Indonesia Damai ; Mengurai dan Mengantisipasi Radikalisme Keagamaan
Oleh; Afrizal
Qosim Sholeh
Membaca judul itu dengan
satu nafas—belum sempat membaca sampai di akhir kalimat—sudah pasti anda akan
tersenyum dan merasa sangat biasa. Saking biasanya, mungkin, tulisan ini tidak
anda baca sampai selesai. Tapi itu tidak masalah, jika anda sudah benar-benar
paham lewat judul tersebut, penulis turut bahagia. Dan tentunya, senyum anda
sekalian, akan menjadi jariyah
penulis.
Waba’du, “Indonesia
Damai” adalah sebuah impian seluruh masyarakat Indonesia. Sempat booming terdengar, lewat nada yang
dilantunkan group band Koes Plus, dalam lagu yang berjudul “Kolam Susu” dengan “orang bilang tanah kita tanah surga” sebagai potongan liriknya—entah
imajinasi apa yang ada dalam benak group band tersebut, sehingga muncul
hipotesis yang demikian. Kita tahu surga adalah tempat bermuaranya sebuah
kenikmatan yang kekal sempurna di kosmologi akhirat yang tidak ada di dalamnya
kekurangan sama sekali. Gambaran surga sendiri terkumpul dalam Q.S. Ar-rahman.
Seperti dalam ayat 54, “mereka bertelekan
di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera. Dan buah-buah dari dua
surga itu dapat dipetik dari dekat”. Jika dibayangkan, sungguh komplit
kenikmatan surga. Secara kita memakai logika surgawi kemudian mengasumsikan
kebenaran Indonesia sebagai potongan surga, tapi kenapa kekerasan, konflik, dan
pertentangan masih saja ada? Terutama konflik antar umat beragama dan internal
agama, seperti Islam.
Akar Radikalisme
Keagamaan
Kekerasan, entah itu
menyangkut dengan agama atau tidak, kamus besar kita menyebutnya sebagai
terorisme. Kekerasan atau pula disebut sebagai radikalisme adalah problematika
yang sulit ditemu buntutnya. Radikalisme juga menjadi argumen keroposnya
sosio-kultural dan sosio-historis bangsa Indonesia. Radikalisme adalah
antagonis dari wajah Indonesia yang multikultural dan multireligion. Ia
mengambil peran yang begitu mendominasi di belahan bumi Nusantara. Menyangkut
radikalisme sendiri, mayoritas memberi baju pada kalangan Islam. Perlahan-lahan
radikalisme mengikis ideologi bangsa Indonesia. Mengikis adigum Indonesia
sebagai tanah surga.
Sementara itu, mayoritas
kalangan intelektual berpendapat, secara absah, radikalisme adalah merupakan
gerakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang dirugikan oleh
fenomena sosio-historis dan sosio-politik. Gejala kekerasan yang dilakukan oleh
individu maupun golongan oleh penganut agama tersebut, secara sosio-historis
lebih condong pada gejala sosial politik bukan gejala sosial keagamaan.
Meskipun dalam prakteknya, panji-panji keagamaan yang dikibarkan.
Azyumardi Azra (2011)
menyebutkan bahwa peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar dari
meningkatnya penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte dalam
(intra) satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme banyak berasal dari
paham keagamaan yang literal, sepotong dan ad
hoc terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman ini disebut pula oleh Fazlur
Rahman sebagai “pemiskinan intelektual”.
Pemahaman yang demikian, hampir tidak memberikan ruang akomodasi dan kompromi
pada kalangan moderat. Alhasil, radikalisme dengan mudah merenggut arus pikiran
utama (mainstream) umat. Kelompok
umat Islam yang demikian sudah ada sejak zaman Khulafa’ur Rasyidin Ali bin Abi
Thalib dalam bentuk kaum khawarij
yang dengan radikal melanggengkan pembunuhan pada pemimpin Muslim yang mereka
labeli ‘kafir’.
Selain itu, pemahaman
bacaan pada literasi sejarah Islam yang dikombinasikan terhadap idealisasi
sejarah Islam pada masa tertentu adalah kedok dari munculnya radikalisme agama.
Adalah kaum Salafi-Wahabi di sekitar abad 18 sampai 19 yang dengan gencar
mendendangkan pemurnian Islam—membersihkan Islam dari paradigma bid’ah,
takhayyul, dan khurafat, dan mengajak memahami kembali Islam hanya dari
al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mengkampanyekan term mereka, kekerasan menjadi
modal utamanya.
