Menebus Dosa Birokrasi: Menuju Pendidikan Indonesia Era Generasi Emas 2025
Rakyat perlu diberi hak dan
kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan
hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatan.
(Ki Hajar Dewantara)
Adalah
wujud akar idealitas pendidikan nasional, apa yang dikatakan Bapak Pendidikan nasional
tersebut. Tertanam begitu kokoh nilai luhur pendidikan di sana. Prinsip
otonomi, bebas nilai, kebudayaan, hingga pengkabulan hak personal manusia, pun
tersurat. Namun, kharisma Ki Hajar Dewantara, nampak kalah dengan naluri birahi
birokrasi negara. Setting empirik
birokrasi Indonesia dahulu dan kini, melacurkan nikmat birahi birokrat akan
kepentingan individualitas dan birokrasi sarang KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme). Dengan kata lain, duka pendidikan Indonesia tidak hanya termaktub
dalam ketersiksaan pengenyam pendidikannya. Tetapi terlibat pula, wajah
birokrasinya. Birokrasi yang carut-marut membawa luka pada wajah pendidikan
nasional.
Implikasi
dari luka pendidikan tersebut, gamblang tergambar dari kualitas pendidikan dari
tingkat dasar sampai pendidikan tinggi yang, sama sekali belum memuaskan. Untuk
tingkat dasar sampai menengah, kualitas rendah pendidikan kita ditandai dengan
peringkat Programme for International
Student Assessment yang terus berada pada kisaran lima terendah dari
sekitar 60 negara sejak tahun 2000. Untuk pendidikan tinggi, karya ilmiah kita
masih kalah jauh dari jumlah karya ilmiah dari negara-negara tetangga di lingkup
ASEAN.
Wajah Birokrasi Pendidikan
Jika
ditanya ihwal birokrasi Indonesia, masyarakat cenderung akan mengiyakan ihwal
birokrasi yang buruk secara internasional. Banyak korupsi, tidak jelas tataran
standarnya, inefesiensi, terlalu lemah dalam sistem pelayanan yang kaku dan konvensional,
tergantung orang-seorang. Aturan terserah orangnya, bukan orang terserah
aturannya.
Pandangan
negatif form birokrasi yang demikian, tersirat segi administrasi yang oleh
Martin Albrow (1996) disebut sebagai “administrasi borongan” model Amerika. Yang
mana beralihnya kepemimpinan politik mutlak membuat perubahan pula pada organisasi
negara secara total.[1]
Hal ini mengisyaratkan, bahwa dalam dunia kita, masyarakat dengan renyah
tersegmentasi, tersekat-sekat oleh ideologi, politik, serta
kepentingan-kepentingan di luar birokrasi yang, mulanya menekankan pelayanan
public (public service) sebagai
amanah pamungkas.
Oleh Irfan Islamy (1998), fenomena citra buruk
yang melekat pada birokrasi (the bad
sides of bureaucracy) tersebut, tercemar oleh apa yang disebutnya dengan Vested Interest (Kepentingan Politik),
tatkala aparat birokrasi telah terkooptasi sikap dan perilaku oleh
kepentingan-kepentingan pribadi dan politik sang patron yang cenderung vested interest.[2]
Selain
dalam analisis tindakan, penulis sedikit menyindir ihwal analisis kelompok atau
komunalisme. Meminjam diktum Saeful Mahdi[3],
yang mempermasalahkan dua hal pengaruh
dalam dunia birokrasi pendidikan dewasa ini. Dua masalah itu, yakni Standardisasi
berlebihan, tapi tak jelas dan desentralisasi tanpa pengawasan. Keyakinan akan
standardisasi yang tinggi sebagai musuh kreativitas fardhu diimani. Jika tidak, buah kekecewaanlah yang didapat, seolah
pendidik itu menjadi lebih baik dengan standardisasi tinggi, tapi progres itu
malah rancau, belang-belang dan tak jelas juntrungnya, sebab tak paham objek.
Lalu
desentralisasi, dengan dalih (UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32 tahun 2004) dan otonomi
daerah yang tidak melupakan kehendak sentral, tapi malah sentral yang lupa pada
dimensi kedaerahan. Alhasil, pengawasan yang minim dan lemah merugikan pihak
birokrat pendidikan sendiri.
Lebih
sial lagi, bentuk pendidikan tempo hari, penekanannya, dilebihkan hanya pada
taraf formalisme, atau oleh sosiolog Randall Collins, dalam bukunya yang
terkenal, The Credential Society: A
Historical Sosiology of Education and Stratification (1979) menyebutnya
sebagai gejala kredensialisme. Suatu penyakit sosial yang menekankan aspek
legalitas dan formalitas belaka. Hipotesa ini dilatar belakangi oleh perilaku
masyarakat modern yang cenderung legal-formalistik, kaku, dan prosedural.
Keadaan yang demikian sesungguhnya boleh jadi pangkal bencana sosiologis.
