begitu sebaliknya. Tragis sekali. Alhasil, hukum atau badan peradilan sebagai
aksesor penegak hukum, dilabeli sebagai representasi dari apa yang masyhur
disebut “hukum rimba”, lebih jelas lagi ada yang menyebut hukum di Indonesia
itu “tumpul di atas dan lancip di bawah”. Sungguh, diskriminasi apa lagi yang
tak bisa tidak didustakan oleh bangsa Indonesia. Ingat, itu hanya sebagai bahan
pemikiran saja.
Dalam
menghadapi problematika tersebut, penegakan keadilan adalah jawabnya. Melalui
penegasan dalam pembangunan payung hukum yang jelas, adalah salah satunya.
Badan hukum berjalan atas hasil mufakat dan musyawarah. Adanya hukum, menjadi
semacam batas imajiner yang, secara sosiologis, berarti tiadanya perilaku yang
menyalahi norma atau nilai yang berlaku dalam masyarakat keseluruhan. Sehingga
hukum, bukan lantas menghukumi, melainkan menjadi batas acuan hidup rakyat
maupun aparat penegak hukum secara nasional.
Dalam upaya merobohkan asumsi yang stereotipe itu,--keadilan tanpa tindakan nyata—Negara lewat badan
hukum, dalam sistem peradilan, memberi alternatif pada optimalisasi kinerja
keputusan hakim yang objektif. Upaya itu dilakukan dengan penanganan atau
perlindungan kepada Saksi dan Korban. Sebagai pemegang kunci, saksi dan korban
harus dalam kondisi yang steril dalam pemberian kesaksiannya di pengadilan.
Tidak ada intimidasi maupun ancaman dari luar yang, dikhawatirkan nantinya
dapat merubah alur persidangan, dan bahkan keputusan pengadil. Oleh sebab itu,
melalui aturan positif tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu UU. No. 13
Tahun 2006. Dan sebelum itu, ada peraturan pemerintah yang menjelaskan tentang
perlindungan saksi antara lain, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Sanksi Tindak Pidana
Pencucian Uang (PP. No. 57/2003) yang memberikan pengertian pada istilah
pelindungan khusus yaitu suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara
untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan tatu harkatnya termasuk juga
keluarganya.
Setelah menunggu dua tahun lamanya, semenjak terbitnya
UU. No. 13 Tahun 2006, barulah Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK resmi berdiri pada Agustus 2008. Sampai
pada Agustus 2016 nanti, LPSK berusia delapan tahun, terhitung masih baru.
Tentunya, dengan umur yang masih seumur jagung tersebut, tidak bisa secara
gamblang kita menghakimi kinerja lembaga itu dengan label yang buruk. Kurang
baik. Menilai umurnya yang masih belum dewasa. Tapi tidak menutup kemungkinan,
LPSK dengan kebaharuan inovasi dan pelayanannya, akan menuai buah yang
membahagiakan di setiap titik berjalannya, dari poros satu ke poros yang
lainnya. Tercatat, ada 655 pengaduan yang masuk ke LPSK pada 2012, dengan
rincian sebagai berikut, 1) Diterima dengan diberikan bantuan berupa pemenuhan
hak prosedual, bantuan medis, bantuan psikologis dan fasilitasi layanan
pengajuan restitusi sebanyak 173 permohonan, 2) Diterima dengan diberikan
perlindungan dalam bentuk perlindungan hukum dan pendampingan, pengawalan
pengamanan, dan pemberian rumah aman sebanyak 85 permohonan, 3) Diterima
bantuan dan perlindungan sebanyak 253 permohonan, 4) Ditolak sebanyak 124
permohonan, 5) Diberikan rekomendasi 106 permohonan.
Upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu
kejahatan atau extraordinary crime (Korupsi,
HAM dan Kriminal), tentunya, akan berbicara mengenai pembuktian yang dimiliki
oleh penyidik atau penuntut umum. Permasalahan seputar kekurangan atau minimnya
saksi, laten menjadi permasalahan yang klasik apabila berhadapan dengan
kasus-kasus yang melibatkan organisasi kejahatan yang terorganisir. Peranan
orang dalam organisasi tersebut, dinilai mempunyai potensi yang cukup
signifikan untuk membuka lebih jauh tabir kejahatan yang terjadi. Konsep whistleblower dan justice collaborator diyakini merupakan salah satu terobosan dalam
pengungkapan suatu kejahatan yang bersifat sistematis dan terorganisir. whistleblower dan justice collaborator pada dasarnya merupakan konsep protection of witness dalam UNCAC yang
melibatkan seorang pelapor atau saksi yang juga terlibat dalam suatu tindak
pidana yang bersangkutan, mengingat potensi ancaman dan intimindasi yang rentan
diterima oleh mereka.
Fungsi pemberian perlindungan oleh LPSK ini, adalah
strategi supaya mereka bersedia mengungkap lebih jauh suatu kejahatan juga
menjamin hak-hak saksi dan korban. Sedangkan bentuk perlindungan yang diberikan
adalah perlindungan fisik, psikis, perlindungan hukum, dan penanganan secara
khusus. Pemberian perlindungan ini diharapkan sebagai upaya dalam pemenuhan
hak-hak whistleblower dan justice collaborator yang berpartisipasi
dalam proses penegakan hukum.
Pun tidak terlupa, LPSK menjamin kesejahteraan saksi dan
korban secara intensif sampai kasus yang dihadapi benar-benar terselesaikan.
Dalam kinerjanya, LPSK tidak sendirian, dia bersinergi dengan Komnas HAM,
instansi pemerintah seperti Polisi dan TNI, para ahli, dan masih banyak
lainnya. Jangan salah, LPSK juga memiliki kepekaan dalam memahami kasus.
Artinya, dia melek atas beberap faktor yang melatar-belakangi terganggunya
saksi dan korban. Dengan itu, penegakan Hak Asasi Manusia menjadi kesadaran
wajib. Sebagai suatu konsep, Hak Asasi Manusia mengandung makna yang sangat
luas, mengingat persoalan HAM yang bersifat universal, tidak mengenal batas:
Wilayah Negara, Politis, Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Hukum. Sebagai sebuah
anugerah, HAM merupapkan hak mendasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
kepada umat manusia tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang sosial,
kultur, politik, dan ekonomi. Peraturan HAM international menjadi acuan penting
LPSK dalam menjalankan tugasnya.
Ala kulli hal, selama ini, kinerja LPSK
dalam menjalankan peranannya dalam menegakkan keadilan di Indonesia, patut kita
acungi jempol. Sebagai pembantu sekaligus aktor penegakan keadilan di
Indonesia, LPSK dinilai baik, tidak jarang, beberapa LPSK dari luar negeri
melakukan study exchange dengannya.
Dan benar saja, impian untuk mendekonstruksi pemahaman awam atas hukum rimba di
Indonesia, semoga menjadi nyata. Amin.
Sumber Foto : http://cdnimage.terbitsport.com/imagebank/gallery/large/20160610_034056_harianterbit_LPSK.jpg
Komentar
Posting Komentar