Agama dan Globalisasi (Agama sebagai Kata Sifat Menuju Nasionalisme dan Kesalehan Kolektif)
Sumber Pict: http://ahmyam.deviantart.com/art/Makkah-Mukarrama-259656708
Globalisasi
dalam ranah Akademik menjadi konteks bahasan paling intens, bahkan wajib.
Intensifikasi pembahasan globalisasi mempunyai kesamaan penekanan pada banyak
sisi dalam ranah Akademik. Sebagai wakil dari peran dunia Akademik, Sebab pula Universitas, dalam peran yang
begitu menjiwai menjadi gerbang perubahan. Garda depan perubahan sosial secara
teoritis khususnya, dan praktikal pada kalanya. Sehingga perkembangan serta
perubahan zaman dari era ke era adalah pokok bahasan utamanya, dan hal ini
jelas sekali terlihat di beberapa Universitas Islam di Indonesia, dan mungkin
beberapa Universitas “sekuler” yang sedikit besar tersangkut-paut dengan term pembahasan tersebut.
Berangkat
dari anggapan demikian, telah banyak pemikiran ihwal “Agama dan
Globalisasi”yang tertelurkan di ranah Akademik. Mayoritas berangkat dari
kerangka berpikir Sosiologis-Antropologis—tentunya dengan bumbu teologi,
ideologi dan doktrin internal dalam masing-masing authordalam wujud beberapa paradigma, tradisionalis, modernis, revivalist dan transformatif.[1]
Misal ada beberapa yang penulis kenal, Agama
Pelacur (Nur Syam), Agama Jawa;
Abangan, Santri Priyayi (Clifford Geertz) Agama Pragmatis (Haniah), Beragama
dalam Belenggu Kapitalisme (Fachrizal A Halim), Agama NU (Ahmad Baso), Kala
Agama Jadi Bencana (Charles Kimball), Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan (Nurcholish Madjid) dan lain sebagainya. Dalam
beberapa karya yang penulis sebutkan di atas, secara global, pembahasan yang
mereka ambil adalah dalam tema besar persoalan yang sama, yakni “Agama dan
Globalisasi”. Ada yang mengungkapkan proteksi, tipologi, kegandrungan,
eksploitasi, hegemoni, serta ideologi-sentris dan solutif. Dengan demikian,
cara pandang dalam tema besar itu demikian luas cakupannya dan begitu banyak
karya yang berangkat darinya. Namun, penulis akan mencoba mengambil cakupan
yang sederhana, yakni respon Agama di
era Globalisasi sebagai impuls
keberagamaan dalam urusan duniawi pun ukhrawi.
Kontruksi
Masyarakat Agama
Meskipun munculnya
agama-agama telah lama ada. Tapi hanya sedikit yang menyadari, terkhusus bagi
umat beragama, bahwa kehidupannya ditata, diatur dan dibatasi oleh keadaban
beragama. Kesadaran yang kurang menggebu ini, bukanlah sebuah kesalahan,
melainkan ketertiduran kita, kekurang-meleknya kita akan hal itu. Dengan
kesadaran bahwa agama bukan hanya aqidah dan syari’ah (Dinu al-Aqidah was Syari’ah)—dalam agama Islam. Tapi, Agama
mencakup berbagai segi dalam kehidupan. Misal Politik, Ekonomi, Humanitas,
Aqidah, Syari’ah dan lain sebagainya.
Agama-agama
yang hidup di jagad raya ini, secara historis, memiliki kesamaan dalam ihwal kelahirannya.
Seorang Nabi dalam Islam juga Yahudi, Yesus dalam Kristen, Sidharta Gautama
dalam Buddha, Bapa dalam Katholik dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut adalah
bidan yang membantu muncul atau lahirnya sebuah agama. Demikian pula dengan
misi awalnya, yaitu mencerahkan. Mengantarkan umat dari kegelapan menuju cahaya
(iman). Hingga pada saatnya, dinamika serta artikulasi akan mengantarkannya
pada perubahan besar. Misal pada kisaran abad XV-XVI, dalam jangka waktu dua
abad tersebut, agama menjadi semacam roda. Roda yang lazimnya sebagai tumpuan
penggerak dalam gerakan yang demikian dinamis, seperti dalam mobil dan motor.
