Pemuda sebagai Insan Sosial Budaya


Oleh : Afrizal Qosim Sholeh
Mempercakapkan pemuda (youth) dalam konstelasi bangsa tidak akan pernah habis. Diskursus pemuda ibarat dunia fantasi dengan berjibun wahana. Variasi wahana tersebut meneguhkan bahwasannya pemuda di hari ini, esok, dan kemarin tak pernah lekang dalam percakapan dunia publik.
Pemuda tempo hari terlihat sangat riskan peran dan jati dirinya. Sebagai pembaharu, agent of change, garda depan bangsa (syubbanul yaum rijalul mustaqbal), “pemuda saat ini, pemimpin di masa depan”, minim harapan terwujud, yang dirasa kebanyakan dari mereka pesimistis dan frustasi dalam pencarian jati diri. Padahal, jati diri merupakan hal mendasar untuk membentuk kepribadian unggul. Jika pencarian jati diri saja tidak mampu melampaui, bagaimana mau mengurusi bangsa?
Pemuda benar-benar berada di ambang batas dari generasi. Ditambah dengan kondisi terkini, yang memaksa ritus sosial-kultural mengamini kemajuan. Globalisasi mengejawantah dalam tubuh manusia, mengakibatkan pola hidup secara drastis berubah, konsumerisme numpang berladang pada pemuda, pemuda tergiur dan acuh pada sifat kemanusiaannya. Konsumerisme dan globalisasi acapkali dinilai sebagai biang peniadaan (negation) dan keterasingan diri (alienation). Kota mencaplok desa-desa. Dalam sesi ini, teknologi dan informasi leluasa menampakkan peran keiblisannya, dan manusia, hilang humanitasnya.
Undang-Undang tentang kepemudaan mendefinisikan pemuda sebagai berbagai hal yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda. (UU No. 40 tahun 2009, Pasal 1.2). Definisi tersebut, terkesan mati dan tidak lagi kompeten disandang pemuda. Jika kondisi pemuda mati, stagnan dengan masih berkutat pada masalah pengenalan jati diri, tanpa ada upaya untuk merevolusi diri—dengan definisi Undang-Undang tadi—sungguh akan malang nasib pemuda dewasa ini.
Padahal, gholab diketahui, pergolakan pemuda dalam pembaharuan sosial di dunia tidaklah remeh, di Yunani, kalangan mahasiswa yang berjiwa muda bergabung dalam National Union of Greek Students berhasil meruntuhkan rezim otoriter Papandreou. Mereka bergerak menuntut kebebasan, demokrasi, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia). Sayangnya, rezim Papandreou merespon dengan tindakan represif, yang mengakibatkan gugur para mahasiswa.
Di Amerika Latin, diktator Batista berhasil ditumbangkan oleh kelompok pemuda revolusioner yang dipimpin oleh Che Guevara dan Fidel Castro. Di Turki, pada 29 Mei 1960 mahasiswa berhasil menggulingkan Menderes yang korup walau 20 mahasiswa meninggal dunia dalam proses tersebut. Pada tahun yang sama, mahasiswa di Korea Selatan menumbangkan rezim korup Syngman Rhee yang berkuasa selama 12 tahun.
Di Indonesia, pada tahun 1998 beberapa mahasiswa gugur sebab berjuang melawan kekuasaan otoriter Orde Baru. Sejarah memang mencatat peran pemuda dalam masyarakat. Dalam perubahan sosial. Masyarakatpun sebagian hampir meyakini kinerja pemuda sebagai pembaharu dan pendobrak dan juga sebagai garda depan bangsa.
Catatan sejarah kembali menunjukkan bahwa pemuda memang menjadi penanda penting perjuangan pergerakan nasional (1928), proklamasi kemerdekaan (1945), lahirnya Orde Baru (1966), dan Orde Reformasi (1998).
Sejak zaman kolonialisme Belanda, hingga era reformasi, pemuda sebagai pelopor dan kreator gerakan perjuangan. Pada tahun 1908, Boedi Oetomo organisasi gagasan dari kaum muda memulai perjuangan tersebut. Lanjut tahun 1928, lahirnya Sumpah Pemuda, juga hasil gagasan dari kaum muda.  

