Menyelesaikan Proyek Deradikalisasi Yang Tertunda

Oleh: Afrizal Qosim Sholeh*

Judul               : Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme
Penulis             : Muhammad AS Hikam
Tahun Terbit   : Cetakan I, Januari 2016
Tebal Buku     : xiv-226 Hlm.
ISBN               : 978-979-709-985-5
Penerbit           : Penerbit Buku Kompas

            Munculnya Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) dan tragedi pengeboman di Sarinah (14/01/2016) menambah duka mendalam bagi harmoni Indonesia saat ini. Kedua fenomena itu, oleh mayoritas kalangan menyebutnya berasal dari New Religion Movement (NRM) yang berbaju agama, Islam terutama. Sebagai afisiliasi dari gerakan keagamaan baru, ingatan kita akan mengarah pada arogansi dan kebrutalan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di belahan Timur Tengah sana.
Akar genealogis ISIS secara gamblang dijelaskan dalam buku ini. Bermula dari munculnya gerakan Al-Qaeda di Irak atau AQI (Al-Qaeda di Irak) yang dipelopori dan didirikan oleh Abu Musab Al-Zarqowi 2002. (hlm.5). Tidak berselang lama, dari kurun waktu bergabungnya dengan Al-Qaeda pada 2003, melalui beberapa pertimbangan ideologi dan alur gerakan, akhirnya AQI menyempal dari kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dimana empat bagian awal mengangkat-sindir akar genealogis gerakan radikal secara global dan regional. Dari pergulatan ideologi, politik, sampai ekonomi yang mengakibatkan kesenjangan sosial-kultural lingkungan masyarakat. Imbasnya, masyarakat acuh pada ideologi dan kepercayaan lalu lari dari norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Alhasil, faktor kolektif mencakup psikologi sosial individu itu membawanya keluar dari ideologi kemapanan dan beralih pada ideologi baru berkedok kekerasan berbaju agama, yaitu radikalisme keagamaan.
Radikal dan Peledakan Wacana
Terminologi radikal sendiri, dalam konteksnya mengalami depositioning. Dalam KBBI kata radikal sama sekali tidak menjurus secara khusus pada agama. Radikal berhubungan dengan hasrat berpikir secara prinsipil atau sikap politik amat keras mengubah undang-undang dan pemerintahan.
Kata radikal atau radikalisme secara generik berhubungan dengan pemikiran politik atau gerakan kiri. Namun, sepanjang dua dekade, kata itu mengalami “peledakan wacana” seolah-olah anak kandung Islam. Ditambah dengan ISIS, Gafatar, tragedi Sarinah dan beberapa aksi teror yang mulai ramai tempo hari.
Stigma radikalisme menginisiasi kita untuk menggolongkannya pada tindakan brutal, radikal, alias kekerasan. Dalam buku ini, memuat dua faktor integritas bangsa—internal dan eksternal—sebagai faktor pemicu gejolak radikalisme tersebut. Pertama. faktor internal yang mempertanyakan kekuatan bangsa, sebagai bangsa multi etnis, bahasa,  agama, kultur. Bangsa ini sering dijumpai peristiwa kekerasan yang berlatar-belakang faktor internal itu. Seperti di Poso, Maluku, Sampit, Papua, Aceh, dan masih banyak lagi. Selain itu, faktor kesenjangan ekonomi serta sosial semakin membuka celah masuknya ideologi-ideologi radikal.
Selain itu, kehidupan berdemokrasi Indonesia saat ini memberikan ruang gerak yang begitu longgar bagi ideologi lama maupun baru yang bergantian datang dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, tidak heran jika pemikiran radikal melebar dan menyebar luas di wilayah NKRI. Salah sedikit saja dalam intrepetasi-logis Pancasila sebagai pandangan hidup, luntur nilai berdikari dari negara demokrasi.
Kedua, faktor eksternal yang menyangkut ihwal keamanan nasional. Gerakan radikalisme menantang eksistensi keamanan nasional. Kekuatan keamanan nasional sendiri, tidak terlepas dari sinergitas antara aparat keamanan serta masyarakat sipil. Keamanan yang kurang terstruktur secara baik, akan membahayakan integritas bangsa. (hlm. 31-34).    
Jihad Deradikalisasi
Bangsa Indonesia yang masih diakui sebagai negara demokrasi dan menjadi pemimpin negara-negara Non-Blok, negara-negara Selatan, ASEAN, dan Dunia Islam oleh masyarakat Internasional (hlm.133). Saat ini, seolah telah menjelma menjadi sarang gerakan radikalisme yang berskala global pula regional. Tidak berhenti di sana, gerakan tersebut juga menjamah akar ideologis bangsa Indonesia. Ideologi bangsa sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara acapkali dilupa nilai dan norma yang termuat di dalamnya. Ideologi bangsa bak mata uang yang memiliki dua sisi berbeda. Ia menjadi obat sekaligus virus dalam satu waktu.
Muhammad AS Hikam menjabarkan dengan begitu gamblang di dua bab terakhir ihwal metode serta proses deradikalisasi, dengan keyakinan, penanggulangan terorisme merupakan sebuah kegiatan yang fardhu dicanangkan secara sistemik, menyeluruh, integral dan integratif melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Radikalisme dengan kebrutalannya  dapat dihentikan, ditiadakan, atau paling tidak dinetralisir dengan antonimnya sendiri, yakni deradikalisasi. Deradikalisasi sebagai kata kerja memuat dua komponen, disengagement atau pemutusan dan deideologization atau deideologisasi.(hlm. 81). Ikut pula pelibatan edukatif. Pendidikan melalui sosialisasi program deradikalisasi via media massa, media sosial, baik personal, interpersonal, maupun massal. Sehingga kolektivitas aparat keamanan juga peran masyarakat sipil menjadi jelas juntrungya.
Oleh karenanya, secara sadar, penerbitan buku Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme adalah kepatutan kita untuk mengapresiasi secara total. Sebagai upaya penanggulangan radikalisme secara ideologis-represif ala negara di Indonesia, dan bahwasannya deradikalisasi tidak hanya berhenti di bibir.


            *Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)