Hingga pada saatnya, agama beralih haluan dari keimanan doktrinal menjadi keimanan
revolusioner. Dengan anggapan, bahwa keimanan doktrinal tidak membuat kita
(para penganut) berubah pandangan, statis. Hal ini yang dialami oleh agama
Kristen, meskipun telah mengepakkan sayap sekularismenya, tapi Kristen terus
berikhtiar untuk membangun spirit beragama yang koheren, artinya mencakup
kehidupan ukhrawi dan duniawi. Walhasil, dalam kurun dua abad tersebut, oleh Kristen,
ditandai sebagai era Reinasans, era
kelahiran kembali. Di Eropa, sajaknya memang antara abad XV-XII merupakan era Reinasans. Demikian respon Kristen dalam
menghadapi gejolak zaman.
Sementara
itu, agama dalam kultur globalisasi telah mengubah batas antara agama dan
non-agama menjadi batas abstrak, imajiner.
Globalisasi, sejauh ini merupakan integrasi masyarakat dunia yang lebih
terbuka, hal ini tentu saja memberi harapan baru bagi kehidupan.[2]
Sifat keterbukaan dalam era globalisasi mengantarkan pada kesepakatan integrasi
kehidupan secara komprehensif. Entitas duniawi bercampur dengan entitas
ukhwari. Alhasil, kita nanti akan sulit mengutarakan mana itu agama dan mana
yang tidak agama.
Dalam
kekaburan ihwal agama tersebut, Jhon Dewey telah mengingatkan akan definisi
agama sebagai kata benda (a religion)
dan definis agama sebagai kata sifat (religious).[3]Nah,
dalam konteks globalisasi dewasa ini, konstruksi masyarakat beragama yang
dianggap paling mendukung adalah point kedua, yaitu agama sebagai kata sifat.
Pasalnya, agama sebagai kata sifat, tidak menjadikan agama stagnan. Melainkan
aktif, artinya sikap religius menjadi relung jiwa oleh banyak institusi global
dewasa ini. Religiusitas mengundang moralitas yang apik dalam sikap masyarakat
dalam respon globalisasi.
Syahdan, dari uraian di atas, dapat ditarik garis besar, jika
agama-agama dunia, diambil segi religiusitasnya—atau dalam bahasa
masyhurnya—diambil sikap nilai-nilai
universalitasnya. Sehingga normatifitas agama tetap hidup menjadi norma
administratif, norma ideal, norma transformatif agama dalam menjawab tantangan
zaman global. Zaman dimana orang sibuk dengan privatisasi, individualisasi dan
menghilangkan segi humanitas perlahan demi perlahan.
Agama,
Revolusi dan Nasionalisme
Melihat pola dan
konstruksi masyarakat era globalisasi, agama akan hidup sebagai api di bawah
cawan yang telah mendidih. Agama menjadi api, berfungsi untuk merangsang
kehidupan manusia. Manusia dirangsang kemanusiaannya. Api merangsang air hingga
membuatnya mendidih. Artinya, agama menggodok perilaku beragama manusia.
Anggapan ini akan berbunyi lain jika agama hanya dianggap sebagai pelarian,
sebagai tempat mengadu, dan ritus-ritus ibadah
maghdhoh lainnya. Tetapi lebih dari itu, muncul perubahan baru dari proses
sinergi antara jiwa manusia dan spirit ilahi. Hal ini sama dengan apa yang
dibahasakan Gus Mus sebagai Shaleh Ritual
dan Shaleh Sosial. Kesalehan
kolektif, bahwa agama tidak hanya berpaku pada ibadah ritual semata, ibadah
doktrinal semata. Tetapi mencakup pula ibadah yang membebaskan, ibadah hasil
dari intrepetasi kita pada ajaran agama. Yaitu pengamalan. Dengan demikian,
seluruh pusat otoritas beralih dari kitab suci dan khotbah pendeta ke metode
pengalaman ilmuwan.[4]
Konfliktual dua persepsi hal-ihwal agama sebagai kata
benda dan agama sebagai kata sifat, mengerucutkan titik pembahasan terkonsen
pada aktor beragama yang ekspresif. Aktor ekspresif agama, tidak hanya terfokus
pada ranah ukhrawi yang tertuang dalam doktrin agama semata, dan melupakan
ranah duniawi. Tapi agama sebagai jalan menuju dua kebahagiaan tersebut, ukhrawi dan duniawi.
Kita
mengenal Renaissance di Eropa sebagai kelahiran baru dari sisi revolusioner
agama. Kelahiran baru, tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk protes terhadap
kontrol dewan rohaniawan.[5]
Yang mana pada saat itu, abad 18, kekuatan gereja di Eropa begitu kuat, hingga
ranah personal diinstitusionalkan oleh mereka. Untungnya, mereka tidak tinggal
diam, mereka menuntut perubahan sosial yang revolusionis. Perubahan yang
merubah secara keseluruhan tatanan agama publik.
