Pesantren Berpuisi dan Wajah Sastra Pesantren Nusantara
Matahari belum nampak,
hanya seberkas mega kuning yang terpancar dari ufuk timur, membelakangi Masjid,
tatkala Pak Kyai mengakhiri riwayat dzikir Shubuhnya. Seperti biasa, sebagai
penutup dzikir, dua ayat akhir dari Surat at-Taubah menjadi lantunan yang tak
bisa tidak dilafadkan oleh Pak Kyai. Selalu itu. Istiqomah.
Para makmum jamaah,
yang terdiri dari santri dan masyarakat sekitar, masih setia menunggu sampai Pak
Kyai selesai berdzikir.
Sikap menunggu itu,
dilakukan hanya untuk ber-mushofahah,
mengharap berkah dan barokah. Yang menarik dari moment menunggu itu adalah, tidak
sedikit jamaah yang masih terkantuk-kantuk. Meski ada dua macam makmum dari dua
golongan yang berbeda, yang mendominasi tetaplah para Santri. Santri yang kebanyakan
masih akan beranjak dewasa, pada moment itu, nampak mengelipkan berkali-kali kedua
matanya, sebab kantuk Shubuh yang demikian kuat menggelayut di kelopak matanya.
Tak jarang, kondisi seperti itu, mengundang tawa orang yang melihat kepala jatuh-bangun
tertimpa beban kantuk yang membabi-buta.
Sementara Pak Kyai
sudah mengakhirkan riwayat dizikirnya, mendapati suasana pesantren dari bilik
ke bilik yang lain, masih nampak senggang. Sepi. Sebab masih banyak yang
tertidur pulas. Bersamaan dengan hal itu, kumandang pujian-pujian berwujud sya’ir
bersahut-sahutan, dari satu komplek ke satu komplek yang lain, pujian itu
diwakil-bacakan oleh satu orang santri yang ditugasi, atau bahkan santri yang
ingin suaranya didengar. Tidak jarang muncul kekaguman jika suaranya bagus dan
sindiran jika kacau itu suara. Meski hanya satu qori’, pujian itu terdengar saling berkejaran, bersahut-sahutan. Seolah-olah
anda mendengarkan alunan musik Blues-nya Jhon Mayall. Umpama taman burung,
suara itu sedemikian jernih terdengar
oleh telinga orang yang dengan sengaja mendengarnya, pun dengan yang tidak
sengaja mendengarnya. Bahkan segerombolan burung akan rela menghentikan
kicaunya selama empat menit, demi menghormati lantunan pujian-pujian tersebut.
Syahdan, Sya’ir yang rutin didaras oleh para Santri ba’da Shubuh
merupakan Sya’ir hasil karya para sesepuh Pesantren, ada sya’ir ya rabbana binabiyyina KH. Moehammad
Moenawwir bin Abdullah Rosyad dan sya’ir asma’ul
husnaa karya KH. Ali Maksum. Yang
demikian ini, terjadi di kala Shubuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak,
Yogyakarta.
Demikian itu tradisi
yang dihidupkan oleh beberapa Pesantren Nusantara. Pesantren Al-Munawwir, salah
satunya.
Sastra dalam Pesantren
Sebagai khazanah
pesantren yang masih bersahaja dan lestari,
membaca bait-bait puisi (Nadzam),
Puisi (Sya’ir), seolah menjadi
langganan bagi lidah para Santri. Dengan lanyah
mereka mengumandangkannya. Tidak sedikit dari mereka telah begitu hafal di luar
kepala.
Setiap hari, secara
berjamaah, Pujian-Pujian, Sya’ir, Mandhumah
hampir pasti akan terdengar di bilik-bilik Pesantren. Beberapa bentuk itu,
terdengar seperti prosa dengan tanda nada yang berima a-b-a-b, mayoritas sya’ir
Pesantren (berbahasa Arab) hampir sama. Misal, akhir kalimat dari satu bait
dibaca jer (kasrah), maka kalimat
setelahnya pasti dibaca jer (kasrah) pula. Akhir kalimat dari satu bait
dibaca nashob (fathah), maka kalimat
setelahnya pasti dibaca nashob (fathah)
pula, dan begitu seterusnya.
Ada juga yang diperalati dengan iringan musik
tradisional, misal di Pondok Pesantren Kewagean, Kediri. Pesantren yang diasuh
oleh KH. Abdul Hannan itu, menerapkan model menghafal nadzam alfiyyah ibnu malik dengan iringan alat
musik seperti gendang, ketipung, kencreng dan rebana. Kombinasi dari alat-alat
tersebut, dimainkan dengan nada datar mengikuti nada yang dibawakan oleh para qori’ nadzam. Demikian itu, menjadi rutinitas
bagi para santri di setiap hari. Mereka mencari tempat longgar terlebih dahulu
sebelum memulai ritual membaca nadzam.