Pemuda, MEA, dan Tantangan Budaya Konsumerisme
Melihat beberapa catatan sejarah di atas, pemuda dengan historisitasnya menjadi kekuatan holistik yang mencakup sifat dasar pemuda dengan kepentingan bangsa. Pemuda menjadi katalisator, menjadi agen kontrol (agent of control), agen perubahan (agent of change), garda bangsa, dan pendobrak yang tanpa lelah beradvokasi ihwal kedaulatan, kemerdekaan, kebebasan, dan kepedulian sosial. Ihwal tersebut konkrit terbentuk di masa sebelum kemerdekaan, orde baru, dan reformasi. Namun saat ini, kejantanan pemuda terkesan loyoh, sakit, dan tak jelas juntrungnya.
  Pemuda tergiur dengan glamor globalisasi, seperti dikatakan David Harris dalam bukunya From Class Struggle to the Politics of Pleasure: The Effects of Gramscianism on Cultural Studies (1992), bahwa kaum muda adalah korban dari industri kebudayaan yang konsumeristik. Hal ini menjadikan nilai-nilai utama (baca:  idealitas) dalam kapasitas pemuda, raib, tak jelas perginya ke mana. Idealitas yang sudah tergerus globalisasi berakibat pada pergeseran gaya hidup pemuda yang materialistis. Digitalisasi, modernisasi menjadi wabah penyakit utama, virus-virus operasional budaya virtual seperti, Smartphone, Blackberry Massanger, Instagram, Path,  WhatsApp, Facebook, Skype, dan lain sebagainya, menjadi virus mematikan bagi pemuda—yang dalam psiko-sosial tergolong formative period, dalam tahap perkembangan pertumbuhan, tahap transisi dari anak-anak menuju dewasa, yang menjadikan mereka labil secara psikologis.
Kondisi sakit yang bermuasal dari beberapa aspek tersebut. Otomatis mengakibatkan pergeseran gaya hidup. Yang dikedepankan adalah eksploitasi citra, kesenangan temporal, dan ilusi-ilusi prestise bukan nilai guna (use value). Intensitas baca buku lebih rendah daripada intensitas pegang smartphone, intensitas pergi ke hipermarket, mall, dan supermarket lebih tinggi daripada intensitas diskusi ilmiah. Dalam hal ini, pemuda mengamini diktum Jean Baudliard, the silent majorities (mayoritas yang diam). Alhasil, pemuda sebagai pencipta sekaligus konsumen budaya terdegradasi dari peran kepemudaannya.
Pada awalnya, hubungan vulgar dengan budaya populer seharusnya bisa membantu peran mereka sebagai pemuda kosmopolitan, yang berwawasan luas.
Dengan globalisasi, semua berada dalam satu jangkauan, kita dapat terhubung dengan manusia di seluruh penjuru negeri. Dengan globalisasi, kita tak perlu repot ke Kantor Pos untuk mengirim Surat atau Wesel. Dengan globalisasi, kita mudah mengetahui dan mengikuti perkembangan teknologi, headline news lokal maupun interlokal melalui media. Namun, apa lacur, semua itu hanya buaian impian idealis semata. Pemuda tanpa nalar kritis, menempatkan globalisasi tidak pada tempatnya, tidak pada maqom-nya.
Kedholiman yang berakibat degradasi dan dekadensi moral pemuda dalam pembangunan insan sosial budaya, menjadikan mereka disorientasi dan dislokasi. Insan sosial budaya sendiri, diartikan sebagai pemuda yang mampu mengaktualisasikan serta mengartikulasikan budaya dengan wawasan pemuda dan bangsa saat ini. Keduanya ‘fardu’ menyatu, membentuk duo-unitas yang beriringan, membentuk simbiosis mutualisme. Ekuilibrium, adanya keseimbangan di antara keduanya. Realisasi duo-entitas tersebut, salah satunya bisa dicapai melalui rumus kosmopolitan dan militan yang melebur menjadi satu.
Dalam perspektif kosmopolitan, Immanuel Kant dalam esainya Prepetual Peace (1795), mengusung ius cosmopoliticum (hak/hukum kosmopolitan), dimana hak tersebut dipakai untuk menanggulangi peperangan dan mengusung perdamaian. Kosmopolitan menjadi jiwa pemuda, memandang pada prinsip kosmopolit moral keramahan (hospitaly). Hal ini tentunya sejalan dengan penekanan kode etik dalam Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa Indonesia juga sistem demokrasi Indonesia. Sifat kosmopolit keramahan ini, apabila diformulasikan menjadi landasan kebangsaan dibarengi dengan intrepetasi Pancasila bagi pemuda, akan menghasilkan sifat teguh, visioner dan agresifitas pemuda sebagai katalisator antara masyarakat dan pemerintah. Antara rakyat dan negara.
Apalagi dalam konteks menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang sekaligus menandakan kompleksitas globalisasi zaman ini. Sebagai garda bangsa, pemuda dituntut bermental baja, berdandan intelektualitas, berintegritas. Pemuda sebagai insan sosial budaya mengartikulasikan idealitas tersebut dalam ritus keseharian. 
Pemuda sebagai tangan kanan masyarakat, sekaligus insan sosial budaya—karena mereka manusia, makhluk sosial—dinamis pada jiwa militansi tanpa dibarengi dengan jiwa kosmopolitan, kebangsaan, dan keramahan. Sebagai patron, ruh kosmopolit-militan urgen diinternalisasikan pada jiwa pemuda. Sikap militan perlu, namun lebih apik jika dibarengi sikap kosmopolitan.
Urgensitas kedua entitas tersebut, menengahi pemuda dalam peran sosial budaya yang saat ini budaya konsumerisme sudah merambah dan menjamah mereka secara hegemonik. Dengan imajinasi sosial budayanya, mengangkat kearifan lokal bangsa, pemuda digali titik kesadaran dan kedudukan dirinya pada globalisasi. Sehingga globalisasi dipegang secara proporsional dan peran pemuda sebagai insan budaya akan tepat berjalan pada porosnya.  
                                                              


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)