Negara,
sebagai counter agama, seringkali terlibat dan memakai sarung tinju untuk
bertarung dengan penganut agama yang tak sepaham dengan ideologi yang diusung
oleh pemerintah dalam menegakkan paham keagamaan. Fenomena ini terjadi hampir
di seluruh belahan dunia. Mulai dari Eropa, Asia, Asia Tengah, Asia Selatan,
Afrika dan yang paling fenomenal adalah revolusi religius di negara-negara
Timur Tengah. Seperti Revolusi Iran yang menjadi revolusi religius paradigmatik
dan menjadi paradigma revolusi di seluruh dunia Islam. Revolusi Iran sebagai perjuangan
melawan penindasan, perjuangan atas kepemimpinan tirani Shah yang membelenggu. Ayatullah
Khomeini sebagai provokator Revolusi Iran merupakan seorang ulama yang alim,
ulama radikal, ulama kiri. Dia tidak menafikan peran Amerika dalam revolusi
tersebut. Hingga kita tahu, bahwa politik
revolusi Iran baru pada dasarnya adalah Islam—dan khas Syi’ah.[6]
Islam
Keindonesiaan
Rekam
sejarah lain yang menggugah revolusi agama-agama, agama Islam khususnya, adalah
peristiwa pengeboman gedung WTC, New
York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang lalu, yang
dilakukan oleh komplotan teroris yang diatas-namakan dari golongan Islam, menjadikan gejolak konfliktual baru dalam kehidupan beragama di Amerika Serikat.
Bahkan juga dunia. Selain itu, peristiwa tersebut juga mengakibatkan munculnya beberapa aliran transnasional dengan Islam
sebagai basis
gerakannya. Mereka mencoba melantunkan konsep “Negara Islam”
dengan nyaringnya di penjuru dunia.
Meskipun isu terorisme bukanlah hal baru,
namun terhadap paham itu,
tetaplah tuntutan untuk waspada selalu ditumbuhkan dalam diri masing-masing umat beragama.
Terutama Islam, sebagai agama yang kerap kali
dinisbahkan terhadap paham tersebut. Secara sosiologis, gejala konfliktual yang
diakibatkan oleh peristiwa tersebut adalah berkurangnya nilai-nilai toleransi dalam kehidupan beragama
di Amerika Serikat. Kehidupan beragama menjadi sempit,
hanya terbatas kepada golongannya. Sehingga akses interaksi di antara penduduk antar
Negara tercekal sebab nilai agama yang eksklusif tersebut. Seolah-olah agama
menjadi biang keladi di antara beberapa peristiwa konfliktual yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
Tahun 2015, kita masih ingat peristiwa memilukan terjadi
di Myanmar. Muslim etnik Rohingya dipaksa keluar oleh pengikut agama Buddha dari
Negara Myanmar, yang notabene basis agama Buddha di Asia Tenggara,
selain masih ada Thailand. Sehingga menjadikan muslim etnik Rohingya terlantar di
Lautan Pasifik, parahnya lagi, selain diusir dari Negara asalnya,
dibakar rumah huniannya, dan bahkan untuk dapat tempat yang lebih aman pun susah.
Negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filiphina,
enggan menerima dengan lapang kehadiran para Muslim Rohingya untuk sekedar mengungsi,
mencari tempat lebih aman demi mempertahankan nyawa mereka.
Banyak isu beredar mengenai terjadinya konflik tersebut, di antaranya, mereka
(pengikut Buddha Myanmar) takut, jika muslim menguasai Myanmar, seperti yang
terjadi dalam sejarah masuknya Islam masa silam di Indonesia.
Nilai religiusitas agama, yang dianggap
Jhon Dewey (2001) sebagai prospek agama Islam menghadapi tantangan global, tersendat dengan beberapa peristiwa terorisme yang menjadikan agama sebagai bingkainya.
Seperti kedua peristiwa tersebut di atas, yang
menyalah-persepsikan pemahaman terhadap tafsir nilai-nilai agama sebagai ajaran
moral tentang kasih sayang. Secara umum, semua agama
dalam ajaran teologis mengajarkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, pluralitas.
Sehingga, meskipun sifatnya eksklusif,
jika pemahaman kita hadapkan kepada teologi antar umat beragama,
maka sulit atau bahkan mustahil ada sebuah pertentangan di antara satu agama dengan
yang lain.
Hanya saja, oleh beberapa kalangan,
ajaran substansial agama seperti itu lupa untuk diimplementasikan dalam sebuah tindakan konkrit.
