Dicari; Simbol Kekuatan Politik Rakyat
Oleh; Afrizal Qosim Sholeh*
Pesta demokrasi
Indonesia, usai dilaksanakan pada 9 Desember 2015 yang lalu, berwujud pilkada,
yang sementara serentak dilaksanakan di 264 daerah. Warna-warni bendera parpol
di bulan-bulan sebelum momen itu, dirasakan atau tidak dirasakan oleh sebagian
masyarakat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Pilkada kali ini ‘sepi’. Padahal kita
tahu, pilkada kali ini dilaksanakan secara serentak.
Ada dua asumsi yang menurut
penulis menjadi latar-belakang fenomena tersebut, pertama, sulitnya akses politik elit dalam mengendalikan sirkulasi
di antara beberapa daerah. Kesulitan akses jangkauan ini, tidak lain dan tidak
bukan dari kegaduan dan kerumitan akses perundingan dalam atau di setiap
daerah. Kedua, ini yang paling
riskan, bahwasannya masyarakat sudah memaklumi huru-hara politik yang hanya
mengumbar janji tanpa tindakan pasti. Permakluman tersebut berakibat pada
kebosanan rakyat. Ada nilai otonomi politik yang dipahami rakyat. Yang
sebenarnya gejala tersebut adalah gejala yang baik. Masyarakat dengan
kemerdekaan individunya lewat pemilihan umum memilih dalam koridor “hati
nurani”. Bukan menenun apatisme dalam berpolitik. Tapi apa dikira, lain kata, rakyat
sudah terbiasa dengan iklim pesta demokrasi bangsa, sehingga saking seringnya
menikmati, saking seringnya pula dimanipulasi, rakyatpun mulai gerah dan lemah
menjalani pesta demokrasi bangsa.
Media dan Politik
Melalui kedua asumsi
tersebut, politik kehilangan daya tarik, politik popular tergerus terkalahkan
dengan budaya popular (popular culture).
Cara berpikir masyarakat mengalami ambiguitas tatkala dihadapkan dengan nama
politik, partai, kekuasaan, dan pesta demokrasi. Meskipun, tanpa menafikan
politik juga hidup di masing-masing kehidupan rakyat sendiri.
Selain itu, peran serta
media dalam membangun opini masyarakat, tak bisa dipisahkan. Ibarat Sabda Pandita Ratu, entah dalam media
cetak maupun online, masyarakat dengan mudah ramai-ramai menjustifikasi apa
yang dijustifikasi media. Keterbukaan media pulalah, yang urun membangun demonstration effect, ala kadarnya,
dikatakan, efek itu tidak bisa dibendung kedigdayaannya oleh siapapun.
Kemudian ihwal parta
politik. Bahwasannya mekanisme politik melalui partai-parta selama ini hanya
berwujud “politik dagang sapi”, visi dan misi diutarakan hanya dengan retorika
kata. Tapi miskin akan tindakan nyata. Yang semestinya bagi rakyat kebanyakan
hal itu hanya tontonan dari politik elit yang menjemukan, meresahkan, dan kian
hari makin merapuhkan suara di bawah.
Partai politik terasa
menghendaki kerusakan di dalam. Seperti kaderisasi, yang pada mulanya
kaderisasi dilaksanakan berdasar nilai-nilai keluhuran budi, saat ini hal
seperti itu dicap sebagai tabu. Sialnya, ketabuan itu berbuntut pada dekadensi
moral kader yang sudah memegang kekusaan penuh dalam parlemen dalam negara. Moral
masyarakat terpengaruhi juga oleh tokoh yang dihidangkan media. Media sebagai
katalisator zaman modern ini menampuk kekuasaan penuh ihwal warta. Media yang
demokratis menjadi pegangan kuat bagi rakyat. Terutama masyarakat akar rumput (grass-roat). Sehingga harapan antara
media dan parpol bersinergi bukan untuk bekerja sama alias sekongkol, melainkan
lebih pada modal pendidikan politik masyarakat.
Ketika dalam satu
komando, politik tidak hanya melulu kekuasaan dalam pandangan masyarakat umum.
Dibutuhkan etika serta estetika. Etika diperlukan dalam membangun moral,
sedangkan estetika berbicara bagaimana politik menjadi ronah keindahan dalam
kehidupan. Contoh saja, diktum masyhur Jhon F. Kennedy “jika politik itu kotor,
maka puisi yang akan membersihkannya”, di sana tergambar jelas kepemimpinan
politik yang humanis-estetik lewat puisi.
Menggagas Kekuatan
Politik Rakyat
Hasrat perpolitikan
Indonesia sebagian telah tersampaikan pada momen pilkada. Dimana kekuasaan
partai politik pusat menjadi barometer kemenangan di tiap-tiap daerah. Suara
koalisi menggapai puncaknya dalam sirkulasi suara poltik elit negara. Banyak
harapan muncul tatkala pesta tersebut usai. Termasuk kedaulatan politik rakyat
yang selalu menjadi pertanyaan.
Namun yang disayangkan
dari pesta demokrasi tersebut adalah anggapan parpol yang dapat dengan mudah
memobilisasi rakyat perlu diharamkan. Anggapan itu condong pada primordialisme,
diskreditasi bibit, bobot rakyat. Rakyat hanya digolongkan pendidikan
tradisionalitas. Apalagi yang sering menjadi bulan-bulanan parpol adalah rakya
pinggiran, marjinal secara sosiologis.
Padahal, rakyat, di
mana-mana pasti mengidamkan pemerintah yang baik, sekaligus kuat, dan mampu
melindungi kepentingan rakyat dan politiknya. Apalagi rakyat miskin, yang tidak
mungkin hidupnya berasas pada konstitusi. Mereka membutuhkan program nyata yang
berpihak pada kepentingan mereka secara umum. Bukan hanya bentuk kepentingan
sesaat, kepentingan kepenguasaan yang tak memihak.
Harus dipercaya, bahwa
sejarah suatu bangsa atau kaum sangat ditentukan oleh mereka sendiri. Demikian
juga, rakyat berdaulat atau tidak sangat ditentukan oleh rakyat itu sendiri.
Tugas pemimpin, politikus, cendikiawan, ulama, dan aparatur negara lainnya
adalah untuk mengartikulasikannya sehingga menjadi agresi dan agenda perubahn
politik yang lebih baik.
Ala
kulli hal, pendayagunaan
suara rakyat tidak boleh dipermainkan seenaknya oleh para birokrat. Tuntutan
dari rakyat fardu dikabulkan. Lalu tuntunan, pada program nyata dengan
kesadaran kolektif membangun bangsa, agaknya fadu pula diaminkan. Bangsa
Indonesia mempang keadilan sosial sebagai asasnya, tapi sulit ditemui tindakan
konkritnya tempo hari. Imbasnya, urusan membangun negara sejahtera
terbengkalai, digantikan dengan urusan-urusan internal parpol sendiri. Untuk
itu, tempo hari, kedaulatan rakyat yang dibutuhkan, bukan kedaulatan partai.
*Peneliti di Politic and Humankind InstituteYogyakarta
Komentar
Posting Komentar