Mendaras KH. Sahal Mahfudz
Oleh: Ahmad Afrizal Qosim
Ketika itu saya masih duduk di kelas 10 Madrasah Aliyah Ass’adah
Sampurnan Bungah Gresik. Sejauh itu, belum pernah sama sekali mengenyam
pendidikan di Pesantren. Meskipun pernah ikut pengajian Diniyah tiap malam di
Pondok Pesantren Qomaruddin yang tidak jauh dari rumah—dan alhamdulillah sampai
kelas akhir di tahun 2014. Tapi, kurasa itu kurang cukup, lalu hasrat untuk
nyantri dengan sungguh pun terkabul. Tepatnya di tahun 2011, waktu duduk di
kelas 10 MA tadi, di bulan puasa kan banyak pesantren-pesantren di Jawa yang
membuat program pasanan atau Pesantren Kilat. Keinginan saya pun
tersarang di Pesantrennya Kyai Sahal Mahfudz, di Kajen, Pati. Pada saat itu,
Kyai Sahal masih memegang jabatan sebagai Rais Aam PBNU.
Kita tahu, pesantren kilat hanya program setengah bulanan. Kalaupun
penuh satu bulan, itu bonus dari panitia. Tapi yang saya tahu hanya setengah
bulan. Dari waktu setengah bulan itu, saya pusatkan pengajian saya pada Kyai
Sahal Mahfudz. Dengan sedikit mengambil pengajian yang diampu oleh Kyai-Kyai
lain. Pengajian Kyai Sahal dimulai pukul 08-00 sd 10-00 di setiap harinya.
Meski terbentur beberapa kali beliau udzur sebab gerah. Tapi pengajian
tetap ramai, berjibun santri duduk di pelataran rumah beliau, ada pula yang
duduk di jalan, bahkan tidak sedikitpun yang hanya duduk di depan kamar. Lain
lagi dengan santri perempuan yang sudah ada tempat khusus di area dalam ndalem.
Ketika beliau mengaji, suasana demikian menggugah. Meskipun di bulan puasa, semangat
untuk mendaras kitab dengan beliau pun tak pernah surut. Para santri kebanyakan
telah stand by setengah jam sebelum jadwal pengajian itu benar-benar
dimulai. Pada pasanan tahun itu, beliau mengkaji dua kitab yaitu al- luma’ (kitab ushul fiqh) dan al-fawaid
an-najibah (merupakan karya orisinal beliau, berupa matan yang berisi 86
bait. Konten dari kitab tersebut adalah membahas beberapa tata bahasa arab yang
dianggap aneh). Al-luma’ diselesaikan terlebih dahulu, kemudian al-fawaid
an-najibah sebagai kitab tambahan. Kedua-duanya dibaca dengan jelas, tegas dan
tuntas.
Selain kesan dalam mengikuti pengajian beliau, saya pun terkesan
pula dengan kesanggupan beliau dalam mengikuti shalat Tarawih dengan 2 Juz di
setiap malamnya. Meskipun shafnya kurang dari lima shaf. Tapi sungguh, saya
terkesan dengan kekuatan serta kegigihan beliau dalam menikmati bulan puasa.
Segala ibadah terus beliau kerjakan dalam umur yang tidak muda lagi. Semboyan
“guru bangsa” tidak lama lagi, mungkin akan tersemat pula di nama beliau.
Setelah mengikuti pasanan di sana, ketertarikan pada Kyai Sahal pun
mencuat. Sambal merindukan Pondok Pesantren Maslakul Huda—dengan memampang
gambar/menjadikan foto pondok itu sebagai wallpaper hp, pun dengan menyimpan
foto Kyai Sahal di berbagai tempat dan dengan berbagai pose. Upaya itu bukan
asal-asalan, melainkan sebagai obat rindu sekaligu penenang jiwa. Selain kedua
hal tersebut, perlahan-lahan, tatkala masih duduk di bangku Aliyah, saya
membaca buku-buku karangan beliau. Entah itu dalam bentuk artikel, makalah
ataupun buku. Tapi yang saya ingat dari sekarang—selain kitab berbahasa arab
karangan beliau—hanya Nuansa Fiqih Sosial, Dialog Problematika Umat, dan dua
sumber itu terbilang tidak banyak. Meskipun sudah telah mewakili dari pemikiran
beliau, tapi saya rasa itu kurang menggugah intelektualitas saya atas Kayi
Sahal. Oleh sebab itu, keikutsertaan saya terhadap kelas pemikiran ini adalah
kekurang-tahuan saya atas khazanah pemikiran beliau. Mohon pencerahan. Terima
kasih.
Sumber Gambar : http://fisi.ipmafa.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/KH-Sahal-Mahfudz-476x509.jpg
Komentar
Posting Komentar