Manusia Gus Dur
Tiada henti orang membahasnya. Menerjemahkan isi pikirannya. Mendaras
pemikiran serta leluconnya. Meneladani tingkah laku dan sikapnya. Serasa apa
saja yang melekat dalam dirinya terus menerus didaras, hingga mendasari setiap
pola dan perilaku sosial dalam ruang lingkup yang kompleks. Yang demikian ini
bisa saja disebut sebagai ‘ajaran’. Hingga pada hari itu, muncul berkala di
tiap-tiap daerah apa yang masyhur disebut sebagai “GusDurian”.
Gus Dur, adalah segalanya. Segala bagi siapapun yang
mengindahkannya pun yang mencelanya. Segalanya bukan berarti tanpa cela, meski
hal tersebut multi-perspektif. Perspektif baratlah. Perspektif timurlah.
Perspektif utaralah. Perspektif selatanlah dan perspektif-perspektif yang
lainnyalah. Tapi demikianlah Gus Dur, yang konsisten akan nilai-nilai
kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Beliau selalu konsisten dan eksis
melebarkan sayap-sayap kebaikan ke segala ruang dan waktu. Melewati batas-batas
territorial hingga alam. Makamkan dirimu di tanah tak dikenal sebagai
amsalnya. Saduran dari shohibul hikam Syaikh Ibnu Athoillah. Hal ini
dibahas dalam salah satu esai dan dipakai sebagai judul buku oleh Muhammad
Sobary. Adalah ajaran untuk tidak terikat dengan hal apapun. Sebab kebahagiaan
adalah titipan, dan mati adalah kepastian. Lebih dari itu, definisi akan tanah
tak dikenal yang transendental tersebut, menafikan segala unsur material
serta meniadakan sikap ketergantungan kita terhadap beberapa hal. Namun, bukan
tidak mudah, memiliki jiwa yang sedemikian lapang tersebut. Barangkali dalam
bahasa yang pasti Tuhan tidak mengikat hambanya, tapi keterikatan itu tetap
saja melekat, menyifat dan mewatak. Alhasil, rekonstruksi jiwa secara global
adalah jalan lain. Merubah sikap semenjak sikap itu telah men-kita-kan. Mendeklarasikan
bahwasannya ‘kita’ fardhu untuk merawatnya.
Tapi demikianlah Gus Dur, “menolong tulus, tanpa pamrih, sesama
manusia”, oleh Muhammad Sobary dikatakan sebagai password untuk memasuki
dunia Gus Dur. Ataupun hidup dalam dimensi yang tak lebih dan tak kurang, alias
Zuhud, seperti dalam bahasa Kiai Husen Muhammad. Ataupun kerinduan seorang Buya
Syafi’I Ma’arif akan kearifan Gus Dur dalam mendakwahkan asas-asas kerukunan
umat beragama.
Tapi demikianlah Gus Dur, yang mencoba mempribumisasikan Islam, menolak
sikap difensiatif, menentang hal ihwal sesat-menyesatkan, penyambung lidah mustadh’afin,
penggugah selera berprilaku secara adil, penggiat seni, pendidik yang
menauladani, memupuk potensi positif dari multikulturalitas dan pluralitas
agama di Indonesia, serta ajeg membela kebenaran, kebenaran Inul Daratista
sekalipun. Demikianlah Gus Dur, semoga tetap menjadi bunga mawar, yang oleh
Labaki, penyair Libanon dianggap sebagai “bunga abadi”. Serta “Ratu Segala
Bunga”, oleh penyair Irak, Ahmad Al Safi An Najafi. Semoga engkau benar-benar
hanya pulang, bukan pergi. Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar