Adab dan Humaniora
Sumber: http://www.lintasnews.com/wp-content/uploads/2015/09/149.jpg
Oleh: Ahmad Afrizal Qosim*
Kehalusan
dan kesopan, nilai budi pekerti yang baik adalah definisi ringan dari Adab. Lalu Humaniora, sebagai
gandengannya, meliputi ilmu pengetahuan Sejarah, Filsafat, Bahasa, Hukum, Seni dan
lain sebagainya. Lebih jauh lagi, Humaniora diartikan sebagai nilai intrinsik
dari humanisme, paham kemanusiaan, manusiawi, Kedua komponen itu, ditaksir
menjadi vaksin yang sangatlah manjur jika dijadikan platform sinergitas antara
pendidikan dan budaya.
Adab
dan humaniora sebagai ruh pendidikan pun budaya, mengakses jeritan dalam
kehausan moral manusia. Manusia peradaban adalah mereka yang berpendidikan
sekaligus berbudaya. Bukan angina lalu, penulis akan jelaskan lebih lanjut.
Dialog Pendidikan dan Budaya
Mempercakapkan sinergitas antara pendidikan dan budaya
tak ubahnya melihat organ tubuh manusia (jantung, mata, kaki) yang bekerja
secara individual dengan tujuannya masing-masing, akan tetapi mereka bekerja
secara bersama-sama dalam menyokong totalitas kehidupan tubuh. Tamsil ringan
dari sistem sinergi di dalam ilmu
biologi dibuatkan analoginya dengan batang tubuh sebuah masyarakat, maka
sinergi tersebut terbentuk bila di antra dua (atau pelbagai) unsur (kelompok,
komunitas, kelompok bidang keilmuan, kelompok pakara, atau kelompok profesi) di
dalam sebuah masyarakat terbentuk sebuah kondisi saling mendukung secaramutual
dan spontan satu sama lainnya. Artinya, tidak ada tekanan atau paksaan dari
pihak mana pun dalam hubungan saling mendukung tersebut. Masing-masing unsur mempunyai
arah dan tujuan wacananya masing-masing, akan tetapi setiap arah dan tujuan
tersebut bersifat harmonis dengan tujuan bersama yang lebih besar (social whole). Oleh karena unsur-unsur
di dalam sebuah sistem sinergetik saling mendukung satu sama lainnya, mereka
juga mendukung sistem secara keseluruhan, sehingga daya kerja sistem menyeluruh
tersebut meningkat. Dengan demikian, konflik di antara unsur-unsur tersebut
menjadi berkurang pada tingkat minimal.
Apabila sistem sinergi tidak berjalan dengan baik,
artinya muncul hubungan yang tidak harmonis (disharmony)—misalnya antara perkembangan sains-teknologi dan
manusianya—dapat dikatakan sebagai akibat dari melemahnya—atau bahkan hilang
sama sekali—sinergi di antara kedua aspek kehidupan manusia tersebut. istilah
sinergi itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani synergos, yang berarti bekerja
secara bersama-sama. oleh sebabt itu, yang membentuk sinergi di dalam sebuah
masyarakat adalah sesuatu yang hidup. Dalam hal ini, sinergi bukanlah antara
pendidikan dan budaya, melainkan komunitas pendidikan dan komunitas budaya.
Begitulah kesederhanaan sinergi dalam alam yang paling
sederhana. Pendidikan dan budaya, seolah memiliki darah genetik yang sama.
Mereka berdua bersaudara. Bertransformasi menjadi duo-unitas, dua yang menyatu.
Dengan tentu, saling bergantung dan mutual nilai hubungannya.
Jika pendidikan dan budaya ditarik pada takaran yang
lebih makro, kita akan menuai keyakinan bahwa pendidikan itu juga budaya.
Pendidikan muncul dari adanya budaya. Dan budaya, adalah holistik, yakni
menjadi komponen mutlak dari beberapa dimensi dalam kehidupan. Budaya menjadi
sub-bagian dari dimensi utuh kehidupan, tak ubahnya seperti mesin dalam
lokomotif berderu. Budaya menggerakkan dan memimpin kehendak lokomotif yang
berderet rapi di belakang mesin kendali. Oleh Koenjtoroningrat, kebudayaan
didefinisikan sebagai hasil cipta, rasa, karsa dan budaya manusia. Yang berarti
titik tekannya, berada di barisan akal, pikiran manusia. Dengan definisi
tersebut, budaya bisa dikatakan sebagai ibu yang melahirkan banyak nilai bangun
beberapa institusi-institusi (ekonomi, politik, pendidikan, teknologi).
Sebagai ibu, yang melahirkan, memelihara, mengayomi dan
membesarkan beberapa institusi-institusi tersebut, budaya mutlak harus dikenai
perhatian lebih. Seperti ketika kita pulang kampung dari tanah rantauan, yang
kita tidak tahu bahwasannya Ibu telah lama merindu. Dan nampaknya, Ibu pasti
merasa was-was tatkala kita akan kembali ke daerah rantauan kita. Kita, oleh
ibu, diingatkan pada tempat dimana kita akan kembali. Artinya, Ibu ingin ada
perhatian lebih dari para anak-anaknya, dalam konteks budaya, Ibu merindukan
institusi-institusi yang dilahirkannya untuk tidak lupa akan jerih dan upaya
Ibu melahirkan, memelihara, membesarkan dan mengayomi. Oleh sebab itu,
pendidikan yang lahir dari budaya, jangan lah terlalu jauh-jauh lari dari rahim
ibunya, budaya. Budaya perlu hidup, bahkan jika mati fardhu dihidupkan kembali.
