Santri, Industri, dan Kapitalisasi
Oleh;
Afrizal Qosim Sholeh*
Pesantren
adalah miniatur nusantara. Sebagai miniatur, pesantren membungkus kultur
Nusantara dalam satu wadah, satu adati, satu tradisi, yaitu ke-pesantren-an.
Abdurrahman
Wahid menggolongkan pesantren sebagai subkultur. Menurut Gus Dur, subkultur
pesantren dikonstruksi dari tiga elemen: [1] pola kepemimpinan pesantren yang
mandiri tidak terkooptasi oleh negara, [2] kitab-kitab rujukan umum yang selalu
digunakan dari berbagai abad dan [3] sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari sistem nilai masyarakat
luas. Ketiga elemen tersebut bisa lebih gamblang lagi ceritanya jika kita
koreksi pada sejarah pesantren Nusantara kontemporer.
Norma
dan nilai amaliah yang ditegakkan dalam pesantren, membentuk santri yang
kemudian menjadi manusia penggembala, pencari kebaikan (salik), pencarian yang didapat dari kehidupan di pesantren
menalangi keyakinannya untuk menjadi manusia paripurna, khalifah fil ardh`, atawa dalam bahasa Nietszche disebut sebagai ubermensch.
Manusia
paripurna dalam dunia santri memuat kekuatan intelektualitas, integritas, dan
moralitas. Kekuatan moral (moral force)
santri tempo hari, menjadi incaran banyak kalangan. Dalam hal ini Pemerintah,
yang seolah berniat memanfaatkan santri untuk proyek pembangunan nasional—industrialisasi.
Eksploitasi
Nah,
kepribadian yang sedemikian kompleks ini, menjadi santapan hangat oleh dunia
panggung birokrasi, pemerintah terutama. Mochtar Mas`ud (1995) memberikan
analisisnya tentang ragam pendekatan pembangunan sepanjang masa orde baru.
Menurutnya ada dua kekuatan yang patut diperhitungkan dalam dunia perpolitikan
di Indonesia, yakni kekuatan ekonomi dan kekuatan politik. Sementara itu,
kekuatan moral, menjadi termarginalisasi. Kekuatan moral dianggap mengganggu, merusak
mekanisme pasar yang berbasis material. Kerusakan itu yang nantinya akan
merugikan para penguasa. Pantas saja jikalau pendekatan moral kurang dihargai
tempo hari. Namun tempo hari, zaman
dimana masyarakat bertransformasi—sebab dipaksa oleh pasar—menjadi Masyarakat
Ekonomi Asean, dengan liberalisai produk sekaligus jaringan dalam dunia
industri dan kapitalisasi.
Kasus
terbaru, di kota Gresik, Jawa Timur, ihwal liberasi “ekspolitasi” santri direkrut
menjadi tenaga kerja perusahaan. Tepatnya di Pondok Pesantren Qomaruddin,
Bungah, Gresik. Perekrutan ini didalangi oleh Kementrian Agama (Kemenag) dan
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kerjasama ini dimaksudkan untuk
memfasilitasi ketersediaan tenaga terampil dari kalangan pesantren dan lembaga
pendidikan Islam di bawah naungan Kemenag untuk memenuhi kebutuhan industri
seiring masuknya investasi. (Ditpdpontren,
23/08/15). Pula ditambahkan, bahwa program ini dikembangkan melalui pilot
project di dua daerah lain, Boyolali di Jawa Tengah dan Majalengka di Jawa
Barat. (Liputan6.com,11/11/15).
Penekanan pada pemenuhan kebutuhan industri
ini mengindikasikan, jika santri seolah dimanfaatkan dalam proses pembangunan
nasional. Pemanfaatan, atau bisa dibilang sebagai hegemoni, menekan peran
santri dari dunia pendidikan Islamnya. Meskipun program itu terbilang baik,
bahkan menguntungkan dunia usaha kaum santri, tapi permasalahan eksploitasi
santri yang semestinya diintrepertasi ulang oleh para birokrat. Jelas saja, tekanan
ini mengakibatkan dekadansi moral santri ketika dicampur-adukkan antara
konstelasi industri dan pesantren.
Menimbang Pembangunan oleh Santri
Dalam
hal pembangunan sendiri, Abdurrahman Wahid berpendapat, bahwa pembangunan
membawa “titik tengkar”. Hal ini dipicu oleh mozaik aspek pembangunan, seperti
tujuannya, polanya, pembiayaannya, dan struktur aparat pelaksananya, secara
bersama-sama atau terpisah dari yang lain membawakan titik tengkar (points of contention).
Robertson
(1984) yang mengatakan bahwa pembangunan seringkali merupakan usaha ambisius
manusia yang kadang mengesampingkan persoalan etika. Padahal serharusnya,
tujuan utama pembangunan, sebagaimana diungkapkan ekonom Inggris Dudly Seers
(1969), adalah untuk mengakomodasi kepentingan martabat manusia demi
kesejahteraan masyarakat.
Mengupayakan
kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat adalah urgensitas dari adanya
pembangunan. Di mana kedua hal itu menjadi prototipe pembangunan yang baik dan
menjanjikan. Keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila, saat ini dirasa
memudar dan tak jelas juntrungnya. Oleh karenanya pembangunan via pesantren
akan ashlah apabila mengarah ke sana,
keadilan sosial.
Nilai
yang juga perlu digaris-bawahi dalam hal ini adalah nilai hidup manusia yang spiritualis
akan mudah hanyut dalam glamorur, gelimang, gandrung pembangunan yang
materialistis. Apalagi seorang santri, yang dikenal moralitas, dihadapkan
dengan industrialisasi, akan nampak jelas terlihat kehinannya jika realisasi
tidak berjalanan dengan baik.
Syahdan, kecemasan (aniexaty) terhadap problem santri yang dieksploitasi ini, merambah
pada permasalahan maqam santri sendiri. Sifat kedua entitas—pembangunan dan
agama—yang jelas berlainan di antara kedua sisi menjadi ikhtiar yang fardu
dipertimbangkan ulang oleh pemerintah yang memprakarsai program tersebut. Wallahu A`laam
*Santri Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar