Budaya Damai dan Revolusi Mental ala Santri
Mengingat urgensi moralitas, Pesantren sebagai institusi pendidikan,
mengkader Santri untuk bersikap terbuka, luwes, dan berpandangan luas.
Moralitas, sangat dihargai di sana, bahkan jika ada yang melanggar, dikenai
hukuman (ta’zir). Moralitas baru, sebagai awal konstruksi moral yang
teguh dan kokoh akan perubahan zaman, telah tertanam sejak lama dalam institusi
tersebut. Pesantren selektif dalam memilah hal ihwal baru. Mencoba bersifat
terbuka dengan dialog antar budaya. Prinsip institusi itu, oleh Ron Lukens-Bull
(1997) disebut sebagai institusi yang penuh dengan kedamaian.
Ahlusunnah/sunni yang menjadi ideologi
keagamaan kaum pesantren, pada umumnya
bebas dari fundamentalisme dan terorisme. Abdurrahman Mas’ud (2007), menyebut
ada lima ciri khas kaum pesantren. Pertama, tidak melawan penguasa atau
pemerintah yang ada. Kedua, kekakuan atau rigriditas dalam menegakkan
kesatuan vis-à-vis disintegrasi dan chaos. Ketiga, teguh dan
kokoh menegakkan prinsip jama’ah, mayoritas. Keempat,
bersikap tawassuth, tengah-tengah, moderat. Kelima, berwajah komunitas
normatif, teguh dalam menegakkan prinsip kebebasan spiritual. Kelima unsur
tersebut, mengkristal menjadi Budaya Damai dalam pesantren,
Gus Mus dalam sebuah momen pernah berkata, “Siapapun bisa
menjadi santri, meskipun sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di
Pesantren”. Sebab santri adalah entitas yang bernuansa akhlak, etika
sosial. Santri bukanlah sebuah gelar bagi mereka yang pernah atau sedang belajar
di Pesantren, melainkan mereka yang tidak lupa akan nilai, norma dan hukum yang
berlaku dalam masyarakat pun agama dalam bentuk sikap di kesehariannya.
Nilai santri sebagai etika tidak bias lingkungan, malah
orientasinya adalah lingkungan, konteks. Ruh pesantren—kurikulum, solidaritas
sosial/gotong royong, sosial-budaya, moralitas keagamaan—menggelorakan spirit
santri dalam menghadapi tantangan realitas zaman modern. Dalam melihat
realitas, santri mampu tidak hanya berpikir duniawi (materialistis),
melainkan pula ukhrawi (moralitas). Bukan hanya religion ways of
knowing (syari’at), atau science ways of knowing saja. Melainkan mereka mensinergikan
keduanya—meminjam istilah Arthur J. D’adomo—menjadi religion be scientific,
yaitu memilah, mempelajari dan memahami ilmu pengetahuan umum yang kemudian
diakomodasikan dalam pemikiran keagamaan. Sehingga tidak ada lagi istilah
konservatif, tradisional atau kolot bagi para “kaum sarungan”—seperti yang
laten disebut oleh peneliti Barat. Santri telah menerima perubahan sosial zaman
dengan filterisasi yang amat cermat dan teliti.
Selain itu, pesantren sebagai koridor pembentukan karakter santri
telah mengupayakan segala praduga-praduga atas kehidupan modern yang dari hari
ke hari makin kompleks. Sisi pesantren sebagai “subkultur” membentuk
kaidah-kaidah perisai bingkai keragaman budaya, pun agama.
Dari beberapa faktor tersebut, apa dikata, mengamini diktum Gus
Mus, pesantren secara pure melahirkan dua entitas yang disebut dengan
Kesalehan Ritual (ibadah) dan Kesalehan Sosial (muamalah). Secara
sederhana, kedua entitas tersebut terwakilkan oleh satu bentuk nilai yang akan
dikenang sebagai etika sosial seorang santri. Nilai etika yang dimaksud dan
yang menjadi paling familiar itu berwujud sikap tawadhu’. Seperti padi,
semakin berisi semakin merunduk, tawadhu’. Adalah implementasi dari sikap
rendah hati, menghormati, sederhana dan merasa tidak lebih baik dari yang lain.
Sebenarnya sikap tawadhu’ ini adalah sikap kita bersama, bangsa
Indonesia. Dengan kata lain, sikap tawadhu’ kita sebut sebagai mentalitas
bahari. Mental yang terbuka, harmonis, kaya akan local wisdom hingga global
wisdom. Mental inilah yang telah lama dirumuskan oleh Sunan Kalijaga, yang
dalam bahasa beliau tersebut lima elemen, yakni sabar, menerima apa adanya,
murah hati, tekun dan giat. Disinilah letak Revolusi Mental Santri. Wallahu A’lam
*Santri PP. Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta
Sumber: http://kampoengngawi.com/wp-content/uploads/2016/10/hari-santri-nasional-22-oktober.png
Komentar
Posting Komentar