Khilaf Kita dan Takbir Cakrawala Dunia

Afrizal Qosim
Sholeh
“Nonton Pisyi” judul essay yang termuat dalam
buku Indonesia Bagian Dari Desa Saya milik Budayawan kondang, Emha Ainun
Najib.[i] Ceritanya Kang Kanip,
pemuda desa 25 tahun yang ahli memperbaiki dalam segala hal, suka mengotak-atik
segala sesuatu, tidak tamat SD, yang segan merantau ke kota; ajakan dari Mbakyu-nya, Mbak Kanipah. Bermodal
kegigihan dan semangat menggebu-gebu, perjalanannya dimulai di wisma Mbakyu-nya yang kebetulan ia adalah
seorang germo. Masyhur dengan panggilan Tante Kenny. Kang Kanip segan
diperintah menjadi pramusaji. Lambat laun, profesionalitasnya terbaca oleh
alam. Dia naik jabatan dari pramusaji menjadi wakil manajer dan pemegang utama
bidang administrasi, di tempat yang sama, di lingkungan yang ganjil bagi masa
kecil Kang Kanip—yang sejak kecil belajar mengaji di Langgar. Tapi itu demi
kemaslahatan hidupnya!
Dari
keseganan itulah, uang mengalir bak pancuran. Dirasa cukup, melaksanakan tradisi
para perantau, dia pulang kampung, tentu tidak dengan tangan kosong. Dia pulang
dengan menaiki mobil[ii]
pick-up. Mengangkut di belakangnya empat kardus besar, yang berisi televisi dan
pengeras suaranya. Terutama anak kecil, mereka dibuat terpukau dengan bau
barang bawaan Kang Kanip itu. Lalu merembet ke para pemuda sampai orang tua,
mereka sama-sama terkena sihir Kang Kanip. “Dia pahlawan desa!”, geremang
banyak orang. Lain cerita dengan orang tua, mereka punya nasihat baru kepada
anaknya, “Contohlah Kanip itu, pinter, maju, bisa membantu orang tuanya”. Dia
menjadi patron kemajuan. Yang mana di desa itu, tak satupun, saat itu, yang
memiliki televisi. Sungguh, semerbak bau kemajuan mulai dirasakan oleh banyak
tetangganya, bahkan tetangga desanya ikut beramai-ramai melihat ‘keajaiban’
yang dibawa oleh Kang Kanip.
Itu
dirasa cukup. Cukup untuk awal perubahan sosial penduduk desa. Dirasa cukup,
sebab sudah tak lagi ada tradisi dzibaan
bagi putri-putri desa. Tak lagi terdengar tembang “Angin cilik muliho angin gedhe tekoo ombak-ombak kali segoro bedil muni
kapal teko” yang tereleminasi oleh “Asmaraku asmaramu naninenono…” atau
“Camelliiiiaaaa ohhh Cameellliiaa..”.
Apa
lacur, tradisi-tradisi lama penduduk desa yang mengutuhkan kebersamaan,
keharmonisan mereka, mulai tererosi. Tradisi itu yang dulunya mengental, sejak
kemajuan yang dibawa Kang Kanip, kini perlahan mencair, terurai, dan melentur.
Perubahan sosial dari masyarakat desa ke kota. Opini pergi ke kota untuk
membeli kemajuan menjadi viral penduduk desa. Ayo pergi ke kota! Biar kaya!
Biar kita maju!
Misal
yang lain terjadi di Gresik. Kota kelahiran saya. Kota kecil di utara pulau
Jawa. Kota yang ‘pernah’ disandingnya beberapa gelar. Misal, Kota Seribu Wali,
Kota Seribu Warung Kopi, Kota Seribu Dermaga—sebab menjadi salah satu area
perdagangan jalur sutera, Kota Seribu Pabrik, dan yang teranyar, pun yang
demikian familiar meski sedikit miris, adalah Kota Seribu Dumtruck. Sebutan
atau gelar yang banyak atas kota tersebut, tidak jauh terlepas dari sisi
historisitas Kota Pudak. Mata rantai sejarah itu, dimulai dari mendaratnya
Fatimah binti Maimun abad XI M dari Persia di Leran, Manyar, sampai berdirinya
kerajaan putra angkat Nyai Ageng Pinatih yaitu Raden Paku alias Sunan Giri abad
XV M, yang sempat menjadi kerajaan yang demikian perkasa di era Majapahit
sampai diluluh-lantahkan oleh kerajaan Mataram.
Singkat
kalam, masyarakat Gresik saat ini, ibarat gudang mesiu yang sensitif terbakar
apabila tergores percikan api, barang sedikit.
Bahkan
meledak!.
