Kiai Mustaqim

Oleh; Afrizal Qosim Sholeh*
Dengan keteguhannya, Kiai Mustaqim berjalan dari barat. Seperti biasa, di pundaknya terpikul sekarung beras. Konon, beras yang selalu dipikulnya itu tidak pernah ia beli dan tidak pernah habis. Seperti samudra tak bertepi, beras itu tak berkurang, pun tak bertambah sama sekali. Karung itu selalu dipikul tanpa terbesit rasa lelah di raut wajah. Berjalan, berkelana, dan berpetualang, merupakan penegasan dirinya.
Berganti latar setiap kali lapar. Berganti wadah setiap kali butuh berkah. Berganti tempat setiap kali butuh berkat.
Apabila ada hajatan agung yang bertalian dengan unsur Kiai dan Pesantren, di situ pasti dapat dijumpai orang yang bernama Kiai Mustaqim. Bukan sebagai yang diluhurkan, penceramah, apalagi pemimpin do’a, ia hanya mengalap berkah, mencuci dan mengelap piring di dapur shohibul hajah. Seluruhnya menjadi rutinitas kesehariannya sekaligus rutinitas spiritualnya. Tak pernah mengeluh apalagi mengadu. Masih konon, rutinitas itulah yang menjadikannya seorang Kiai Mustaqim.
“Apa ini potret manusia paripurna? Atau bentuk konkrit dari khalifah fil ardh? Atau malah esensi dari kata ‘abdun, hamba. Hamba yang mengabdi pada keyakinan terhadap jalan-Nya?” pikirku bertanya-tanya.
“Ah, lupa. Yang saya ingat hanya itu, ‘dulu’.” Tabayun Kang Murtadlo, adik kandung Kiai Mustaqim kepadaku yang berziarah ke rumahnya. 
==
 Selepas wirid maghrib selesai, aku beranjak pulang ke rumah. Rumah sederhana. Berlantai tanah. Yang kurasa sama seperti Maghrib kemarin. Lengang. Hanya terdengar suara lirih istri dan anak-anak berjamaah melantukan bait-bait puisi Tuhan semesta alam.
Rumahku bertetangga dengan Musholah, tempatku menunaikan rangkaian rukun Islam yang kedua, Salat Maghrib tadi. Kepulanganku ke rumah hanya untuk sekedar menanggalkan sorban dan menaruh celengan. Selepas itu, balik keluar, menuju ke pelataran rumah, kutemui ternyata sudah ramai. Diramaikan sebagian penduduk desa yang diundang menghadiri hajatan lurah Haji Djari, yang akan mempunyai mantu perjaka saudagar bahan material tetangga desa. Terlihat pula di sana Kang Murtadho. Sebentar menunggu, menanti kedatangan tetangga yang kukira berlum terlihat, aku mencoba memantik rombongan dengan selentingan humor cadas nan cerdas. Dari humorkuu, tak sedikit mereka ikut urun tertawa, ikut membawa gembira suasana.
Suasana yang basah, karena air hujan merindukan tempat muasalnya, tanah. Tak terasa, yang ditunggu-tunggu sudah nongol pula. Menyapa para rombongan, “Assalamu’alaikum”. Seragam mereka menjawab. “Wa’alaikum salam Pak RT”. Dirasa sudah komplit, sudah berkumpul,  pada akhirnya mereka sepakat untuk berangkat. Aku di barisan paling depan, menjadi pimpinan.  
Perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai di kediaman Haji Djari tidaklah sebentar. Mesti berjalan melewati persawahan, peternakan, dan beberapa lampu temaram penduduk desa. Butuh hampir dua puluh menit untuk sampai ke sana. Menimang jauh dan lamanya perjalanan, sedikit banyak kelakarku mulai, masih sama, dengan humor cadas nan cerdas andalanku. Para rombonganpun berlomba-lomba untuk saling menimpali satu di antara yang lainnya. Sungguh asyik pun seru. Sampai suara Jangkrikpun malu. Terkalahkan dengan gelak tawa para pengidam kain putih kelabu.
