Dari Agama Menuju Realita
“Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”, bukanlah ungkapan baru dalam kaleidoskop keberagamaan kita, bangsa Indonesia. Kita tak asing tatkala membaca ataupun mendengar dari pihak kedua. Rutin, setiap setahun sekali, pasti kita disapa dengan adigum tersebut. Ungkapan tersebut menjadi impuls juga sindiran bagi golongan yang menjalankannya. Impuls sebab, mereaktualisasikan peran agama dalam ranah publik. Di lain sisi adalah sindiran “Lah masak ibadah—kewajiban yang dibebankan—tiap tahun kok masih perlu diingatkan? Bukankah kewajiban itu memang harus diketahui, diimani oleh para penganutnya?”.
Tepatnya di bulan Ramadan. Bulan penuh rahmat. Bulan
penuh berkah. Dimana yang berkewajiban dilarang makan dan/ minum sejak fajar
menyingsing sampai tenggelam. Bau mulut menjadi harum semerbak minyak kasturi. Menahan
syahwat. membatasi penglihatan yang ndak-ndak.
Pahala ibadah dilipatgandakan. Tidur menjadi ibadah. Pasar Takjil berjejar
tersebar di mana-mana. Lalu mendadak, wajah Televisi berubah. Menjadi muallaf,
masuk Islam. Siaran-siaran berubah konsepnya 180°. Citra peci, hijab, gamis,
sarung dan lain sebagainya, akan laris sebagai tontonan. Lain daripada itu,
Grup Band berlomba-lomba dalam kebaikan, industri musik dibanjiri single atau album bernuansa religi. Imej
profetik nampak sekali, dari mass-media
dengan frekuensi penyiaran terbesar di dunia tersebut.
Yang dikhawatirkan dari fenomena tersebut adalah lahirnya
Negara Islam. Jika kita sependapat dengan pernyataan Bennedict OG. Anderson,
dalam Imagined Communities ia
menyebutkan, jika yang membangkitkan rasa nasionalisme negara-bangsa adalah
peran dari media massa. Pada masyarakat yang melek aksara, media massa akan
cepat merangsang pengetahuan. Entah yang visual, entah verbal, atau hanya media
cetak. Pokoknya yang berbaju media, oleh Ben dikatakan sebagai perangsang
terampuh untuk membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat berbangsa dan
bernegara. Apa tidak kaget orang Indonesia, jika tesis tersebut benar.
Indonesia akan membentuk masyarakat yang terbayang-bayangnya dalam ikatan
negara agama, yaitu Negara Islam.
Bisa dibayangkan, intensitas imej agama dipertontonkan
dengan brutal di media massa akan bermuara pula pada kehendak lebih para
penganut agamanya. Mereka akan berbangga, superioritas. Merasa dianggap dan
diperhatikan. Hingga hati mereka berbunga dan terbuka. Coba bayangkan. Haha.
Realitas Yang Baru
Memasuki bulan Ramadan, Masjid akan penuh sesak di awal,
longgar di tengah dan sedikit penuh lagi di kuarta terakhir. Bersamaan dengan
itu, Mall atau pusat perbelanjaan lain, yang menyediakan persediaan beribadah
puasa atau beribadah Hari Raya, perlahan-lahan akan ramai dengan sendirinya.
Tidak jarang pula, untuk menarik minat pembeli, jor-joran diskon digerakkan.
Banjir diskon adalah magnet tersendiri bagi pembeli. Dengan catatan, harga awal
dinaikkan lalu didiskon sedemikian rupa sehingga selisih harga asli dengan harga
yang telah didiskon tidak terpaut jauh.
Di sisi lain, diskon dalam Masjid—sebagai simbol
agama—pun ada juga. Seperti misal dalam Ibadah Ramadan, agama menjanjikan di
setiap kuarta itu berbeda-beda derajat pahalanya. Misal di sepuluh hari pertama
ganjaran yang diberikan adalah rahmat , sepuluh hari kedua ganjaran yang
diberikan adalah pengampunan (maghfiroh),
dan sepuluh hari ketiga ganjaran yang diberikan adalah terbebas dari api neraka.
Tapi apa bisa dikata, kita cenderung materialistis dalam beragama, jika untuk
beribadah mempertimbangkan pahala atau ganjaran atas ibadah yang dilakukannya. Juga
lebih materialistis lagi, jika ganjaran ibadah yang absurd itu dibandingkan
dengan berbelanja di Mall untuk kebutuhan Hari Raya yang jelas, gamblang nyata
terlihat. Alhasil, ibadah kita hanya sebatas hasrat kita dalam beribadah itu
juga. Sebab tanpa nilai penting dalam beribadah itu sendiri, yaitu rasa ikhlas,
pasrah dan tak menaruh sepeserpun keinginan imbalan atas ikhtiar kita dalam
beragama.
Komentar
Posting Komentar