Bagaimana
tidak, gempuran industri makin marak, tak mampu lagi terbendung. Bendera sudah
dikerek sampai ke ujung tiang, menandai “di sini adalah Kota Industri”. Para
petani ikan tambak, begitu mudahnya menjual tanah tambak mereka untuk dipakai
dan dialih-fungsikan menjadi pabrik-pabrik. Lalu, dalam skala yang lebih besar,
lembaga pendidikan Negeri ataupun Swasta—entah itu berembel-embel Agama atau
bukan—menjadi sasaran empuk penjaringan tenaga kerja, dengan iming-iming gaji
yang tidak sedikit. Alhasil, mayoritas penduduk kota Gresik, mereka adalah para
buruh atau tenaga kerja pabrik. Lah kok malah muncul gelar lagi, “Kota Seribu
Buruh”.
Bukankah
itu menguntungkan? Artinya secara finansial atau ekonomi mereka
mencukupi?Dimana Industrialisasi yang pesat menandakan pula kemajuan
pesat—dalam banyak hal? Tapi apa daya, jika dalam segi finansial menunjukkan
kenaikan yang signifikan, namun dengan melalaikan segi manusiawi, sejarah serta
kebudayaan? Apakah itu yang dimaksud pembangunan? Belum tentu. Terlepas dari
kegandrungan Pemkab Gresik atas Industrialisasi, mereka lupa, dan kali ini akan
saya ingatkan, bahwasannya perspektif sejarah dan kebudayaan yang tersimpan itu
jauh lebih banyak, pun berharga daripada simpanan sumber daya alam yang
terdapat di sana. Mereka lupa jika di sana ada makam tertua di Nusantara yang
menjadi bahan rujukan utama dunia Internasioanal, terutama dalam Studi Islam
Asia Tenggara. Mereka lupa akan keharmonisan keluarga, sebab waktu di pabrik
yang merampasnya. Mereka lupa akan kenikmatan ‘cangkruk’ di warung kopi,
padahal ‘nyangkruk’ merupakan salah satu pra-syarat charracter building, bahkan apa yang disebut Bung Karno sebagai nation building.
Sekali lagi, nanti, di desa tak akan lagi menjadi
momok kerinduan kita. Desa rasa kota. Dan lebih edan lagi, nanti ada kota rasa
desa. Peradaban progresif tapi tak selektif dan apresiatif, tak akan mampu
memberdayakan kebudayaan manusiawi. Begitu pula dengan peradaban primitif yang menutup
diri, tak mau membuka cakrawala dunia, adanya akan kedunguan yang dirasakan.
Iya, miris! Dan kita khilaf. Berulang kali, akan terucap kata-kata itu.
Perspektif Lain
Menimang
kehidupan sosial-budaya masyarakat dengan teknologi itu susah-susah gampang. Ibarat melagukan “Singkong dan Keju”-nya Bill & Brod. Bahwasannya lagu itu mengisyaratkan, yang menjadi pembeda antara peradaban progresif dan primitif,
kata Bill & Brod adalah “selera kita”.
Seperti bait pertama dalam lirik lagunya, kau
bilang cinta padaku/
aku bilang pikir dulu//
selera kita/
terlalu jauh berbeda//. Sehingga mudah saja, soal Indonesia dan Teknologi, tidak akan
pernah menafikan kekuatan rasa dalam berserela. Sebab rasa
tak pernah bohong!. Oleh sebab selera, timbul perbedaan
yang bervariasi. Begini lirik lanjutannya Aku
suka Jaipong/ kau suka Disco// aku suka Singkong/ kau suka Keju//. Yang terpenting dari
kegamangan atas kemajuan atau globalisasi adalah aspek keterbukaan dan pengakuan diri sendiri, show yourself ! aku hanya anak Singkong//.
Karena itu, dengan sendirinya kita mafhum, siapakah kita? Dimana posisi kita? Dimanapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun.
Jika
di dunia terbentuk sifat masyarakat progresif dan primitif, kita tidak bisa
langsung menjurus pada tempat. Meskipun itu demikian urgen. Sebab dalam satu lokalitas,
kemungkinan-kemungkinan untuk berbeda, tetap ada. Misal mahasiswa di Yogyakarta—yang terhitung kota besar di Indonesia.
Dalam skala yang lebih mikro, teman sepergaulan saya, dilihat dari gaya hidup,
perilaku, taraf beli, kesukaan, dan hal lain, banyak dari mereka yang
berbeda-beda. Ada yang suka celana Levi’s, ada yang lebih nyaman dengan celana bahan.
Ada yang nyaman memakai batik, ada pula yang setiap harinya memakai 3scnd, CK,
Stanley Adam, Uniqlo, dan lain sebagainya. Ada yang suka musik pop (Justin
Bieber, Bruno Mars, Coldplay, Maroon 5. D’Massive, Armada), ada yang begitu setia
dengan lagu-lagu kenangan (The Beatleas, Scorpion, Queen, Michael Jackson,
Ebiet G. Ade, Niki Astria, dll.). Semuanya saja, tidak terlepas dari kecenderungan sosial-budaya kita yang melahirkan sikap epigonistis, menyebabkan
renyahnya penyalinan, plagiat, peniruan yang tidak tanggung-tanggung dilakukan
oleh orang jamak. Asal tidak
terjerumus pada konsumerisme boros, atau syahwat epigonisme yang lebih. Cukup
itu saja.
