Islam Saya
Pergulatan keberagamaan di Indonesia
dewasa ini sungguh riskan. Keompongan persatuan di ambang gading yang mulai
retak. Rasa kebersamaan tercoreng nilainya oleh arogansi teroris dan kekerasan
yang mengatasnamakan agama.
Tak perlu ambil
pusing ternyata. Sebab pendahulu kita telah lama punya arguman teologis pun
sosiologis ihwal menanggapi chaos
beragama kita. Mencuat dalam
berbagai pertemuan—entah itu pertemuan berskala nasional maupun
internasional—sebuah suara keprihatinan. Keprihatian terus-menerus disuarakan
dalam kampanye perdamaian oleh kalangan mainstream
moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Sebut saja Nahdlatul Ulama, yang
berlandaskan ajaran Ahlusunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA). Dalam doktrin internal-keagamaannya, NU mempatenkan
dirinya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (diniyah wal ijtima’iyyah). Pula ihwal yang tidak luput dari doktrin
ormas itu adalah nilai-nilai persaudaraanya. Dalam kaleidoskop NU sendiri, ada
sebuah trilogi persaudaraan yang oleh KH. Ahmad Shiddiq disebut sebagai
“trilogi ukhuwah”. Di dalam trilogi itu, ada model ukhuwah islamiyyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathoniyyah (persaudaraan umat bernegara), dan ukhwah insaniyyah (persaudaraan sesama
manusia). Ketiganya menjadi sebuah kesatuan, trio-unitas yang memotori pergerakan perdamaian NU.
Dalam praktek keberagaman dan keagamaan,
Indonesia dikenal sebagai negara yang selain multikultural juga dikenal sebagai
negara multi-religi. Dalam kontek ini, keberagamaan kerap kali dijadikan alat
adu domba (devide at empera) oleh
banyak kalangan yang membenci kebersatuan umat Indonesia. Indonesia menjadi
objek penelitian sekaligus objek aplikasi penelitian. Tak ayal, kekacauan
tumbuh subur dalam rentetan historis negara, selain konflik internal bangsa
lewat kekuasaan negara. Kerangka historis semacam ini, memberikan refleksi akan
pedihnya bangsa ini menuju kea rah kemajuan. Kerusuhan menjadi batu sandungan
untuk Indonesia berganti baju dari baju negara berkembang ke baju negara maju. Hunian
Indonesia disektsa dibuat sangat tidak nyaman dengan kekerasan.
Banyak sekali kampanye hujatan supaya
pemerintah bertindak tegas dalam memberantas hal tersebut. Tapi apa boleh buat
pemerintah lewat aparatur keamanan negara terkesan bertindak lamban dan hanya
membentengi, tak berwujud sama sekali tindakan konkrit. Mereka cenderung punitif, tidak preventif. Oleh
karenanya, daripada menunggu kegagapan pemerintah dalam menangani hal tersebut.
Tindakan yang dirasa efektif adalah memperbaiki sikap beragama kita. Namun, perbaikan sikap beragama itupun tidak
mudah berjalanan, diperlukan beberapa tahapan untuk sampai pada sikap beragama
yang efektif dan mendamaikan.
Di awal, penulis
menawarkan trilogi pendekatan kekeluargaan sebagai pondasi awal kita membangun
peradaban yang indah. Yaitu, peradaban yang sesuai dengan alam kemanusiaan,
juga kebangsaan. Melihat kondisi yang kita hadapi tempo hari, dimana pedang
menjadi ideologi, harimau menjadi simbol, lalu nama Tuhan menjadi legitimasi.
Itulah kepiluan yang tidak bisa tidak kita terima. Kepiluan yang tak kunjung
beranjak dewasa. Kepiluan yang membabi-buta rasa kemanusiaan dan kebangsaan
kita. Hanya bisa berimpuh dengan anggukan mistis tanda pasrah.
Komentar
Posting Komentar