Selilit tentang kalian: Keluargaku di Tanah Rantauan


Yadal Fataa lalu Aliansi Banjari Yogyakarta


Sebenarnya sulit untuk menceritakan tentang kalian dari kedangkalan pikiran dan ingatanku ini. Tidak sedikit cerita yang telah kita ukir. Kalian begitu berarti? Pasti. Kalian begitu berharga? Jelas. Kalian begitu menjengkelkan? Terkadang. Kalian begitu menggembirakan? Usah diragukan. Kalian penuh cerita? Sebab itu sulit bagiku menceritakan segalanya yang telah kita lalui bersama-sama.
Apa aku harus mendetail untuk menceritakan kalian? Artinya sejak awal mula kita berjumpa sampai bosan berjumpa layaknya sekarang ini?. Apa harus demikian?. Alah, Mungkin itu tak penting. Sudah banyak cerita yang kita bingkai dan ikat dalam ingatan kita masing-masing. Entah itu cerita senang, susah, sedih, gembira, tegang dan rileks. Susahnya amplop kundangan dapet sedikit, senangnya amplop kundangan dapet banyak. Haha. Tapi ada yang nyeletuk “yang terpenting disyukuri, dapatnya segini ya kita terima”, dan aku selalu salut pada omongan seperti itu. Susahnya kantong kering, susah jomblowan, susah latihan, susahnya untuk ngopi, susahnya badan, semua hampir secara bersama-sama kita lewati.  Kita sudah membingkainya dalam ingatan dan hati kita masing-masing. Lihat saja, tiap kali berjumpa, beberapa moment selalu kalian daras, praktekkan. Sampai-sampai tak terbesit rasa bosan mendengarnya—padahal sudah berkali-kali kalian menceritakannya padaku, pun aku yang menceritakannya pada kalian.  
Itulah lucunya kalian, lucunya komunitas kalian, lucunya sebuah perkumpulan. Tapi, perlu diketahui, hal demikian, bukan hanya kita yang mengalami, mungkin segala yang bersangkutan dengan komunitas, perhimpunan, perkumpulan, organisasi, mutlak mengalami hal yang demikian. Sebagai komunitas Indonesia pun, kita ajeg mendaras sejarah nenek moyang kita, leluhur bangsa, pendiri bangsa dan pahlawan bangsa. Mengulang sejarah masa lalu. Bernostalgia dengan yang lalu. Berjalanan diiringi oleh bayangan masa lalu. Sebab sejarah akan terus berulang. Ibarat pohon, sejarah adalah ia yang selalu tumbuh, berkembang, berbunga, berbuah, dinikmati lalu berbenih. Terus saja seperti itu. Itulah sejarah dan itulah kita dalam Aliansi.
Mungkin sebuah ketololan jika aku tidak menyebut satu persatu aktor yang paling berperan di ALBY sejak mula sampai sekarang dalam beberapa paragraf ini. Tapi lebih tolol lagi jika tak kusematkan nama-nama kalian, para anggota, para partisipan dan penggembira, karena itu secara singkat aku menyebut kalian sebagai keluarga. Iya, keluarga. Keluarga, yang ketika awal bertemu dan menjalin kasih selalu dido’akan oleh banyak orang dengan do’a “semoga sakinah, mawadah wa rohmah”. Semoga itu pula yang nantinya kita semai dalam beberapa cerita yang akan kita lalui untuk kedepan. Sebab kita keluarga, yang menjadi tolak ukur keberhasilan individu dalam ihwal pengabdiannya di masyarakat. Seberapa tangguh kita ditempa di keluarga ini (ALBY), nantinya, akan kita petik pula buah persemaian tersebut. Ya mungkin bagi kalian, dan bagiku juga, ALBY bukan satu-satunya “keluarga kedua” di Yogyakarta. Tapi aku yakin, kalian akan menempatkan ALBY di salah satu ruang hati kalian masing-masing. Aku tak peduli, entah itu ruang yang paling kecil, sedang, besar di hati kalian, aku tak peduli. Yang terpenting itu sudah berada dalam hati kalian. Aku yakin.

Tapi, kalau boleh aku jujur, aku sedih. Dan masih mungkin, hal ini juga kalian alami. Bahwasannya, kalian menyita waktuku. Menyibukkan kesibukanku. Mengambil jatah waktu luangku, merampok kebebasanku. Menyita uangku untuk menjalani niat utama hidup di Yogyakarta. Tapi aku akan berterus terang, jika kalian memang keluarga keduaku di sini, Yogyakarta. Aku yakin kalian adalah individu yang teralienasi, termarginalkan, minoritas yang kesepian. Kita adalah kaum mustadh’afin, pada mulanya. Oleh sebab kesepian itu, kalian mengobatinya dengan mencari kawula se-iman dan se-ihsan memainkan seni religi Hadrah Banjari. Dan karenanya, setelah masuk, mengenal, saling memahami, kalian menjadi Salam, Islam, Muslim, yakni insan yang pasrah. Pasrah bukan berarti tak mau tahu menau ihwal hanyutnya diri kalian dalam aliansi tersebut. Tapi kalian adalah individu yang mengidolakan kebahagiaan. Canda-tawa selalu menyertai kalian. Begitu pula denganku. Ya, meskipun totalitas pasrahku terbilang masih setengah-setengah pada kalian. Tapi aku yakin, kalian adalah alasanku untuk bisa tertawa bahagia riang gembira di tanah perantauan ini.

Terima kasih. Kalian telah membentuk aliansi, mewadahi, mengayomi beberapa kaum yang tersisihkan, terpinggirkan, termarginalkan dan kesepian dari komunitas asalnya. Bukankah itu akhlak Nabi? Mengayomi mereka, kaum mustadh’afin. Sukses dan jaya selalu. Teruntuk aliansi yang menyita waktuku. ALBY (Aliansi Banjari Yogyakarta). Alfu alfi mabruuk. Wallahu a’lam.   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)