Manusia Gus Dur

http://img04.deviantart.net/29c7/i/2014/238/6/5/gus_dur_by_dedicahmad-d7wrew4.jpg
Tiada henti orang membahasnya. Menerjemahkan isi pikirannya. Mendaras pemikiran serta leluconnya. Meneladani tingkah laku dan sikapnya. Serasa apa saja yang melekat dalam dirinya terus menerus didaras, hingga mendasari setiap pola dan perilaku sosial dalam ruang lingkup yang kompleks. Yang demikian ini bisa saja disebut sebagai ‘ajaran’. Hingga pada hari itu, muncul berkala di tiap-tiap daerah apa yang masyhur disebut sebagai “GusDurian”.
Gus Dur, adalah segalanya. Segala bagi siapapun yang mengindahkannya pun yang mencelanya. Segalanya bukan berarti tanpa cela, meski hal tersebut multi-perspektif. Perspektif baratlah. Perspektif timurlah. Perspektif utaralah. Perspektif selatanlah dan perspektif-perspektif yang lainnyalah. Tapi demikianlah Gus Dur, yang konsisten akan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Beliau selalu konsisten dan eksis melebarkan sayap-sayap kebaikan ke segala ruang dan waktu. Melewati batas-batas territorial hingga alam. Makamkan dirimu di tanah tak dikenal sebagai amsalnya. Saduran dari shohibul hikam Syaikh Ibnu Athoillah. Hal ini dibahas dalam salah satu esai dan dipakai sebagai judul buku oleh Muhammad Sobary. Adalah ajaran untuk tidak terikat dengan hal apapun. Sebab kebahagiaan adalah titipan, dan mati adalah kepastian. Lebih dari itu, definisi akan tanah tak dikenal yang transendental tersebut, menafikan segala unsur material serta meniadakan sikap ketergantungan kita terhadap beberapa hal. Namun, bukan tidak mudah, memiliki jiwa yang sedemikian lapang tersebut. Barangkali dalam bahasa yang pasti Tuhan tidak mengikat hambanya, tapi keterikatan itu tetap saja melekat, menyifat dan mewatak. Alhasil, rekonstruksi jiwa secara global adalah jalan lain. Merubah sikap semenjak sikap itu telah men-kita-kan. Mendeklarasikan bahwasannya ‘kita’ fardhu untuk merawatnya.
Tapi demikianlah Gus Dur, “menolong tulus, tanpa pamrih, sesama manusia”, oleh Muhammad Sobary dikatakan sebagai password untuk memasuki dunia Gus Dur. Ataupun hidup dalam dimensi yang tak lebih dan tak kurang, alias Zuhud, seperti dalam bahasa Kiai Husen Muhammad. Ataupun kerinduan seorang Buya Syafi’I Ma’arif akan kearifan Gus Dur dalam mendakwahkan asas-asas kerukunan umat beragama.
Tapi demikianlah Gus Dur, yang mencoba mempribumisasikan Islam, menolak sikap difensiatif, menentang hal ihwal sesat-menyesatkan, penyambung lidah mustadh’afin, penggugah selera berprilaku secara adil, penggiat seni, pendidik yang menauladani, memupuk potensi positif dari multikulturalitas dan pluralitas agama di Indonesia, serta ajeg membela kebenaran, kebenaran Inul Daratista sekalipun. Demikianlah Gus Dur, semoga tetap menjadi bunga mawar, yang oleh Labaki, penyair Libanon dianggap sebagai “bunga abadi”. Serta “Ratu Segala Bunga”, oleh penyair Irak, Ahmad Al Safi An Najafi. Semoga engkau benar-benar hanya pulang, bukan pergi. Wallahu A’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)