Agama dan Kepedulian Sosial; Menyemai Transendensi Kafir


Oleh; Fardha Muhammad & Afrizal Qosim Sholeh*
Maraknya wabah takfiri, pengkafiran sulit ditemu vaksin atau obat mujarabnya. Pengkafiran menjangkiti kehidupan umat Islam, berpotensi merangsek ke penjuru aspek kehidupan. Carut-marut kehidupan beragama, lanyah diperbincangkaan publik tempo hari Kegelisahan mencuat, merambah pada kesenjangan dan disharmoni sosial.. Humanitas dikhawatirkan belang di banyak bagian.
Kabar terbaru, secara general menggambarkan, bahwasannya virus takfiri diam merambah segi teologis yang transenden. Agama wahyu atau agama langit atau Islam dalam diskursus ini, menjadi pemeran utama. Seolah-olah dengan justifikasi orang lain kafir (teologis), maka Islamnya paling benar, yang lainnya salah.  Islamnya yang fardu diikuti dan yang lainnya tidak. Apalagi kalau bukan arogansi iman yang mendasarinya. Apa lacur, perilaku tersebut mewabah dan menjangkiti manusia, dan menjadi anggapan umum sebagai pemantik paling progresif perselisihan norma beragama. Tak urung, ke-Tunggal Ika-an ditaksir akan runtuh dalam sekedipan.
Memahami Sikap Islam 
Fundamentalisme adalah paham yang bersaudara dengan term pengkafiran. Proposionalitas pengkafiran mereka abaikan. Ekstrimisme Islam serta-merta menjadi label mereka. Landasan ajaran; Al-Qur’an dan Hadits, hanya dipahami sebagai tekstualis agung yang baqa’, kekal. Dengan menafikan upaya menindak-lanjuti melalui intrepetasi-holistik ajaran. Tanpa upaya reaktualisasi-holistik ajaran, sungguh susah masyarakat menerima.
Fundamen pemahaman ajaran mereka, menjadi pertanyaan yang dipertanyakan mayoritas ulama. Pemahaman yang terkesan tekstual, doktrinal, dan stagnan, memicu badai pertanyaan dan perdebatan. Hal ini, juga disebut sebagai gerakan pemurnian Islam. Fundamentalisme Islam mencoba meminimalisir bahkan menafikan pendayagunaan ‘aql, (akal/rasionalitas) dalam upaya intrepetasi Al-Qur’an dan Hadits. Padahal ‘aql menjadi prioritas nomor-dua dalam menggali esensi wahyu, setelah spektrum naql,(dalil nash).
Beberapa mutakallimin berpendapat, sekte dalam Islam, juga berbeda paradigma dalam mendayagunakan duo-entitas tersebut. Seperti sekte Mu’tazilah dikenal kerasionalitasannya. Sekte Khawarij, melulu taktis-tekstualis pada nash, dan Sunni, selalu moderat, dia mendayagunakan keduanya. Praktis juga taktis. Sialnya, tanpa koreksi historis, fundamentalisme mengabaikan hal tersebut. Alhasil, melalui pemahaman taklid nash, makna kafir tereduksi dan ditujukan hanya kepada mereka yang tidak beriman kepada ke-Esa-an Allah. Mereka yang tidak meyakini Tauhidullah.
Jelas sekali, jika memakai paradigma kafir tersebut, orang non-muslim seluruhnya termasuk kafir. Dan orang kafir, halal darahnya, bunuhlah!. Demikian, fundamentalisme Islam membentangkan sayap-sayap doktrin takfiri-nya.
Paradigma Baru
Secara sosiologis, gamblang dan lazim, jika paradigma yang demikian tidaklah singkron dengan heterogenitas, multikultural, dan multireligius Indonesia. Dimana terdapat banyak varian suku, ras, adat, bahasa, agama, budaya, dst.,dsb., berkembang di dalamnya. Dimana bangsa Indonesia, adalah masyarakat yang dibingkai dengan asas Pancasila dan falsafah Mpu Tantular tentang Bhinneka Tunggal Ika. Sungguh kurang tepat apabila paradigma itu berkembang di Indonesia. Jika terlanjur dipakai, bisa dibayangkan, akan ada peristiwa pembunuhan massal terbesar di dunia.
Lain daripada itu, Asghar Ali Engineer, dalam Islam and Liberation Theology (1989), berujar, kafir bukan melulu mereka yang tidak mengimani Ke-Esa-an Tuhan. Melainkan juga, mencakup mereka yang enggan bersedekah, berzakat, bertindak baik terhadap sesama, mengedepankan kepedulian sosial, harmoni sosial, tidak memantik kesenjangan, kecanggungan, apalagi kemiskinan sosial. Argumen itu adalah landasan munculnya social theology yang kemudian berkembang menjadi liberation theology. Muslim yang saleh dipandang dari kemampuannya mengaktualisasikan iman dan ajaran dalam bentuk tindakan konkrit. Usaha aktualisasi ajaran dalam bentuk tindakan memang tidak mudah, berkali-kali terjadi benturan pemahaman satu dengan yang lainnya. Tetapi landasan duo-unitas, dua yang menyatu tersebut, fardu dipahami betul tanpa berpaling pada esensial makna ajaran agama, yakni kasih sayang. Realitas yang rawan terpicu atau tersulut perselisihan dan pertengkaran, menjadi wadah muslim sejati—yang diistilahkan sebagai ahsani taqwim—untuk aktualisasi diri dengan washilah intrepetasi duo-unitas ajaran tadi. Tauhidullah dan Tauhid Sosial.
Pandangan Asghar, bukan pandangan yang terhitung baru. Jamaluddin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Ali Syari’ati, juga mengemukakan argumen yang tidak jauh berbeda. Demikian pula intelektual Indonesia, seperti Amin Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Moslem Abdurrahman, yang pemikirannya kental dengan multikulturalisme, humanisme, pluralisme dalam beragama.
Gagasan demikian merupakan rekonstruksi pemahaman kafir secara holistik. Dimana kesalehan muslim tidak stagnan pada dimensi ritual belaka. Tapi mencakup kosmologi kesalehan sosial. Sehingga yang mulanya kafir dimaknai secara  teologis, oleh Asghar kafir juga dimaknai secara sosiologis. Kafir perspektif sosial ini menjadi antitesa dari kafir secara teologis. Kafir itu bukan mereka yang berbeda keyakinan belaka. Kafir juga mencakup mereka yang seiman tapi tak “se-Islam” dalam ritus sosial kehidupan.
Keduanya—kesalehan ritual dan kesalehan sosial—saling terintegrasi. Membentuk ekuilibrium, sebuah keseimbangan tanpa distorsi. Menjadi proteksi toleransi dan harmonisasi di banyak segi dalam pluralitas agama.
Oleh sebab itu, pengkafiran secara sempit menandakan kesempitan pula, kita dalam memahami ajaran agama. Harmoni sosial sulit terwujud, malah perpecahan yang berwujud. Cukup patut untuk dihiraukan pengkafiran yang demikian. Nabi Muhammad bersabda, irhamuu man fil ardhi, farhamuu man fissama’,(sayangilah makhluk di bumi, maka kasih sayang makhluk langit akan kamu rasakan). Konsep rahmah atau kasih sayang fardu menjadi landasan antar sesama manusia, terkhusus antar umat beragama.

*Santri Madrasah Huffadh PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)