Menarasikan Hikmah Perbedaan Agama
Oleh: Afrizal Qosim Sholeh
Judul :
Keragaman dan Perbedaan; Budaya dan Agama
dalam Lintas Sejarah Manusia
Penulis :
Dr. Phil. Al Makin
Tahun Terbit : Maret 2016
Tebal Buku : xii-288 Hlm.
ISBN :
978-602-1326-48-0
Penerbit : SUKA-Press
Agama
secara kompleks diartikan lebih dari sekedar keyakinan eskatologis semata.
Lebih dari ritus-ritus ibadah belaka. Melainkan sampai pada ritus sosial, politik, bahkan konteks berbangsa dan bernegara, tentu dengan warna spiritualitas
yang bervariasi.
Mulai
dari Mesir Kuno, Sumeria, Mesopotamia, Babilonia, Yunani Kuno, India, Baghdad
hingga Nusantara sekalipun, memiliki versinya masing-masing ihwal keragaman
dalam perbedaan teologi, budaya, sosial, serta agama. Secara esensial, agama diyakini sebagai hal yang menyucikan, menenangkan, mendamaikan
hati para pemeluknya. Berdasar pada arti kata agama itu sendiri dalam bahasa
Sansekerta diartikan sebagai a- tidak, gama- kacau. (Hlm. 18-39)
Fenomena
keagamaan yang viral dewasa ini, semisal kasus Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI
Jakarta, yang oleh beberapa kalangan Islam “diharamkan” menjadi pemimpin.
Meskipun bukan dalam hal agama saja Ahok dikritisi, melibatkan pula unsur etnis, etika juga. Tapi, justru nilai agamalah yang paling
lantang disuarakan atas pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Secara
garis besar, hal ini merupakan perilaku yang menafikan nilai-nilai dalam Human Rights. Seolah-olah martabat manusia
bukan hal penting. Padahal, apabila manusia mampu mengatasi sentimen-sentiman
multikultural, maka derajat Human Dignity itu lebih terlihat sekaligus menjelaskan derajat keimanan pemeluk
agama. Sebab apabila menghina ciptaan Tuhan, Tuhan pun ikut terhina—sebagai
pencipta. Oleh sebab itu, “percaya kepada kemanusiaan dan nilai-niali” merupakan kunci dalam memadukan pluralitas dan multikulturalitas
dalam masyarakat majemuk, sejak era Mesir Kuno 3000 SM. (Hlm. 105-134).
Bahwa
sesungguhnya, dalam terminologi penciptaan Adam dan Hawa, realitas yang ada
bukanlah ruang fatamorgana semata. Mereka berdialog—setelah peristiwa memakan
buah terlarang di Firdaus—untuk saling mempertemukan jiwa mereka masing-masing.
(Hlm. 41). Meski hanya dianggap sebagai mitologi kuno, tapi perjumpaan Adam dan
Hawa sebagai katalisator hidup bersama dalam kekurangan, perbedaan dan
keragaman adalah iman yang absolut.
Al Makin, mampu mendudukkan agama-agama secara historis,
budaya serta sosialnya. Agama bukanlah faktor utama pemicu konflik sosial,
melainkan perdebatan angus antara benar dan salah yang menjadi kambing
hitamnya, agama adalah kedok atas hal tersebut.. Damaskus di Negeri Suriah,
terletak di tepi pantai Mediterrania misalnya, menjadi kota kosmopolit bukan
monolitik. Terbentuk dari unsur Persia, Roma, Yunani, Byzantium serta menjadi
rumah bagi iman Kristiani, Jacobite, Monophisite, dan Melkite dari Byzantium.
Masyarakatnya meski dari banyak keyakinan, tapi bisa hidup damai. (Hlm.
148-149).
Pluralitas
dan multikulturalitas adalah hard fact,
ketetapan Tuhan yang tak bisa diganggu gugat. Meski dalam banyak segi
terdapat celah, sensitif, bahkan rawan, di sini, Al Makin mengajak kita untuk
memahami ulang sejarah teologi, budaya, politik agama dunia yang akar
geneologisnya sama, mulai Abraham 2000 SM. (Hlm. 111) Agama tidak bisa
dipisahkan dari manusia atau pemeluknya. Manusia yang menjaganya, semoga
kedepan pemahaman agama didalami betul oleh bangsa Indonesia, hingga perdamaian
abadi sanggup berdiri.
*Mahasiswa
Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber Gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWd3pgYWqEkTsJ-c6ge2XHxN8ImxG9152yrZhJXXxcjlvd5SfO6CKiVal1HcxMyfwhdN-mIWWNCFt3sKWe-2J4TGxvA7epUpQUL1NYNgqYdpMwJCHriExti6O1gpy5K7xfwd1-_tEBiXM/s1600/keragaman+dan.jpg
Komentar
Posting Komentar