Pun
tak bisa dipungkiri, seiring gemah formalisme pendidikan yang terus melebarkan
sayapnya, nilai-nilai esensial pendidikan lebih banyak diabaikan dan dilupakan.
Formalisme bukan lagi menjadi baju formal pendidikan, akan tetapi menutupi
bahkan menelanjangi nilai esensial dari pendidikan itu sendiri.
Birokrasi Ideal
Mempercakapkan
birokrasi pendidikan, janggal kiranya jika belum mengetahui makna birokrasi itu
sendiri. Secara teoritik, birokrasi terbagi menjadi, Birokrasi Pemerintahan,
Birokrasi Pembangunan, dan Birokrasi Pelayanan. Dalam tiga macam tersebut,
pendidikan termasuk dalam birokrasi pembangunan. Secara definisi, ia menjadi
institusi pemerintahan yang menyelenggarakan salah satu bidang khusus dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan, misalnya pendidikan, kesehatan, pertanian,
industri, dan lain sebagainya.
Citra birokrasi ideal ada pada pemikiran Max Webber, yang gholab disebut sebagai Rasionalisasi Birokrasi atau Birokrasi Weberian (Weberian
Bureaucracy). Yang memiliki ciri utama,
yaitu: (1) adanya derajat spesialisasi atau pembagian tugas yang tegas dan jelas, (2) adanya struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas tanggung jawab yang tegas dan jelas, (3) hubungan antar anggota yang
bersifat impersonal, (4) cara pengangkatan atau rekruitmen pagawai yang
didasarkan pada kecakapan teknis, dan (5) adanya
pemisahan antara urusan dinas dengan urusan pribadi yang akan menjamin
pelaksanaan tugas secara efisien.[4]
Banyak
opini menyuarakan jika birokrasi yang dipakai di Indonesia adalah birokrasi
weberian. Itu benar, tapi secara prinsip. Sedangkan secara praktik, sangat jauh
berbeda. Kolegalitas, inefisiensi, dan kultur birokrat korup, dan lain
sebagainya, bukan bagian dari konsep rasionalisasi birokrasinya Max Webber.
Reformasi
Birokrasi Pendidikan
Meruwat
sistem birokrasi pendidikan sama halnya dengan proses penebusan dosa birokrasi
pendidikan. Dosa birokrasi pendidikan hampir tidak jauh berbeda dengan
dosa-dosa birokrasi negara, sebab prinsip public
service terhadap yang besar kantongnya, acapkali diprioritaskan. Pelayanan
yang sungguh korup. Walhasil, mimpi pendidikan menebus batas territorial dalam
satu standard, mutlak sulit terealisasi. Sebab, mana mungkin kantong rural
lebih besar daripada kantong orang urban. Itu hukum pasti.
Sungguh, apa lacur, pendidikan yang menjadi ruh
perubahan, ruh kehidupan, ruh pembangunan, ruh kemanusiaan—humanisme, memanusiakan
manusia, malah salah. Yang tepat adalah rakyat hanya sebagai “bejana kosong,
tak berisi”, itu Paulo Freire. Dan “exploitation
de I’homme par I’homme” atau eksploitasi manusia oleh manusia lain, oleh
Bung Karno.
Oleh sebab itu,
optimalisasi kinerja birokrasi di segala lini adalah fardhu. Reformasi pejabat yang peka fenomena di “luar kantor” pun
tak boleh luput. Selain itu, menghindarkan diri dari virus kredensialisme sangatlah
jodoh dengan kultur Indonesia. Sebab pelayanan publik harus menghindarkan
kesalahan-kesalahan dalam pelayanan, sikap apatis (apaty), menolak berurusan (brush
off), sikap dingin (coldness),
memandang rendah (condesclusion),
bekerja secara mekanis (robotism),
ketat para prosedur (role book), dan pingpong
(round a round).[5]
Daftar Pustaka
Albrow, Martin. (1996),
Birokrasi. (Yogyakarta: Tiara Wacana)
Mahdi, Saiful. (2016),
Dosa Birokrasi terhadap Pendidikan.
Artikel dimuat di Kompas edisi cetak 03 Februari 2016.
Siswadi, Edi. (2012).
Birokrasi Masa Depan Menuju Tata Kelola
Pemerintahan yang Efeketif dan Prima. (Bandung: Mutiara Press)
Tjokrowinoto,
Moeljarto. (1995). Pollak- Pembangungan
sebuah Analisi, Arah dan Strategi. (Yogyakarta: Tiara Wacana)
[3] Saeful Mahdi,
2016, Dosa Birokrasi terhadap Pendidikan.
Artikel dimuat di Kompas edisi cetak 03 Februari 2016.
[4] Moeljarto
Tjokrowinoto, 1995. Pollak- Pembangungan
sebuah Analisi, Arah dan Strategi. (Yogyakarta: Tiara Wacana). Hlm. 80.
[5] Edi
Siswadi . 2012. Birokrasi Masa Depan
Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Efeketif dan Prima. (Bandung: Mutiara
Press). Hlm. 5
Komentar
Posting Komentar