==
Penerangan sawah sayup-sayup bercahaya. Suara gesekan padi satu dengan yang lainnya terbawa sampai ke gendang telinga. Angin dan udara dingin, membangkitkan bulu roma. Bambu menari-nari, saling sikut, membentuk untaian nada tak berkata. Hanya goresan indah sandal dan sarung yang terdengar merdu di telinga.
Gurauan diwarnai gelak tawa masih menjadi ritme perjalanan. Tak terasa, secara bersamaan, pandanganku juga kulihat mereka yang di belakangku, teralihkan oleh rumah tak berpenghuni tepat di sebelah kanan. Di depan ada simpang tiga, yang jika mengambil arah ke kanan, bertemulah kita dengan kediaman Haji Djari sang pengundang. Tapi kulihat, mereka mencoba menahan diri barang sekedipan. Sawang-sinawang tak terelakkan. Seperti terpaku dan terpanah, rumah tak berpenghuni itu menampakkan jati diri pemiliknya, dulu.
“Lantas bagaimana ya, jika rumah itu masih hidup lampunya. Masih putih cat temboknya. Masih bersih pekarangannya. Masih indah senyum pemiliknya.”. aku memulai dengan mencoba mengindahkan perangai.
Kang Murtadlo diam. Tapi melihatku.
“Setiap hari saya akan menziarahi rumah ini pak. Menamui rumah ini pak. Meniadakan kebencian dan menenun perdamaian pak. Dan nantinya, akan saya jadikan rumah ini sebagai rumah percontohan. Sebagai keluarga percontohan dalam kemurahan dan keramah-tamahannya. Sayang sudah terlambat.” Pak RT tertunduk.
“Kalau saya, akan sangat rela jika diambil sebagai anak angkatnya Pak!”. Semua mencari sumber suara. Terheran-heran. Ragu mendengar suara anak yang belum sampai akil baligh berkhotbah. Dia Dargombes, anak SD yang terpaksa menggantikan peran Bapaknya yang sakit untuk turut menghadiri undangan, ikut memberi tanggapan. Dia menanggapi sambil  kedua tangan di atas kepala dan kaki menendang-nendang tanda ingatan yang hilang.
Kang Murtadlo masih terdiam. Kali ini matanya mulai memerah. Entah, mungkin dia sedih atau apa? Aku tak berani bertanya.  
“Haha. Ngomong opo toh kuwi nak? Apa belum cukup kamu sumringah karo bapakmu seng makelar tanah?”. Kang Markun menimpali perkataan Dargombes dengan nada ejekan.
Iyo kang! saya kurang cukup sumringah!”. Tegas Dargombes.
   Semua diam. Ikut Kang Murtadlo yang sedari tadi diam. Hening.
Wes-wes, mari kita hadiahi bacaan Kitab pada Kiai Mustaqim beserta istrinya”. Dengan tenang aku mengajak. Selesai. Perjalanan berlanjut. Masih dalam suasana yang sama,   melewati persawahan, peternakan, dan beberapa lampu temaram penduduk desa. Tapi dengan suasana hati yang berbeda. Dalam perjalanan tak lagi ada gurauan. Seolah semua merenung mengingat sosok Kiai Mustaqim.
Keramat.
Dalam kondisi kaki yang terus melangkah ke depan, berjalanan. Di antara para rombongan, yang paling terlihat serius merenung adalah aku. Aku tertunduk, seperti berangan-angan, dan bungkam. Juga memikirkan kebungkamannya Kang Murtadlo. Kumenatap kaki rapuhku berjalan. Menginjak-injak kenangan di antara sela-sela pasir dan batu jalanan. Seketika itu pula, kuteringat semasa muda tatkala berkawan dengan Kia Mustaqim, yang masih kuingat betul raut mukanya. Raut muka manusia tersenyum.
Angan dan renungan itu membawaku sampai pada suatu kenangan. Masih dalam kondisi merenung, tertunduk. kuberujar dalam hati, bercerita dalam hati, mengingat-ingat  tentang sebuah cerita yang hampir mirip dengan sebuah dongeng, kedengarannya.
