Merangkai Bingkai Pendidikan Indonesia Berkemajuan
Oleh: Afrizal Qosim Sholeh*
Selain diuntungkan dengan demographic dividend yang meluap-luap,
melimpah ruah, di saat Indonesia menginjak usia satu abad, bangsa kita, juga
dipersenjatahi dengan kearifan lokal (local wisdom) pun global (global
wisdom) yang tak kalah melimpah pula. Kekayaan nilai-nilai kebudayaan
bangsa, memaksa kita untuk tunduk, patuh, menghayati, teposliro, legowo, sebagai
upaya pengembangan jiwa serta pembentukan raga. Asrul Sani (1926-2004)
misalnya, seorang budayawan Sumatera Barat generasi awal Indonesia,
mengibaratkan manusia sebagai “patung yang belum selesai”, paham ini mirip
dengan teori kebudayaan sebagai pemaknaan simbol-simbol oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of
Culture: Selected Essays (1973). Meskipun pada dasarnya, dikatakan oleh
Muhammad Sobary (1998) Asrul Sani adalah budayawan yang memiliki kompleksitas
cara berpikir, yaitu intuisi dan teori, yang disebut pertama sebagai pioner. Kembali
pada patung tadi, nah, untuk menjadikannya selesai, adalah melalui afeksi atas
nilai-nilai kebudayaan secara sosial, historis, dan mutualis. Proses ini
seringkali disebut sebagai asimilasi, yaitu pembauran dua kebudayaan yang lain
sama sekali, menjadi sebuah kesatuan yang baru—meski menghilangkan kekhasan
kebudayaan aslinya. Hal itu dimulai dengan pengenalan. Amsal orang Jawa yang
kurang Jawani alias ucapannya kasar, kurang santun, hobinya meraung dan
merusak tatanan masyarakat sehingga mengganggu ketentraman. Lambat laun,
tatkala pengenalan akan hakikat luhur kebudayaan lokalitas—secara historis,
geografis, sosial—maka yang dianggap kurang jawani tadi, kelak akan
menjadi Jawa juga. Seperti halnya orang Minang, yang seorang Bujang,
tidak dianggap sebagai Bujang apabila dia belum merantau. Hal ini tidak berarti, sifat kebudayaan
adalah destruktif, atau mengukung manusia. Bukan. Melainkan kerja budaya adalah
ketika posisi kita telah menjadi manusia yang utuh, paripurna, dan lengkap oleh
kacamata khalayak.
Membaca Zaman; Indonesia Sekarang
Merasakan keuntungan yang demikian Alhamdulillah, sesumbar
bukanlah idiom yang pantas didengungkan. Pasalnya, diam-diam siapa saja yang
menginjak bumi dan bernafas di dalamnya, bisa dipastikan telah merasakan
perubahan sosial yang datangnya tak bisa dinalar, seenaknya, tanpa pamit
apalagi minta izin. Perubahan sosial telah kita amini sebagai konsekuensi logis
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Keabsahannya kita terima,
implikasinya demikian menggelisahkan. Segala huru-hara zaman, sontak terdengar
di penjuru bangsa, terutama mereka yang berada di tepi. Alam bereinkarnasi
menjadi modern. Dilihat selintas, modernitas merupakan keniscayaan alam. Alam
selalu dinamis, sehingga muncul pemikiran teosofis: “bergurulah kepada alam”.
Sebab dia diyakini sebagai guru dari kearifan di setiap zaman. Sebab dia ajeg
berubah dan tak bisa dinalar perubahannya. Sejalan dengan itu, sebagai “Manusia
Indonesia” sikap kawruh terhadap kedinamisan zaman, terhadap perubahan
sosial, terhadap modernitas, globalitas adalah kewajiban. Seolah menjadi rukun
iman baru, manusia Indonesia dipaksa untuk menjadi manusia yang arif; mereka
yang sangat tahu dan paham atas zamannya (‘ala al aaqil ‘an yakuuna ‘aarifan
bi zamanihi)—adalah mereka yang tahu konteks. Sikap ini bukanlah
destruktif, apalagi konterproduktif—sebab tidak jarang, hal ihwal kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi ketika berada di tangan yang tidak bertanggung jawab
menjadi hal yang demikian menakutkan, seperti terorisme, radikalisme, proxy
war yang, apa lacur memakai kedok agama. Di sini, konsep pendidikan
pun digodok ulang untuk mengatasi fenomena
jahiliyyah kontemporer tersebut—melainkan upaya revolusi mental sebagai
responsi kemajuan zaman yang tak bisa dielak. Sekali lagi, ini wujud
konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berangkat dari imajinasi
fenomena sosial yang terasa demikian memprihatinkan serta riskan tersebut,
pendidikan sebagai bangunan dasar kemanusiaan, dituntut untuk menjadi problem
solver, sanggup mengatasi, mengantisipasi serta pula melindungi.
Sistem pendidikan yang seperti apa yang kiranya mengena dan
mendamaikan dua kutub yang berlainan itu—berdasar pada pemikiran Immanuel Kant
(1724-1804) ihwal Etika (antara ilmu pengetahuan dan teknologi yang bebas nilai
atau yang tidak bebas nilai)? dengan pula keyakinan bahwa sistem pendidikan
tidak pernah paripurna. Ada falsifikasi dan tajdid. Kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) akan menjadi subjek pertama yang akan tersinggung, sehingga di
awal saya katakan, tidak patut jika kita tergesa-gesa untuk sesumbar. Meski
secara kuantitas kita unggul, tapi secara kualitas kita masih kalah dengan Thailand,
Bulgaria, China, bahkan Finlandia yang terang-terangan mengambil falsafah
pendidikan dari Ki Hajar Dewantoro yang notabene sebagai Bapak Pendidikan
Bangsa kita. Dalam survei Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) berdasar pada kualitas bacaan, Matematika dan Sains,
seperti dilansir The Guardian, Indonesia berada di peringkat 57 dunia
dengan Korea Selatan sebagai jawaranya.
Menyemai Kearifan Bangsa
Dalam beberapa fase, kita akan memahami urgensitas untuk menengok
ke belakang. Belajar dari sejarah bukan menjadi pengecut dan munafik, melainkan
berusaha mengambil sikap yang apresiatif dan akomodatif, apalagi dalam proses
pembangungan pendidikan yang berkelanjutan. Daripada itu, menurut saya, ada lima
fase untuk menyongsong pembangunan kualitas Sumber Daya Alam manusia Indonesia
lewat pendidikan. Pertama, "insan yang berilmu amaliah dan
beramal ilmiah” sebuah gagasan Muhammad Sobary (1998) yang mengupayakan
kebangkitan mutu pendidikan di Indonesia. Dimana kita tidak hanya melek akan
ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan khusuk dalam beragama, kesalehan
kolektif (kesalehan ritual dan kesalehan sosial), dan mafhum akan nilai-nilai
keagamaan secara universal—mencoba memanusiakan manusia seperti halnya gagasan
Pendidikan Pembebasan Paolo Freire (1968)—seperti humanities, emphaty,
simphaty, honesty, fainess, tolerance, charity, non-violence, moderation,
dan lain sebagainya. Bahwasannya nilai-nilai tersebut telah lama termaktub
dalam Asma’ul Husna yang berjumlah 99. Kedua, mungkin faktor afektif/penghayatan
kita yang lemah, sehingga apa yang berulang kali kita ucapkan sama sekali tak
berdampak pada aspek psikomotorik kita. Belum lagi dengan kekuatan falsafah
bangsa kita, Pancasila dan motto Bhinneka Tunggal Ika, yang berdasar atas
pemikiran filosifis founding father’s kita yang, nilainya sungguh luar
biasa. Diimbangi dengan sikap mengabaikan kita yang tak kalah luar biasa.
Lagi-lagi faktor afektif. Penghayatan, pemaknaan, atas pengalaman hidup,
nilai-nilai kebudayaan, bangsa yang dikenal sebagai The Verstehen Method.
Ketiga, terkait dengan fenomena keagamaan
sekarang yang membuat nasi kita cepat terurai, keterbukaan secara kolektif
untuk menumbuhkan sikap toleransi adalah fardhu digarap oleh segala
institusi pendidikan keagamaan—untuk menggarap proyek bina damai (culture of
peace). Sikap toleransi bukanlah hal yang mudah tanpa diimbangi dengan
kesadaran akan human dignity. Corak pendidikan yang memanusiakan
manusia, sangat diharapkan mampu menelurkan apa yang dikatakan oleh Nurcholish
Madjid (Cak Nur) sebagai “percaya kepada kemanusiaan”. Dengan konsekuensi,
solidaritas kepada manusia sama dengan solidaritas kepada Tuhan—sebagai Sang
Pencipta. Sebaliknya, bersikap a-social kepada manusia berarti juga
menghina Tuhan. Apa lacur jika Tuhan sudah dihina?. Adanya hanya
mencederai moral bangsa!
