Pendidikan Transformatif: Ruh Ekopopulisme di Era MEA Menuju Peradaban Indonesia Unggul
Oeh: Afrizal Qosim Sholeh
Menerima kehadiran
MEA adalah keniscayaan. MEA atau Masyarakat Ekonomi Asean, sudah berjalan sejak
tahun 2015 lalu. Keniscayaan itu, ada sebab kesiapan Indonesia masih bisa diurai
dengan “tanda tanya”. Siap? Tidak siap? Bisa salah satunya, bisa di
tengah-tengah, bisa pula tidak sama sekali. Segalanya masih serba “tanda tanya”.
MEA
dan Benturan Budaya
Munculnya MEA sebagai
respon dari modernisasi dan globalisasi, belum ditangkap oleh seluruh lapisan
masyarakat, sebab kehadiran pasar tunggal Asean ini, secara wadag tampil dengan perspektif ekonomi an sich.[1]
Sehingga lapisan masyarakat di luar ranah ekonomi, bisa jadi tidak tahu bahkan
tidak mau tahu. Kesadaran akan prosedur dan tantangan MEA, oleh masyarakat
luas, kurang dimengerti dan dipahami betul, baik oleh masyarakat rural (tradisionalis), maupun masyarakat urban
(modernis).
Genderang telah ditabuh,
menggema. Pasar Tunggal Asean berulah, dengan hilir-mudik transaksi barang dan
jasa. Tidak hanya itu, MEA juga menandakan semakin intensifnya dialog
kebudayaan antar negara Asean. Muncul dua asumsi dari fenomena dialogis kebudayaan
ini, pertama, percampuran kebudayaan
antara negara-negara Asean. Kedua,
apa yang disebut oleh Samuel P. Huntington (1996) sebagai Clash Of Civilizations (benturan antar peradaban). Wujud dari clash of civilzations adalah
dominasi-dominasi antara dunia I, II, dan dunia III. Perjumpaan yang dominatif ini, bisa berdampak positif,
pun negatif bagi Indonesia. Dampak negatif nampak dari rendahnya kekuatan human capital Indonesia yang masih tertinggal dari negara tetangga. Anggapan
itu shohih. United Nations Development Programme (UNDP) yang berpijak pada
penelitian berbasis living standarts,
education and health istiqomah merilis data HDI (Human Development Index). Nilai HDI Indonesia terbilang masih
rendah. Indonesia masih berkutat di nilai 0.684 di 2013, dan di angka yang sama
pula di tahun 2014. Kali ini peringkatnya turun dari 108 ke 110 dari 155
negara.[2] Di
bawah Vietnam, Malaysia, Thailand dan Singapura. Dengan indikasi nilai yang
demikian, Indonesia tergabung dalam kelompok negara dengan HDI kategori Medium Human Development. Data ini
sungguh menyedihkan. Padahal, ihwal MEA bukan hanya perang barang dan jasa.
Tetapi, perang Sumber Daya Manusia (SDM), perang orang, perang manusia.
Fakta sedih lain,
yang mulanya sebagai dampak positif, adalah Indonesia sebagai megadiversity country, kaya akan keanekaragaman
hayati, tapi kemiskinan dan
kemelaratan hampir mendekati definisi kutukan. Miris.
Agaknya, benar kekhawatiran
Francis Fukuyama (1992) dalam bukunya The End History and The Last Man, dalam
konteks Indonesia. Yaitu rendahnya kualitas human
capital menghadapi modernisasi, globalisasi, MEA serta perubahan sosial
yang kian kompleks, adalah tumbuhnya sikap pesimisme. Kutukan keputus-asaan,
kesulitan untuk bangkit, mandiri dan
membangun jati diri.
Pendidikan,
Industrialisasi dan MEA
Dalam literatur
Sosiologi, Pendidikan sering diidentikkan sebagai entitas yang tak pernah
terpisah dengan Industri.[3]
Ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama, saling terhubung dan
interdepedensi. Dunia pendidikan menciptakan industri dan industri menginspirasi
pendidikan.
Secara historis, term industri muncul sejak revolusi
industri di Inggris pada awal abad ke sembilan belas. Blue-print industri ditelurkan dalam ruang belajar-mengajar, yakni
pendidikan. Menghapus nasab industri-pendidikan atau pendidikan-industri adalah
mustahil. Sebab keduanya interdepedensi, resiprokal (kesalingan), dalam banyak segi.
Misal menelurkan ihwal kehidupan yang terampil, kreatif, mandiri, tanggung
jawab, serta integritas yang tinggi adalah nilai muasal produk pendidikan yang
kemudian akan diserap oleh dunia industri. Dengan kata lain, di era kontemporer
ini, dunia pendidikan mewajibkan dirinya responsif, peka dan terbuka pada dunia
industri.
Dunia industri, jika
ditarik-ulur, merupakan bagian utama, jantung, prioritas dari Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Sebab industrialisasi akan menjadi strategi utama yang
semakin memperkuat korporasi multinasional. Sebab lain, adanya proses produksi barang dan jasa yang nantinya,
menyokong deposito ekonomi Negara. Atau MEA kita sebut sebagai wujud Industri
Post-modernisme.
Daripada itu,
memberdayakan pendidikan dengan sinergitas pada realitas alam, kultural,
struktur dan manusia adalah keharusan. Pendidikan harus diprioritaskan,
diutamakan sebagai representasi nilai dalam UUD 45 dalam point “memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan bangsa”. Pasalnya, jika industri kita tarik dalam konteks yang
lebih makro dan generik, akan mengarah pada world
view individu dan kolektif dalam babakan sejarah peradaban ummat tertentu
untuk memaknai kesulitan hidup yang dihadapi. Penyiasatan dan solusi terhadap
kesulitan tersebut pada gilirannya melahirkan kosmologi dan epistimologi
teknikalitas dalam pengertiannya yang paling generik sebagai basis pengembangan
pendidikan, teknologi dan industri pada zamannya masing-masing.
Pendidikan
Transformatif: Sebuah Alternatif
Mengadopsi pandangan Paolo Freire (2001) bahwasannya pendidikan adalah
proses pemanusiaan manusia seutuhnya yang telah melembaga dalam konteks budaya[4].
Dalam konteks ini, pendidikan adalah gua garba yang melahirkan subyek sosial
yang memiliki mandat memimpin dan mengelola sumber daya alam semesta menjadi
bermanfaat bagi kemanusiaan. Untuk itu, manusia mutlak berintegrasi dengan
lingkungan sekitarnya. Integrasi dengan lingkungan adalah ciri khas aktifitas
manusia. Integrasi muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubahnya. Artinya,
dalam makna yang lebih jauh, kesiapan dunia pendidikan—sebagai kontruksi
manusia dan peradaban unggul—menghadapi industrialisasi di era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) adalah keharusan.
Oleh sebab itu, penulis mengajukan paradigma Pendidikan Transformatif yang
tersaripati dari tiga paradigma besar pemikiran pendidikan dan ilmu sosial. Pertama, pendidikan Link and Match oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro mantan
Mendiknas 1993-1998. Secara sederhana, dia menyebutkan, pendidikan lingk and match kompatibel di era
globalisasi yang menuntut kualitas sumber daya manusia. Melalui perubahan
orientasi dari supply minded
(orientasi jumlah) menuju demand minded
(orientasi kebutuhan) ke dunia kerja.[5]
Paradigma ini baik sebab oritentasi kebutuhannya, namun orientasi tersebut
malah lebih mengarah pada pembentukan “robot-robot” baru dunia pendidikan.
Ibarat mencetak hologram seribu yang semuanya sama, seragam. Kreativitas,
keterampilan serta kemandirian luput dari paradigma ini. Demikian, a-humanity (tidak/kurang manusiawi)
menjadi garis besar paradigma ini.
Kedua, untuk menutupi sifat a-humanity tersebut, pendidikan transformatif diperkuat dengan gagasan
Paulo Freire tentang problem-posing
education (pendidikan hadap masalah). Pendidikan hadap-masalah adalah
sebentuk pendidikan yang kritis dalam keaksaraan fungsional, dalam melihat
realitas. Belajar adalah bersikap pada dunia. Peka pada realitas teks dan
kontekstual. Belajar adalah pembebasan: bebas dari penindasan, kungkungan
kreatifitas, keterampilan, dan pemiskinan[6]. Dengan
pendidikan yang kritis, berdaya, bermartabat dan berkeadilan yang lahir dari
dua tesis tersebut, kiranya kurang lengkap jika tidak dibumbuhi dengan paradigma ketiga,
paradigma Profetik (nubuwwah/kenabian—bersifat
atau bertindak dengan akhlaq nabi) oleh Ibnu Arabi (1165-1241) paradigma
ini merupakan proses integrasi-interkoneksi antara kosmologi Tuhan, alam dan
manusia. Puncak dari pemahaman intregratif tersebut adalah internalisasi nilai
saleh ritual yang teraktualisasi secara sosial. Paradigma ini bersifat
reflektif-aktual dan empiris.[7] Dengan
paradigma profetik ini, pendidikan transformatif, dalam konteks globalisasi dan
era MEA, secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakat. Pendidikan transformasi didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi, sekaligus mencetak insan
environmentalis (pecinta lingkungan), suatu cita-cita profetik yang
diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam (Qs.
Ali-Imron 110). Dengan begitu, pemberdayaan masyarakat via transformative education
ini, menjurus pada area suprastruktur
(manusia, sosial-budaya, ekonomi, lingkungan, keamana dan politik). Selanjutnya
secara makro akan menuju pada nilai pembangunan manusia.