Masih
dalam aspek sifat. Perjumpaan manusia dengan teknologi mutakhir sejak dahulu dikenal sebagai
pratanda kemajuan. Atau lebih spesifik, era sekarang mulai menjarah dan menjadi
era informasi. Jika bertaklid pada Alvin Toffler (1980) yang dalam pandangannya,
ia membagi era kemanusiaan menjadi tiga era pokok, yaitu era masyarakat agraris,
masyarakat industri dan masyarakat informasi. Nah, era kita sekarang ini adalah
era masyarakat informasi. Segala ihwal kemajuan teknologi informasi telah kita
maklumi, nikmati, hormati, keberadaannya. Jika boleh diramal, kita pun kelak
akan menjadi aktor atas kemajuan dunia zaman kita sendiri. Dengan demikian, Geography
is dead adalah istilah yang tepat ketika arus globalisasi membuat dunia
menjadi lebih terbuka dan semakin datar. [iii]
Cukup dengan melipat kertas, geografi yang mencakup lingkungan dan manusia.
Sejalan
dengan arah pemikiran itu, ada Marshal Mcluhan (1962) yang mengusulkan
hilangnya batas, atau beda barat dan timur, desa dan kota, progresif dan
primitif hanya sebatas batas imajiner, sebab teknologi media komunikasi. Dan
karena alasan itu, ia mengultuskan Global Village. Lalu, Emha Ainun Najib yang bersabda, jika kerangka
nilai kota dan desa, lambat atau cepat, makin mengait, merekat, dan merangkum.
Pelbagai jaringan komunikasi pembangunan mendukung irama dialektika ini. Dengan
demikian, desa dan kota makin tidak dikotomis lagi. Makin tidak paradoks.[iv]
Sebagai
catatan penutup adalah percikan dalam Novel indah Di Kaki Bukit Cibalak,
karya filantropis, Ahmad Tohari.[v] Berkhayal untuk menjadi
karakter seorang Pambudi. Ia berani memenjarakan keterbatasannya sebagai orang
desa, demi membela kejujuran, kebenaran dan rasa ketidakadilan. Di tahun 70-an,
di Desa Tanggir, di kaki bukit Cibalak, sudah terbangun jalan-jalan aspal, ada
tiang listrik, traktor yang menjadi pengganti tenaga kerbau untuk menggarap
sawah, dan kuda besi lainnya. Intinya, teknologi terbarukan masuk desa. Meski
yang lebih disorot adalah ihwal politis. Tapi dalam segi karakter tempat dan
tokoh, lebih pas jika dikaitkan dengan segi sosial-budaya masyarakat Indonesia
dan teknologi. Sebab Pambudi kecewa dengan kecurangan Pak Dirga—lurah baru
desanya. Kecewa dalam banyak hal, mulai cinta kasih, sampai harga diri. Alhasil
dia merantau ke kota, tepatnya Yogyakarta. Dia belajar dengan gigih, sambil
menjaga tokoh Arloji milik orang tua Mulyani. Dengan sedikit banyak terdengar
arus kehidupan di desa, ia tetap tidak tenang hidup di kota apabila di desanya,
kesejahteraan belum terbangun sebab akar yang masih rapuh. Ini hal vital, sebab
homogenitas masyarakat desa akan mempertanyakan kenapa kesejahteraan belum
sampai terwujud? Dan karena ini perkara karakter. Karakter seorang pemimpin
pemanggul kekuasaan. Tapi bukannya manusia itu pemimpin atas dirinya sendiri
dan nantinya pula akan dimintai pertanggung-jawabannya masing-masing? Lalu
kenapa kita tidak memakai alur berpikir yang sedemikian sederhana? Atau kalian
masih membingungkan pemikiran poskolonial modern ihwal zaman, yakni, we live in complicated and confusing times,
in spaces traversed by global flows and warped by the intensity and speed of
information technologies? Iya?
[i] Emha Ainun Najib, Nonton Pisyi dalam Indonesia
Bagia Dari Desa Saya, (Jakarta: Penerbit Kompas,2013 ) Hlm. 03.
[iii] Wahyuni Refi & Ziyad Falahi, Desa
Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa Depan Kekayaan Alam Indonesia, (Jakarta;
Change Publication, 2014), Hlm. 31
[iv] Emha
Ainun Najib, Apa Ada Anging Di Jakarta? dalam Indonesia Bagian Dari Desa Saya.
(Jakarta: Kompas, 2013) Hlm. 35.
[v] Ahmad
Tohari, Di Kaki Bukit Cibalak, (Jakarta: Gramedia Pustaka,2014)
Daftar Pustaka
Najib, Emha Ainun (2013) Indonesia Bagian Dari Desa Saya, (Jakarta:
Penerbit Kompas)
Refi Wahyuni & Ziyad Falahi (2014), Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa Depan Kekayaan Alam
Indonesia, (Jakarta; Change Publication)
Tohari, Ahmad (2014) Di Kaki Bukit Cibalak (Jakarta: Gramedia
Pustaka)
Komentar
Posting Komentar