Demi menjaga kemaslahatan lingkungan pesantren.
Maskudnya, mereka
mencoba menjaga ketentraman pesantren, dengan tidak mengganggu ketentraman hati
para santri lain yang, tentunya memiliki kegiatan masing-masing. Sikap
toleransi itu, langgeng mereka amalkan. Sebab lain, melagukan nadzam itu, adalah nanti, akan ada waktu
di mana hafalan itu akan diuji.
Mungkin ini, wajah
sastra pesantren dalam derajat Sudra. Derajat yang paling sederhana. Sebab
mereka hanya melagukan, menyanyikan, mendendangkan, beberapa nadzam, sya’ir
karya ulama salafiyyah maupun khalafiyyah. Juga mencakup pula
hikayat-hikayat Arab dan Persia. Belum sampai pada tingkatan selanjutnya. Tapi,
itu tidak bisa tidak lebih lanjut akan diupayakan oleh beberapa aktor dari
civitas pesantren.
Mengenai hal ini,
saya bersepakat dengan Jamal D. Rahman,[i] ia
berpendapat ihwal “Sastra Pesantren”—yang masih menjadi perdebatan panjang
sampai sekarang, banyak tokoh yang berlainan pendapat dengan istilah itu. Tidak
sedikit pula yang menyatakan ketidak-sepahamannya, seperti Taufik Ismail dan
Radar Panca Dahana.
Jamal, Salah satu
penyunting buku 33 Tokoh Sastra Indonesia
Paling Berpengaruh yang menuai berjibun kontroversi itu, menyebutkan
beberapa ciri atau karakteristik dari Sastra Pesantren.
Pertama, sastra yang hidup di Pesantren—seperti yang telah
penulis narasikan di paragraf pendahuluan. Kedua,
sastra yang ditulis oleh orang-orang Pesantren (Kyai, Santri, Alumni). Ketiga, sastra yang bertemakan
pesantren, seperti Ummi Kultsum, AA. Navis, Prof. DR. Hamka, Aguk Irawan MN, Djamil
Suherman, Abidah El-Khalieqy, Mushtofa Bisri. Pensyarahan yang seperti itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan
dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya.
Dalam tiga point itu,
yang benar-benar menjadi pioner “Sastra Pesantren” adalah point nomor dua. Untuk
kedua point lain, yakni point pertama, kita tahu, hanya tergolong Sastra
Pesantren berderajat Sudra. Meski Sudra, tapi jangan ragukan kontribusinya.
Sementara point ketiga, sastra bertemakan pesantren yaitu menjadikan pesantren
sebagai objek sastra, seperti mengamini
judul esai Abdurrahman Wahid dalam karya Menggerakkan
Tradisi; Esai-Esai Pesantren. Judul
yang diamini oleh kategorisasi terhadap point kedua adalah Pesantren Dalam Kesusastraan Indonesia,[ii]
dalam cakupan judul tersebut, Gus Dur memulai dengan beberapa tokoh yang telah
dengan suka dan rela menarasikan dunia pesantren. Ada Hamka dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis, Guruku Orang-orang dari Pesantren sebagai
otobiografi KH. Syaifuddin Zuhri, ia menceritakan secara detail fenomena
tradisi yang dialaminya di kampung, pesantren, rumah tinggal, bahkan
kolonialisasi. Mulai dari mengenal Bahasa Arab, kitab turats, sampai pada
ideologi nasionalisme. Karya ini menjadi untaian yang indah dan begitu menarik.
Sedemikian menariknya, buku itu menjadi referensi wajib bagi akademisi yang
konsen pada dunia pesantren. Tidak jauh berbeda dari karya Syaifuddin Zuhri,
ada Semasa Kecil di Kampung sebagai
otobiografi Mohammad Radjab yang sedikit banyak menggambarkan tradisi hidup
bersarung di kampung.
Selain itu, tidak ada
lagi yang disebutkan oleh Gus Dur. Kemiskinan karya sastra yang, menjadikan
pesantren sebagai subjeknya, oleh Gus Dur, disebutkan beberapa faktor
penghambatnya. Pertama, taraf
terminologis yang tinggi adalah persoalan dramatis dalam pesantren. Determinasi
(al Jabru), free destination (irodah),
intensitas ketundukan kepada Tuhan, habituasi yang stagnan, begitu sukar
dinarasikan dalam bentuk karya fiktif. Kedua,
adalah sebab kekakuan paradigma beragama masyarakat kita. Semestinya, untuk
tempo dekat ini, persoalan itu bisi diobati. Sebab tuntutan zaman supaya saling
keterbukaan untuk menghindari kebohongan dan distorsi. Sehingga sastra yang
menjadikan pesantren sebagai subjeknya, tidaklah menjadi barang yang tabu.
Perlu upaya Desakralisasi Agama, kata Nurcholish Madjid.
Sementara
dalam point kedua, adalah point yang demikian dhohir relevansinya terhadap pesantren. Civitas pesantren, mulai
dari Santri, Kyai serta Alumni, memiliki kontribusi nyata terhadap khazanah
“Sastra Pesantren”.
Wujud dari kontribusi
itu adalah membuminya beberapa karya sastra yang berunsur pesantren. Entah itu
dalam bahasa Arab, Jawa, Indonesia dst., dsb.
Unsur pesantren yang dibawa pun, tidaklah hal yang biasa. Penguasaan
dalam keilmuan bahasa dan pesantren fardhu
dipegang. Ilmu badi’/ilmu balaghoh, ilmu
ardul, ilmu nahwu-shorof . Pegangan kuat, serta penguasaan yang mantap
adakalanya akan menjadi kunci keberhasilan membuat karya “Sastra Pesantren”.
Selain itu, yang tak
boleh diabaikan adalah intrepetasi dari nilai-nilai Qur’ani. Sebagai karya
sastra terakbar di dunia, al-Qur’an, dalam bahasa KH. Sahal Mahfudz,[iii] tidak
hanya menyimpan redaksi kata yang analitik, melainkan nilai estetik juga
tersimpan dibelahan paling dalamnya. Dalam takaran ini, Tuhan sendiri mengakui
bahwa dia menyintai keindahan (estetika). “Innallaha
jamiilun yuhibbul jamaal” (sesungguhnya Tuhan itu Indah dan mencintai
keindahan). Yakni mencintai alam semesta, kehidupan selain bangsa Anak Adam
disertai men-tadabburi fenomena
sosial yang terjadi, hingga kita mengetahui adanya dinamika yang indah dari
banyak segi dalam kehidupan. Multidimensional adalah paradigma yang fardhu diperhatikan sebelum bisa
menghasilkan karya sastra yang gemilang. Lalu, apalagi yang diragukan dari
intrepetasi nilai-nilai al-Qur’an dalam babakan “Sastra Pesantren”? Nikmat
pesantren apalagi yang akan kau dustakan?. Peringatan ini supaya kita
bersama-sama merenung dan berpikir.
Ala kulli hal, manifestasi atas
artikulasi makna yang tersimpan dalam al-Qur’an, lalu dibedah dengan beberapa
alat/ilmu pembedah—balaghoh, arudl,
nahwu-shorof. Maka tidak mungkin tidak, kita akan mendapati karya sastra
yang memukau. Melalui proses itu pula, KH. Moenawwir (Krapyak), KH. Ali Maksum
(Krapyak), KH. Bisri Musthofa (Leteh, Rembang) dengan beberapa gubahan
sya’irnya, misal yang termasyhur adalah “Tombo Ati”, KH. Ali Ahmad (Cukir,
Jombang) yang dengan santun menyanjung bulan Ramadan dalam sya’irnya “Ya Ramadhan”, KHR. Asnawi (Kudus) dengan
“Sholawat Asnawiyyah” yang masyhur
sebagai sholawat nasionalis, dan masih banyak lagi.
Sementara itu,
menurut Gus Mus, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Hamid Pasuruan pun mempunyai diwan
atau antologi puisi. Dengan menjadi-menjadi, Gus Mus pun mengutarakan urgensi
bersastra atau berpuisi bagi civitas pesantren. Ungkapan itu muncul tatkala
banyak sindiran yang tertuju kepadanya sebab dia bersastra, berpuisi, aktif
nulis karya sastra di koran, padahal posisinya saat itu dianggap sebagai Kyai. Wa ba’du, mucul ungkapan “Kyai kok
berpuisi !”. Gus Mus lalu meresponnya, “justru kyai-kyai yang tidak berpuisi
itu aneh. Karena mulai Kanjeng Nabi sampai Kyai Hasyim Asy’ari itu berpuisi
semua. Tiap hari jum’at, orang pesantren membaca puisi semua. Tapi puisinya Jakfar
al-Barzanji, puisinya al-Bhusiri, puisinya ad-Diba’i, terus kenapa saya tidak
bikin sendiri? Hahaha.”[iv]
Bahwa sesungguhnya, Sastra di Pesantren bukanlah hal yang tabu!. Wallahu A’lam.
[i]
Jamal D. Rahman, 2008, Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam. Dalam
https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/.
Diakses pada 10 Juni 2016. 1.37 Wib.
[ii]
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan
Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Lkis; Yogyakarta;2001), Hlm. 44.
[iii]
K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh
Sosial, (Yogyakarta; Lkis; 2011), Hlm. 144-146.
Mantap gan sangat membantu
BalasHapusMy blog