Menuju
SDM dan Peradaban Unggul
Di era industrialisasi
ini, dehumanisasi mewabah dan menjangkiti kehidupan masyarakat. Masyarakat
industri sendiri menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa
wajah kemanusiaan.[8]
Perihal ini sungguh tragis, manusia lenyap human
touch-nya. Sebab itu, kekhawatiran utama adalah rusaknya alam sebab ulah
manusia (human error). Indonesia, menghadapi
krisis multidimensionalnya, terkhusus pada kualitas pendidikan untuk mencapai
peradaban unggul, agaknya, perlu menimbang paradigma pendidikan transformatif
yang berwawasan global, lingkungan, serta nilai transformatif itu sendiri. Konsep
Pendidikan Trasnformatif ini diharapkan komprehensif dipahami. Sebagai motor
penggerak sinergitas alam dan manusia. Humanitas, urgensi memelihara ekosistem
alam menjadi prioritas konsep ini. Tentunya, dengan tidak hanya terpaku pada
nilai transformatif pendidikan di ruang sekolah. Melainkan mengikat pula ihwal lingkungan
keluarga, iklim kawasan dan kesehatan lingkungan. Sehat dalam arti sehat material dan sehat immaterial. Sehingga sanggup merubah world view manusia dari myopic
(berpandangan pendek) ke visioner.
Ala kulli hal, melalui pendidikan transformatif kita jadikan jawaban atas kondisi akut
pembangunan SDM Indonesia. Konstruksi manusia unggul atau ubermensch—bahasa
Nietzche, atau khalifah fil ‘ardl—bahasa
al-Qur’an, menjadi babak baru Indonesia menghadapi MEA. Sebagai pemegang gelar khalifah fil ‘ardl, mandataris rahmah
Tuhan, maka aktualisasi nilai humanisme dalam pendidikan adalah fardhu. Jika aktualisasi nilai
Pendidikan Transformatif ini tercapai, maka sumber daya manusia unggul akan
menjadi patokan keberhasilan Indonesia menghadapi MEA. Sebab itu, penulis
kembali menegaskan, bahwa ekopopulisme (pemberdayaan
masyarakat), penulis fokuskan pada
basis suprastruktur yang pula menjadi
blu-print pilar Masyarakat ASEAN (manusia,
sosial-budaya, ekonomi, lingkungan, keamanan dan politik), yang sejalan dengan visi ASEAN 2020
untuk membentuk sebuah “komunitas yang ideal” (khoiro ummah). Wallahu A’lam.
Daftar Pustaka
Buku
Freire. Paolo, (2000). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Terj.
Agung Prihantoro. (ReaD: Yogyakarta).
Freire, Paolo. (2001), Pendidikan Yang Membebaskan. Cetakan I. Terj. Martin Eran. (Media
Lintas Batas: Jakarta).
Fukuyama, Francis (1992), The End History and The Last Man. (Free Press: New York).
Geisler, Eliezer and Albert H. Rubenstein, (1989) “University-Industry Relations: A Review of Major Issues,”
dalam Albert N. Link & Gregory Tassey (Eds.),
Cooperative Research and Development: The Industry-University-Government
Relationship (Massachusetts:
Kluwer Academic Publishers).
Kuntowijoyo, (2008) Paradigma
Islam: Intrepetasi Untuk Aksi. (Mizan: Jakarta).
Artikel
Ulwiyah, Nur. (2015) Tantangan
Dunia Pendidikan Menghadapi Pasar Tunggal Asean 2015, Fakultas Agama Islam
UNIPDU Jombang.
Internet
http://hdr.undp.org/en/data. Indonesia Human Development Index.
Diakses tanggal 02 Maret 2016. 13.36 WIB.
Administrator, (2008), Wardiman Kembali Ingatkan Link and Match, diakses dari http://Archive.web.dikti.go.id. Pada 05 April 2016. 12.11 WIB.
[1] Nur Ulwiyah, Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi Pasar
Tunggal Asean 2015, Fakultas Agama Islam UNIPDU Jombang (2015).
[2] http://hdr.undp.org/en/data. Indonesia Human Development Index.
Diakses tanggal 02 Maret 2016. 13.36 Wib.
[3] Eliezer Geisler and Albert H.
Rubenstein, “University-Industry Relations: A Review of Major
Issues,” dalam Albert N. Link & Gregory Tassey (Eds.),
Cooperative Research and Development: The Industry-University-Government
Relationship (Massachusetts: Kluwer Academic Publishers, 1989);
43-62.
[4] Paolo
Freire, Pendidikan Yang Membebaskan.
Cetakan I. Terj. Martin Eran. (Media Lintas Batas: Jakarta.2001). Hlm. 3
[5] Administrator,Wardiman Kembali Ingatkan Link and Match (2008),
diakses dari http://Archive.web.dikti.go.id. Pada
05 April 2016. 12.11 WIB.
[6] Paolo Freire. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan
dan Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro. (ReaD: Yogyakarta.2000). Hlm. 31.
Komentar
Posting Komentar