Melalui pemahaman dan
praksis keagamaan yang seperti itu, kelompok sel radikal ini menyempal (splinter) dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan otoritas hegomoni
teologis, kebijakan hukum, sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu, muncul
reaksi dari kalangan mainstream dengan membubuhkan fatwa ‘sesat’ pada mereka.
Fatwa yang terkesan main hakim sendiri ini tidak pula dicatat sebagai
kebenaran. Kalangan mainstream—seperti
NU dan Muhammadiyah—hanya berjalan pada ranah dakwah dan fatwa sebagai upaya
menanggulangi arus radikalisme yang sudah membanjiri sedemikian rupa. Mereka
lemah dalam sektor tindakan, entah dalam rupa kampanye pesan perdamaian atau
lebih baik lagi membuat data rekomendasi pada pemerintah. Alias bersinergi dengan
pemerintah.
Radikalisme keagamaan
jelas berujung pula pada peningkatan konflik dam kekerasan bernuanasa antar
maupun intra agama; juga antar umat beragama dengan negara. Sebegitu universal
jangkauannya yang berimplikasi pada sulitnya air menempuh titik-titik penyulut
apinya. Nilai-nilai universalitas agama direduksi dengan aksi anarkis berbalut
agama. Agama hanya dijadikan baju vertikal, sehingga lupa jika mereka menginjak
bumi. Bumi menjadi lahan kehidupan, akan ashlah
(lebih baik) apabila diberi limpahan kasih sayang. Seperti pepatah bijak Arab “irhamuu man fil ardhi farhamuu man fis sama’
” (sayangilah orang yang ada di bumi maka malaikat/penghuni langit akan
menyayangimu). Kearifan Nusantara dengan pelbagai suku, adat-istiadat, agama,
dan bahasanya fardu dirawat. Dalam proses pemeliharaan pola (latency) tanpa mengurai nilai-nilai yang
sudah melekat kuat di belahan Nusantara.
Kemudian dalam ranah
kontestasi pembenahan sikap dalam beragama, ada dua entitas melekat di dalam
sanubari seorang beragama, kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan
ritual (teologis) bertumpu pada ritual ibadah dalam beragama. Hubungan vertikal
antara makhluk dengan Tuhan. Sementara kesalehan sosial mencakup dimensi
sosiologis, artinya penekanan pada sikap memanusiakan manusia. Keduanya,
menjadi argument aktualisasi nilai-nilai universalitas dalam umat beragama,
yang dengan pula mengubur anarkisme kelompok radikal.
Dua Alternatif
Daripada itu, ada
beberapa upaya yang penulis anggap mampu untuk mengantisipasi dan menanggulangi
mewabahnya virus radikalisme di Indonesia. Selain pemahaman konvensional atas
nilai universalitas agama di atas. Pula penulis sebut dalam ranah hukum dan
ranah ideal-intelektual menjadi terobosan apik dalam realisasi Indonesia Damai.
Dalam dimensi hukum, kita
masih terjebak pada kebijakan punitif dan kurang memberi perhatian pada
tindakan-tindakan preventif, kalau tak ada bukti legal yang cukup tidak
dilakukan penangkapan. Ini jelas kekiruan dan hilangnya rasa hormat aparatur
negara. Selain itu, beberapa hal yang mendasari defensifnya aparat negara dalam
menanggulangi kasus terorisme adalah dalam intern aparat keamanan, kerap
terjadi konflik maupun sengketa di dalamnya. Sehingga mereka kesulitan
melakukan tindakan efektif pada konflik orang lain. Hal ini tidak pula bisa
diselesaikan oleh sistem politik negara kita dewasa ini. Sebab telah mewabahnya
pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah sendiri.
Sikap
menutup mata oleh aparat keamanan terhadap hal-hal yang tidak benar, juga
terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila akan diambil tindakan
hukum kepada aparat, yang terjadi adalah politik netralisir. Adalah beberapa
pihak yang mengupayakan untuk menetralisir konflik internal aparat kemanan
negara kita. Sikap menutup mata itu sudah menjadi sedemikian luas. Sehingga
jikalaupun ada aparat keamanan dengan ketulusan, kebaikan hatinya menanggapi
problema dengan tindakan preventif, yang terjadi adalah bertemunya mereka
dengan atasan atau teman sejawatnya sendiri. Oleh karenanya berlaku pepatah
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Inilah beberapa faktor yang
menjadi telatnya penanganan terorisme oleh pemerintah.