Suatu ketika, hari sudah petang. Muadzin beradzan. Penduduk silih-berganti keluar dari rumah menuju Mushollah. Aku menemui Kiai Mustaqim duduk di bawah pohon beringin pusara desa. Sekarung beras bersarang di depan kaki sebelah kiri. Tangan kanannya terlihat memegang tasbih, sedang bahu kiri masih memikul tas karung pucat berisi sandangan di setiap hari.. Hanya ada satu sarung, satu kemeja, dan satu kaos oblong di dalamnya. Selain itu, ada sandangan nomer dua, yakni tikar dan sorban yang dipakai sebagai alas tidurnya. Diriku yang hendak melangkah pergi ke Mushollah, terpaksa menunda, menghampiri temanku itu, Kiai Mustaqim.
“Menunggu siapa Qim?”, tukasku, dengan masih berjalan menghampirinya.
“Malam petang tak ada pisang
Pak Kandar datang tanpa kugetar
Pohon mangga dilalah kok berbuah naga
Pak Kandar jua yang sedang kudamba ”. sambil menyunggingkan senyum terkhasnya kepadaku, Kiai Mustaqim menimpali dengan sebait kelakar pantun, entengnya.
“Kamu masih sama seperti dirimu yang dulu Qim. Terus saja menghibur orang dengan kelakar pantunmu. Pantas saja, istrimu pergi, lah wong tak tahan lihat sampean yang menggelikan.”
“Itu lain urusannya Dar, Tuhan sudah mengatur itu semua. Tuhan sutradara teragung. Tapi saya saja yang terlambat mafhum. Hehe”
“Betul Qim, kamu masih sama seperti dirimu yang dahulu. Keyakinan iman, keteguhan prinsipmu, lain daripada yang lain. Orang lain berjalan ke timur, kamu malah berlari ke barat. Lantas apa yang tidak membedakanmu dengan orang lain?”
“Lah kamu ini mulai ngawur ngomongnya Dar. Tak ada beda di antara kita. Titik. Kita manusia. Manusia yang beTuhan, yang berarti kita harus menghamba, kita harus mengabdi kepada yang Maha Tuhan. Bukan tuhan-tuhan yang lain! Titik. Mengerti kan? Yang saya maksud?, tapi untuk pertanyaan pertamamu, adalah benar! Hidup, saya ibaratkan sebagai piring yang tiap kali saya cuci waktu ada hajatan seorang Kiai di dapur pesantren. Sesering saya mencuci piring, di situlah momen saya untuk bersuci. Agar selalu terlihat bersih, bening, dan keling-keling. Jika sudah demikian, piring bisa dipakai kembali. Piring bersih, pula hati suci, bisa dipakai untuk mengaca ulang diri kita sendiri. Begitu dar”
Walah-walah, jelas ae, awakmu dadi menungso seng legowo, murah hati, dan sakti mandr…… ketika hendak meneruskan, terlebih dahulu terdengar dengan keras muadzin beriqomah. Wajahku berubah pucat, tetangkap oleh Kiai Mustaqim, bingung. “loh, lah terus siapa yang jadi imam? Orang aku di sini.” Dengan sungguh bahagia merasakan guyonan Tuhan, kamipun tertawa. Haha. “Yowes, mari kita ke Mushollah sekarang Dar! Lari! Seru Kiai Mustaqim.”
“Pak Kandar, kita ini mau berjalan ke mana? Rumah Haji Djari di sebelah sana!” sergah Pak RT, dengan telunjuk yang mengarah pada kediaman Haji Djari. Lalu dilanjutkan,  “Atau Bapak mau mampiri surti?”, terasa ada suara dan sentuhan kuat di bahuku, kutersadar, kaget, dan salah tingkah melihat para rombongan yang melihatku yang kabur pandangan. “Oh njeh, eh mboten, saya tidak ke rumahnya Surti, maaf.” Sekian.
*Penggiat Sastra tinggal di Yogyakarta


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)