KH Ali Ma’shum, Modernisasi dan Nasib Kaum Muda


Sudah menjadi lazim, bahwasannya label modernis-reformis melekat pada KH Ali Ma’shum. Kiai yang merupakan pemimpin tertinggi NU setelah terpilih secara musyawarah mufakat pada drama haru Munas NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta—sebab Kiai Ali berorasi dengan begitu tawadhu’nya tatkala diberi amanah—menggantikan KH Bisri Syansuri itu, pada 17 Februari 2016, hari ini, semua warga NU akan memperingati Haulnya yang ke-27.
Peringatan Haul akan berlangsung seperti lazimnya. Ada para undangan acara, pedagang, dan berjibun masyarakat dan santri yang nantinya melebur dalam kerumunan berebut berkah di Rabu malam tersebut. Hal yang wajar dari peringatan Haul Kiai dalam kaleidoskop catatan sejarah tradisi kaum Nahdliyin.
Ruh Pembaharuan
 Namun, peringatan Haul ini tak akan berarti dengan tanpa khidmah kita mengenang sosok Rais Aam PBNU 1981-1984 itu. Oleh Mukti Ali, yang pada waktu itu menjadi murid Kiai Ma’shum di Pesantren Termas Pacitan, Kiai Ali disebut-sebut sebagai inisiator berdirinya Madrasah di Pesantren. Hal ini fardhu dimaklumi, karena Kiai Ali memang mempunyai cita-cita besar ingin melahirkan duplikat ulama yang multidisipliner, seperti Al-Ghazaly, Miskawaih, Al Kindi, Ibnu Sina, dan lain sebagainya.
Selain dalam ihwal pemikiran, Kiai Ali juga dikenal modernis dalam sikap dan tindak-tanduknya. Ada dua peristiwa yang menampakkan keistimewaan tersebut. Pertama, Fachry Ali menyebut Kiai Ali Ma’shum ini sebagai “pelindung spiritual” Gus Dur (panggilan karib KH Abdurrahman Wahid). Tanda petik yang penulis pasang dalam dua kata tersebut mengisyaratkan bobot dan nilai yang diemban dalam makna yang tersirat. Keluasan makna yang dicakup menjadikannya multi-tafsir.
Hal itu tercermin dalam sebuah riwayat, tatkala Gus Dur sempat diadili oleh Kiai-kiai NU Cirebon atas beberapa lontaran pemikiran kontroversialnya di media massa,  Kiai Ali bersama dengan Kiai Ahmad Shiddiq Jember dengan keteguhannya, berada di garda depan untuk  membela dan melindungi Gus Dur dari berbagai badai protes yang melanda dirinya.
Kedua, ketika beliau membela mati-matian Subhan ZE yang diskorsing dari jabatan Ketua I PBNU karena dianggap melanggar norma ajaran NU. Katanya, “Sungguh tragis, orang yang menghabiskan masa dan usia mudanya untuk memperjuangkan agamanya, dan di saat kritis telah menyabung nyawa membela umatnya, yang berani adu dada menghadapi lawan-lawannya, disingkirkan begitu saja. Adilkah itu?”. (Chairul Anam, 2010; 266).
Pola pikir yang begitu modernis, menjadi ciri utama Kiai Ali Ma’shum. Tak ayal, dalam beberapa riwayat tadi, tersimpul sebuah bayangan bahwasannya beliau begitu modernis dalam perkataan, sikap dan perbuatan.
Kaum Muda yang Berdaulat
Peran signifikan dalam pemikiran dan perbuatan oleh Kiai Ali Ma’shum, tidak bertumpu pada bidang sosial keagamaan saja. Melainkan, mencakup pula bidang pembangunan masyarakat. Kawula muda, menjadi target utama beliau dalam mode on pembangunan. Kaum muda yang rentan akan pengaruh dari luar sebab dalam kondisi psikologis yang terkesan nanggung.
Kerentanan kondisi kaum muda yang demikian, ditambah dengan gempuran globalisasi yang tak pandang bulu, era media massa pun tak terbendung, serta darurat etik yang dihadapi oleh bangsa kita, merupakan problematika yang tak pernah usai. Terutama darurat etik yang seringkali diperankan secara fulgar oleh birokrasi negara kita. Lalu dengan bantuan media, virus tersebut dengan mudahnya disebar-luaskan secara nasional sehingga menjadi santapan hangat penikmat media massa. Apalagi bagi kalangan yang dirasa masih awam, hal yang demikian begitu rentan dan sangat riskan.
Sebagai seorang pemimpin di masa depan (syubbanul yaum rijalul mustaqbal), kawula muda adalah pioner atau aset bangsa yang akan menumbuhkan ruh eksistensi bangsa itu sendiri. Zaman yang terus berubah adalah keniscayaan. Tatkala dihadapkan dalam perubahan zaman tersebut, kaum muda fardhu mengetahui perubahan zamannya itu sendiri. Pengetahuan tentang zaman akan sangat membantu kehidupan dewasa ini. Bagi pemuda, zaman akan tetap sama tanpa ada perubahan di setiap detik, menit dan harinya. Stagnanisai zaman sungguhlah adalah sebuah kerugian besar bagi kawula muda.

Oleh karena itu, sebagai sebuah alternatif Kiai Ali Ma’shum dalam membangun kawula muda, salah satunya melalui proses kaderisasi. Berporos pada kaidah ushul fiqih yang berbunyi “al muhafadhotu alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik, sembari mentransformasikan tradisi baru yang lebih baik), konsepsi serta prinsip perilaku serta pemikiran kawula muda akan terjaga tanpa keluar dari norma dan nilai sosial keagamaan yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, kaum muda memiliki karakteristik dan mental yang kuat dalam menghadapi berbagai benturan zaman dan peradaban. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)