Sehingga sinergitas keduanya berjalanan harmonis, manis, meringis.
Manusia
Pancasila
Dalam rangka mengidamkan sinergitas antara pendidikan dan
kebudayaan. Pancasila sebagai manifestasi kebudayaan muncul dalam kerangka
ideologis yang kuat. Kekuatan Pancasila telah lama diramal oleh Bung Karno dan
para kolega, sebagai upaya menuju perwujudan Indonesia yang sejati. Tapi, apa
lacur, kita malah lalai dan tak karuan arah, seolah burung yang kehilangan
sayap, kita tak karuan arah dalam mengarahkan arah tujuan kita. Burung Garuda
berubah menjadi Burung Emprit. Nyali kita sempit. Jiwa dan jati diri kita
terhimpit. Oleh beberapa belenggu hasrat, nafsu manusia Indonesia.
Tidak terlupakan pula, perubahan sosial, zaman,
tata-letak, tata-krama bahkan tata-busana yang kian kompleks, menggerus arus
besar kebudayaan Indonesia yang bertransformasi menjadi kebudayaan baru,
kebudayaan barat, kebudayaan pop (popular
culture), yang lebih mementingkan gengsi, eksistensi diri, yang oleh kita
diamini sebagai nilai yang begitu prestisius. Sebut saja budaya baca buku.
Indonesia terbilang tergabung dalam kelas rendah, kondisi demikian diperparah
dengan budaya konsumtif kita yang menujukkan angka membaik. Shifting paradigm dari budaya baca yang
rendah, beralih pada pembelian barang-barang eksistensi diri yang membludak.
Kehidupan konsumtif menjadi arsenal. Arsenal yang memperparah tradisi, budaya
serta adat istiadat Indonesia. Nilai luhur Indonesia terlupaka, terlalaikan,
sampai tak terurus bahkan tertimbun oleh batuan cadas nan keras gelombang arus
pantai selatan yang begitu kuat. Pantai selatan itu sebuah platform keganasan aktor kehidupan. Pantai selatan itu panglima
peradaban Indonesia. Lihat saja, mistisisme Jawa yang tak luput dari dunia
Pantai Selatan. Dan jika alkisah Pantai Selatan itu didaras, lalu masuk kelas
pengambilan hikmah, kita akan menemui peradaban unggul Indonesia, lewat
mistisme Jawa dan ideologi Pancasila.
Bayangkan, jika kita disekolahkan dalam balutan nilai
luhur Pancasila, pengamalan nilai-nilainya yang berjumlah lima itu. Sungguh,
kita akan merasakan jerih payah yang tidak sia-sia oleh leluhur bangsa. Kita
akan memahami kehendak awal mereka dalam niatan membangun bangsa Indonesia. Sehingga kebudayaan menjadi
basis awal kemajuan peradaban manusia. Dalam konteks ini, maka, pendidikan
tidak hanya merupakan pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer knowledge and skliss), tetapi
juga meliputi pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of culture and social norms).
Kiranya dapat dikatakan bahwa tiap masyarakat sebagai pengemban budaya (culture bearer) berkepentingan untuk
memihara keterjalinan antara pelbagai upaya pendidikan dengan usaha
pengembangan budaya. Mencari juga platform “manusia pancasila” sebagai agenda
besar peradaban Indonesia kedepan.
Demikianlah pendidikan bermakna sebagai proses
pembudayaan dan seiring bersama itu berkembanglah sejarah peradaban manusia.
Seluruh spektrum kebudayaan: sistem kepercayaan, bahasa, seni, sejarah, dan
ilmu-ilmu dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya hanya bisa dialihkan
melalui pengembangan pendidikan yang begitu luas.
Menemukan
Adab Indonesia
Mungkin
anda sudah mengira bahwa adab Indonesia sudah ada? Hidup dan diaktualisasikan?
Anggapan itu seratus persen tidak benar. Sebab benar harus ada dalil berupa
bukti, dan sementara ini saya belum menemui orang beradab Indonesia. Mungkin
sama pula dengan Radhar Panca Dahana yang belum menemukan adab Indonesia. Dia
menyarankan, ada sinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta
Kementerian Agama, supaya merumuskan point penting teoris ihwal adab Indonesia,
secara holistik. Kemudian biar masyarakat menginkulturasi rujukan tersebut
dengan pertimbangan dari beberapa nilai-nilai yang berlaku umum dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam kontekstualisasi sinergitas antara pendidikan dan
budaya, penulis berharap muncul ide lalu upaya untuk “menemukan adab
indonesia”. Adab Indonesia yang dirasa lalai, bahkan tak
digubris dan dikesampingkan.
Sehingga nampak seolah-olah kehidupan kita berperadaban. Bolehlah kita
mempunyai Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas kita, tapi bolehkah kita
melegitimasi bahwa kita sudah menjadi manusia yang ber-adab Indonesia?
Adab
Indonesia tidaklah muluk-muluk. Jika pendidikan dan budaya itu sanggup
bersuluk. Pendidikan ditugasi untuk membentuk manusia yang berperadaban dan
mengupayakan nilai-nilai budaya itu hidup dalam dimensi pendidikan. Adab
Indonesia itu harum, seharum dikala pagi engkau menghirup kopi. Ingat, dalam
proses menghirup itu anda merasakan efek ketenangan dalam hati yang lebih. Ketenangan
jiwa dalam tubuh kita. Olah jiwa menyatu lalu bersinergi dengan alam dan
material lainnya. Demikian adab Indonesia, ketenangan.
*Mahasiswa
Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga.
Komentar
Posting Komentar