Mendaur Lingkungan yang Bias Gender
Oleh : Afrizal Qosim Sholeh*
Judul : Perempuan,
Islam & Negara (Pergulatan Identitas dan Entitas)
Penulis : KH.
Husein Muhammad
Tahun
Terbit : Cetakan I, 2016
Tebal
Buku : viii-320 Hlm
ISBN : 978-602-7128-94-1
Penerbit : Qalam
Nusantara
Pesantren, sebagai basis pendidikan Islam awal di
Nusantara, menyimpan banyak memori ihwal posisi perempuan dalam Islam. Secara
historis, dalam awal kemunculan pesantren, perempuan menjadi sosok yang kasat
mata, seolah lenyap, tak terjamah. Macam ulama besar KH. Bisri Syansuri,
pengasuh Pesantren Denanyar, Jombang, salah satu pendiri NU saja sampai
diam-diam dan sembunyi-sembunyi tatkala berlapang dada menerima kehadiran
santri putri. Sebab, konon kala itu, istilah santri putri adalah istilah yang
tabu, tidak lazim, bahkan mungkin dipandang “melangkahi aturan agama”. Ada
cerita, ketika KH. Hasyim Asy’ari berkunjung ke Denanyar, Kiai Bisri buru-buru menyegerakan istrinya untuk menyembunyikan
para santri putrinya, supaya tidak diketahui Kiai Hasyim.
Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebutkan jika pondok pesantren perempuan
sebenarnya telah ada, yaitu sejak tahun 1910-an. Tapi, meskipun ada, sebagai
penghuni pesantren, santri putri masih dalam takaran keperluan yang masih
terbatas dan kebutuhan praktis. Misal agar bisa membaca al-Qur’an dengan baik,
Salat, mengerti masalah fiqh wanita, dan ihwal lain yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban
seorang perempuan dalam beribadah. (Hlm. 3-41)
Tersebut sejumlah karya kitab fiqih, klasik dan
kontemporer, yang memuat secara khusus hak dan kewajiban suami-istri serta
perilaku perempuan, misal Asyhbah Wa al-Nazhair
karya Imam Jalaluddin As-Suyuti, Syarh
Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain karya Imam Nawawi al-Bantani, Qurrah al-‘Uyun fi al-Nikah al-Syari’i karya
Idris al-Hasani, Qurrah al-‘Uyun fi
al-Nikah al-Syari’i bi Syarh Nazh Ibnu Yanun karya Abu Muhammad Maulanan
al-Timahi, Qurrah al-A’yun fi al-Nikah karya
Abd. al-Qodir Bafadhol, dan terakhir kitab Adab
al-Mu’asyarah bain al-Zawjain li Tahsil al-Sa’adah al-Zawjiyyah al-Haqiqiyyah
karya Ahmad bin Asymuni.
Secara umum, bisa dibilang, pandangan masyoritas kitab
fikih tersebut, menunjukkan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan
laki-laki. Laki-laki nomor satu, perempuan nomor dua. Laki-laki superior,
perempuan inferior. Laki-laki hidup di ranah publik, perempuan tersibukkan di
ranah domestik. Syahdan, paradigma
patriarkat menjadi paradigma besar atas hubungan relasional suami-istri.
Meski perempuan dalam kitab-kitab pesantren didudukkan
derajat fitrah yang tidak lebih dari derajat fitrah laki-laki. Parahnya, Pembacaan secara serius—tidak hanya sebatas
pembacaan harfiah, juga tanpa analisis yang luas dan sikap kritis—meminimalisir
kesimpulan yang sangat bias gender. Kecenderungan dalam kitab-kitab klasik juga
menjurus pada arah yang sarat akan sikap diskriminatif, bahkan misoginis
(membenci perempuan).