Bahwasannya jika nilai teologis, keyakinan tentang ajaran-ajaran dalam agama
diwujudkan dalam sebuah tindakan yang nyata dalam kehidupan beragama,
maka sisi humanitas agama akan menjadi garam, sebagai penyedap rasa antar umat beragama.
Faktanya, dehumanisasi masih menjadi wabah penganut agama saat ini.
Sangat disayangkan juga, ketika proses
dehumanisasi tersebut hanya berakar padahal sepeleh, seperti perbedaan etnis,
pandangan keagamaan, sengketa tanah, apologi politik nasional, dst, dsb.
Lalu apa yang dapat diambil dari proses
beragama kita, dari proses peribadatan kita?
Jika hal-hal seperti tadi menjadi masalah pokok kerusuhan atau pertentangan masyarakat di
Indonesia saat ini.
Amal dan ibadah kita sehari-hari terkesan stagnan tanpa adanya upaya konstekstualisasi dini dalam meniatkan ihwal beragama.
Terutama Islam, agama Abrahamic dengan konsep pedagogis (baca: Dakwah)
dalam penyebaran awalnya,
sekarang menjadi kambing hitam dalam setiap peristiwa kekerasan atau familiar
dikenal terorisme.
Langkah perbaikan agaknya perlu digerakkan,
dengan interpretasi kembali koreksi kepada sejarah agama-agama di dunia, khususnya
di Indonesia. Koreksi sejarah inilah yang
menghasilkan reintrepretasi kepada adiluhung nilai dalam setiap ajaran
agama—kasih sayang, romantisme.
Kemudian dibarengi dengan mengangkat isu ke-indonesia-an
sebagai pemersatu umat beragama. Konteks ke-indonesia-an menjadi landasan
fundamental selain ajaran agama sebagai lem perekat umat di Indonesia. Walhasil,
slogan sakti Negara kita, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”
berbeda-beda tapi tetap satu, menjadi mantra yang setiap hari akan dikumandangkan dan diingat oleh bangsa kita.
Sehingga untuk menuju “Baldatun Thoyyibatun WaRobbun Ghofur” tidaklah sulit. Wallahu A`laam.
Fachrizal A. Halim, (2002) Beragama Dalam Belenggu Kapitalisme, (Magelang; IndonesiaTera)
Haniah, (2001) Agama
Pragmatis; Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey, (Magelang; Yayasan
IndonesiaTera)
Mansour Fakih, (2002) Jalan
Lain; Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Mark Juergensmeyer, (1998)Menentang Negara Sekular; Kebangkitan Global Nasionalisme Religius,
(Bandung; Penerbit Mizan)
[1]Mansour
Fakih, Jalan Lain; Manifesto Intelektual
Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Hlm. 246
[2]Fachrizal
A. Halim, Beragama Dalam Belenggu
Kapitalisme, (Magelang; IndonesiaTera;2002). Hlm. 64
[3]Agama
sebagai kata benda (a religion)
lebih mirip pada definisi agama secara substantif. Definisi ini, lebih
mengarahkan pada ihwal supernatural. Supernatural adalah unseen power (kekuatan tak terlihat) dari agama lewat doktrin.
Sedangkan A Religion, yaitu pengakuan
manusia terhadap kekuatan yang lebih tinggi dan tidak tampak yang mengawasi
nasib manusia dan berhak atas kepatuhan, hormat, dan pujian. Sementara itu,
definisi dari agama sebagai kata sifat (religious)
menunjukkan suatu sikap hidup yang terarah pada nilai-nilai ideal. Dewey
melanjutkan, sifat reiligius yang ada dalam pengalaman atau kehidupan yang
berasal dari refleksi terhadap objek-objek duniawi. Sikap religius ini terlahir
dari pengalaman melalui penyesuaian (adjusment).
Penyesuaian terdiri dari adaptasi (sikap aktif) dan akomodasi (sikap pasif).
(Haniah, Agama Pragmatis; Telaah atas
Konsepsi Agama John Dewey, (Magelang; Yayasan IndonesiaTera;2001), Hlm. 70,
78)
[4]Haniah,
Agama Pragmatis; Telaah atas Konsepsi
Agama John Dewey, (Magelang; Yayasan IndonesiaTera;2001), Hlm. 69.
[5]Haniah,
Agama Pragmatis; Telaah atas Konsepsi
Agama John Dewey, (Magelang; Yayasan IndonesiaTera;2001), Hlm. 103.
[6]Mark
Juergensmeyer, Menentang Negara Sekular;
Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, (Bandung; Penerbit Mizan, 1998).
Hlm. 66-67.
Komentar
Posting Komentar