Keempat, dengan sistem full day school
dalam ruang character building—yang disyiarkan oleh Kemendikbud,
intensitas dalam tatap muka, ber-muwajjahah akan terkesan lebih bermakna.
Seperti gambaran dalam film Freedom Writers (2007), Mrs. Erin Gourwell
seorang guru teladan yang mampu membangkitkan minat belajar, menulis serta
berinteraksi secara intensif satu sama lain sebagai bentuk katarsis atas
kehidupan kelam yang dilalui oleh anak didiknya, yang mana mereka mengalami
fase-fase konflik rasial di New Port Beach, Amerika Serikat. Perjuangannya lari
tunggang langgang membangun relasi ke Dewan Pendidikan, Kepala Sekolah, menjadi
resepsionis hotel, Toko Buku, hingga Museum of Tolerance membuatnya bisa
berjalan santai tanpa gugup. Para murid yang sedari awal bersikap acuh, tanpa
aturan, sensitif akan isu rasial, sekte dan golongan, tak punya rasa hormat, saling
membenci dan mencaci secara membabi buta, berubah drastis dan menyayanginya, bahkan
dalam rasa penuh hormat menganggap Mrs. Erin sebagai Ibu dalam realitas
ideologis dan sosiologis. Berkaca dari itu, peningkatan kualitas guru sebagai
teladan pun fardhu diprioritaskan, dinomor wahidkan. Barangkali, proses
ini bisa ditempuh dengan sinergitas, koordinasi antara Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk sanggup terbuka berbicara secara
dua arah, mutualistik.
Pasca itu, setelah
menumbuhkan nilai-nilai dasar kebudayaan dan agamis, secara paripurna, lalu, kelima,
adalah hal ihwal legalitas pemerintah dengan menggandeng institusi Kebudayaan,
Keagamaan dengan menjaring program-program tepat gunanya. Lewat komunikasi
kemitraan ini, akan menjadi basis tersurat dari sinergitas antara pendidikan
dan kebudayaan untuk menyongsong Indonesia emas 2045—semoga iklim politik
selalu kondusif. Penguatan kerjasama di antara keduanya bersifat
sinergi-mutualis, kebudayaan sebagai akar eksistensi kemanusiaan, pun
eksistensi pendidikan terlebih dulu menjadi sosok yang keibu-ibuan, alias mengayomi
instansi pendidikan dalam proses pelestarian, pengetahuan, pendalaman
budaya-budaya bangsa kita. Seperti pengalaman Asrul Sani yang mengenyam
Pendidikan Hindia Belanda. Ketika pendidikan itu bebas merdeka, tidak mengukung
proses kreatifitas muridnya, tidak pula membatasi kajian ilmu-ilmu humaniora
serta politik. Bahwasannya yang demikian ini membentuk cita rasa buahnya dalam
berkiprah di dunia nyata. Menajdi Insan yang spiritual-modernis atau “insan
yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Bukan melanggengkan kebudayaan
praktis! seperti yang marak di pasar akan keberadaan buku cepat bisa bahasa
Inggris, cepat kaya, lulus ujian nasional, dan lain sebagainya. Meskipun
generasi 2045 didaulat sebagai generasi milenial atau generasi Y yang melek
akan teknologi, informasi dan komunikasi, tapi setidaknya empat point awal tadi
sanggup dipegang lalu diimplementasikan dalam kehidupan nyata ini yang, juga
semakin maya ini. Sehingga marwah kebangsaan laten terjaga sampai lintas
generasi sebab Sumber Daya Manusia yang terus berevolusi, membangun, progresif,
moralis, dan transformatif. Wallahu A’lam.
*Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Daftar Pustaka
Buku
Clifford Geertz, (1973), The Intrepetation of Culture; Selected
Essays. New York: Basic Book, Inc.
Immanuel Kant, (2005), Kritik Atas Akal Budi Praktis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muhammad Sobary, (1998), Diskursus Islam Sosial; Memahami Zaman
Mencari Solusi. Bandung: Zaman Wacana Mulia
Mansour Fakih, (2002), Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik.
Yogyakarta: INSIST Press & Pustaka Pelajar.
Web
Jessica Shepherd, (2010), World Education Rangkins: Which
country does best at reading, maths and science dalam https://www.theguardian.com/news/datablog/2010/dec/07/world-education-rankings-maths-science-reading diakses pada 18 Nopember 2016. Pukul 20.57 WIB.
Film
Freedom Writers dirilis tahun 2007
Komentar
Posting Komentar