Buya Husein Muhammad, dalam upayanya membela hak
perempuan pesantren, dalam buku ini, beliau mengajak supaya meninjau, membaca,
mengkaji, mendialogkan, bahkan mengkritisi lebih lanjut kaidah dalam
kitab-kitab pesantren yang bersinggungan dengan hak dan kewajiban perempuan. Misal
pembacaan ulanga kitab uqud al-lujain,
Buya mempertegas beberapa hadis yang diikuti oleh Imam Nawawi, misal hadis nabi
saw. “berilah dia (istri) makan jika
makan, berilah pakaian jika kamu berpakaian. Jangan memukul mukanya, jangan
melukainya, dan jangan meninggalkannya, kecuali di tempat tidur”. Hadis
tersebut sarat akan sikap menghormati perempuan. Jika perempuan memiliki
derajat yang luhur, tidak melulu menjadi the
second. (Hlm. 43-70)
Reposisi Dunia Baru
Perlahan-lahan, kabar baik berhembus dari dunia
pesantren. Sebelum UU gender mainstreaming disahkan Parlemen, lebih dulu NU
dalam Munas NU 1997 dalam forum yang membahas makanah al-mar’ah fi al-islam (kedudukan perempuan dalam Islam),
menyepakati keabsahan perempuan mengambil peran dalam kebijakan publik atau
politik. Seiring dengan perubahan zaman, secara sosiologis, signifikansi
“pesantren perempuan” menjadi perhitungan mutlak bagi para ulama, sekaligus
para pengasuh pesantren. Sebagai protektor, pesantren fardhu membentengi perempuan-perempuan Islam menghadapi keterbukaan
zaman. Layaknya beberapa hukum Islam, dinamisasi terhadap zaman atau
pembaharuan hukum, akan terus berjalan. Pesantren-pesantren Nusantara mulai
banyak yang menerima kehadiran perempuan yang ingin mengemban keilmuan di
pesantren.
Bahkan belakangan ini, dalam ranah akademik, telah gencar
berhembus isu feminisme, kesetaraan gender, gender
mainstreaming, sampai gerakan pembebasan perempuan. Diskursus perempuan
lalu menjadi gagasan yang patut dikaji ulang. Melalui beberapa lembaga, seperti
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang didirikan oleh KH.
Yusuf Hasyim, KH. Sahal Mahfudz, KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Dawam
Raharjo, Aswab Mahasin. Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yogyakarta, Fatayat
NU, Rahima, Puan Amal Hayati pimpinan Nyai Shinta Nuriyah, Women Crisis Centre
(WCC) Balqis, Fahmina Institute, Puspita, di Universitas ada Pusat Studi Wanita
(PSW), dan masih banyak lagi. (71-92)
Tidak kalah penting, perempuan dalam negara, tidak lebih
sebagai pendukung, penyokong, penghias peran laki-laki. Dalam melihat hal itu,
mudahnya, kita melihat seberapa banyak kursi yang disediakan bagi perempuan di
parlemen? Meski diberi jatah yang cukup, yaitu 30 %, tapi realitasnya, kursi
yang diterima perempuan tidak sampai, apalagi melebih prosentase tersebut.
Buya Husen, dengan baik, merekonstruksi pemahaman posisi
perempuan dalam agama dan negara. Menukil Q.S. al-Ahzab: 35, an-Nahl: 97, Ali
‘Imran: 195, al-Mukmin: 40, dan lain-lain. (Hlm. 110) Lewat paradigma persamaan
hak (al-musawah), sikap peduli
terhadap sesama dan mementingkan kemaslahatan umum, perempuan akan mampu
terlihat kontribusi nyatanya. Simbol mutualistik menggerakkan roda kehidupan
yang berkeadilan dalam nation-state.
Apalagi berbicara tentang Indonesia, sebagai negara yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, prinsip berkemanusiaan yang adil dan
beradab, menjunjung persatuan, kesejahteraan, kedamaian, serta keadilan sosial,
sejelasnya harus menjadi patron dalam membangun negara. Negara telah
meratifikasi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, melalui UU No. 39 tahun
1999, dan sejumlah konvensi internasional. Antara lain adalah UU No. 07 tahun
1984 tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pun
demikian tentang human trafficking,
perlindungan TKI, KDRT, Pornografi, dan lain lain. Posisi perempuan dan
laki-laki harus seimbang dalam negara. Lewat cara pandang kenegaraan maupun
agama. Agamawan mengklaim dengan nalar apologetic, bahwa agama dihadirkan Tuhan
dalam rangka menciptakan keadilan, kasih sayang semesta (rahmatan lil alamin) dan perlindungan hak-hak dasar manusia.(Hlm.
130-131)
Syahdan, ikhtiar mewujudkan prinsip al-musawah dalam negara pun agama adalah keharusan, hingga nanti
tak sampai muncul pandangan yang selalu diskriminatif, apabila kita berbica
perempuan dalam agama dan negara.
Setelah itu, beberapa pembahasan yang lanjut dalam buku
ini, KH. Husen Muhammad menggarisbawahi, mendekte beberapa argumen “Fiqh Wanita”
dalam khazanah kitab-kitab pesantren yang membebaskan, yang berkeadilan serta
tidak timpang dalam banyak hal dalam kehidupan rumah tangga, sosial-publik,
sampa negara.
* Santri PP.
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar