Mendudukkan Relasi Barat dan Timur
Judul : Antara Barat dan Timur (Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi)
Penulis : Al Makin, Ph.D.
Terbit : Cetakan I, Maret 2015
Tebal Buku : ix-258
Halaman
ISBN : 978-602-290-031-3
Penerbit : Serambi
Ilmu Semesta
Mempercakapkan Barat (Oxidentalism)
dan Timur (Orientalism) dalam ihwal
keilmuan bukanlah barang baru. Sebab sudah lama muncul beberapa intelektual
yang gamblang menjelaskan relasi, distorsi, kontinuitas dan diskontinuitas di
antara keduanya. Dalam wujud paradigma, Barat sebagai teman dan Barat sebagai
lawan.
Sebut saja Hasan Hanafi (1986) yang memilih middle-paradigm. Tidak ada batasan
antara Barat dan Timur. Keduanya duo-unitas.
Kesatu-paduan, keterhubungan. Kemudian Edward W. Said (1979) dalam magnum-opus-nya Orientalism, menguraikan bahwasannya, ada persesuaian antara
Barat dan Timur. Persesuaian tersebut
dimaknai sebagai gerakan bersama. Yaitu orang-orang Eropa yang mendefinisikan
dirinya sebagai Barat, sedangkan orang lain sebagai Timur. Lain daripada itu,
Sayyid Quthb di Mesir yang menuduh Barat sebagai Fir’aun yang melawan kebenaran
Musa, Jahiliah yang anti Islam, Kafir Mekkah yang menentang Nabi Muhammad, dan
lain-lain. Kesimpulannya, Barat menjadi hijab
Islam.(Hlm.60). Dua yang awal adalah corak pandang keilmuan, sedangkan satu
yang terakhir lebih condong kepada segi teologis.
Dianggap tidak baru, sebab yang diutarakan oleh penulis,
bersifat langkah melebarkan sayap-sayap keilmuan akademik. Yang kerangka dasarnya
diambil dari beberapan buah atau serpihan pemikiran dari Michel Foucault,
Edward W. Said, Samuel P. Huntington, Clifford Geertz, sampai Snouck Hurgronje,
dan masih banyak lagi.
Tapi pengalaman kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa
Timur, yang memegang erat prinsip tradisi, kesadaran akan keterbutuhan terhadap
Barat mutlak tidak bisa digugat. Barat, langsung maupun tidak langsung, dewasa
ini, telah mendominasi kita dalam ihwal ilmu pengetahuan, informasi, teknologi,
bahkan ideologi. Barat acapkali menjadi kiblat segala yang wujud dalam
negara-bangsa secara global. Tapi, kesemuanya itu menjadi fenomena traumatik
sebab kolonialisasi. Opini demikian shohih
adanya, jika bersandar pada diktum yang dilontarkan oleh Edward W. Said, “Knowledge is Power” pengetahuan adalah
kekuasaan. Pengetahuan menjadi modal subjek mempengaruhi objek.
Seperti dikala kita memakai handphone, smartphone, laptop
secara masal. Lalu, media sosial layaknya Facebook, Instragram, Line, Whatssap,
Google, Youtube, Skype, Twitter, Blacberry Massanger sebagai media komunikasi
massa secara global.(Hlm.216) Yang dalam taraf produksi, seluruhnya tadi
merupakan produksi Barat, produk ilmiah Barat. Kemudian dalam ekonomi-bisnis
makanan, ada Mcd, KFC, Starbucks Cafe, Dunkin Donut’s, Pizza Hut, yang sudah
menjamur dan tak menjadi asing lagi bagi manusia Indonesia. Lalu kenapa kita
masih mencaci maki mereka?
Padahal, barat sendiri, setelah penghancuran beberapa
nilai tradisi, otomatis pengetahuan tidak terjangkau secara komprehensif. Mereka
tidak mempunyai tradisi sebab penghancuran tersebut. Alhasil, Barat mencontoh Timur
dalam ihwal tradisi. Bahkan, sangat mungkin Barat akan mengemis tradisi dari
Timur. Ini semacam neo-kolonialisme. Tapi, tidak berarti ini adalah sebuah
pencurian atau penistaan peradaban. jika memang niat awalnya mutlak untuk
peradaban yang berkemajuan.
Namun, perlu diketahui pula, batasan-batasan antara Barat
dan Timur itu bersifat “imajiner”.(Hlm.62) Yaitu bayangan dan angan-angan
semata. Batasan itu dalam pikiran manusia. Tidak ada batasan yang memisahkan
antara Barat dan Timur secara nyata. Sekedar imajiner, batasan itu hantu, tak
nyata, tak terlihat, bahkan sampai tidak ada sama sekali. Sehingga nampak
sekali, keterikatan antara Barat dan Timur bersifat mutualis-simbiosis, saling
keterbutuhan dan saling keterpengaruhan. Sekali lagi, demi kemajuan keilmuan
dunia serta peradaban yang berkemajuan.
Komentar
Posting Komentar