Penyebab
lain dari paralyse (kelumpuhan) tadi
adalah nepotisme. Kedekatan antara aparat keamanan dengan preman dan pihak
teroris sendiri. Entah itu dalam ideologi politik, ekonomi, keagamaan, bahkan
jaringan perluasan kekuasaan internal aparat negara sendiri. Sebagai legitimasi
atau alat kepenguasaannya.
Padahal
aparat negara dituntut dalam sebuah misi pengabdian menjaga dan menertibkan
negara. Ketertiban dan keamanan masyarakat adalah cita-cita yang harus
ditanamkan, disirami, sampai tumbuh dan melekat dalam sanubari mereka. Tapi
nyatanya seringkali kerusuhan, konflik dan pertentangan antar suku, adat-istiadat,
terutama antar umat beragama lepas dari jangkauan radar aparat negara sendiri.
Tak ayal konflikpun mudah terjadi. Seperti rumput kering, masyarakat mudah
tersulut percikan api perselisihan.
Oleh
sebab itu, ketegasan aparat keamanan dalam menanggapi konflik antar umat
beragama fardhu dikoreksi ulang. Pemurnian ideologi sangat membantu sekali
dalam upaya realisasi kemanusiaan yang beradab dalam bingkai persatuan
Indonesia.
Kekerasan bukanlah
karakteristik dari agama-agama. Agama, dalam nilai universalitasnya,
mengajarkan keimanan, kasih-sayang, kedamaian, kesejahteraan, dan segala yang
melekat erat dalam nilai-nilai etika dan moralitas. Humanisme menjadi tolak
ukur individu beriman sebagai penganut agama yang sejati. Adapun jika kekerasan
secara fatal dan absah bergulat dalam kehidupan masyarakat, bisa dibilang itu
adalah kecelakaan. Seperti yang sudah penulis utarakan di awal ihwal latar
belakang munculnya kekerasan antara umat beragama.
Demikian pula dengan
strategi meredam konflik antar umat beragama, selain sokongan yang datang dari
aparat keamanan seperti TNI, Polri, dan lain sebagainya. Ada sedikit rumusan
singkat dari Peter L. Berger. Sebagaimana yang dikutip oleh Nur Syam dalam
bukunya Bukan Dunia Berbeda: Komunitas
Sosiologi Islam (2005; 94), Peter menawarkan dua konsep sebagai antisipasi
terjadinya kekerasan agama, religious
revolution, dan religion subcultures.
Diskursus yang pertama (religious
revolution), mengaitkan arahan bagaimana para elit agama memberi doktrin
pentingnya model agama yang modern. Dimana agama modern adalah agama yang
toleran terhadap pluralitas yang tidak vakum diversitas dan vakum budaya. Model
seperti ini juga didukung dengan semakin heterogennya kehidupan masa kini.
Implikasinya adalah agama bertransformasi pada sebuah mode of communication yang tidak hanya vertikal tapi juga
horizontal. Agama sebagai model komunikasi ini ke depannya akan membuka keran
dialog antar umat beragama. Yang lazimnya, dialog atau musyawarah adalah kunci
kerukunan dan terselenggaranya kehidupan komunikatif.
Sementara
dalam diskursus religion subcultures, lebih
pada defensitas agama dalam menghadapi dan menanggapi pengaruh luar. Pengaruh
luar yang urgen digaris-bawahi adalah pengaruh dalam segi politik dan ekonomi.
Keduanya seringkali mengintervensi keberagamaan. Bahkan dalam masa sahabat
sampai kholifah dalam Islam, badai intervensi politik kekuasaan menjadi garam
setiap tingkah aktivis di era tersebut. Intrepetasi agama sebagai hal yang
sakral-moralitas, tentunya berlainan dengan politik dan ekonomi yang profan.
Diskursus ini menekankan adalah sikap proporsionalitas agama dalam menyeleksi
pelbagai hal yang menaruh perhatian penuh dalam agama dan keberagamaan.
Tersebut keduanya di atas
adalah sebuah ide besar Peter L. Berger dalam antisipasi terhadap kekerasan
agama. Ide yang efektif-alternatif ini, fardu diaktualisasikan dalam kehidupan
umat beragama oleh para elit agama maupun elit pemerintah dalam tanggung jawabnya
terhadap otoritas keagamaan dan keberagamaan di Indonesia. Entah itu melalui
Kementerian Agama maupun aparat keamanan. Ala
kulli hal, yang terpenting apabila banyak unsur saling bersinergi, buahnya
tak akan merugi. Damailah Indonesiaku. Tanah Air Pusakaku. Wallahu A’laam.
Komentar
Posting Komentar