Ikrar Pers, Kontrol Sosial, dan Realisasi Komunikasi Profetik



Oleh: Afrizal Qosim Sholeh
Media massa bagai matahari di siang bolong, yang menyinari dan memancarkan sinar sampai menerkam ke kulit. Anasir tersebut, mengganggap media sebagai alat informasi yang sangat vital dan perstisius. Begitu rawan (karena menjamurnya berbagai macam media yang ada saat ini) melihat media yang seolah menjadi santapan ringan di setiap hari, membikin penikmatnya selalu merasa lapar. Kondisi lapar yang demikian, membuat penikmat dari media merasa mudah untuk menyantapnya—seperti halnya kita dalam kondisi lapar, semua yang adanya bisa dimakan, akan kita makan pula.  
  Batas rawan itu bisa dibilang masuk siaga satu. Riskan. Pasalnya, setiap hari kita dijejali berjibun berita dari berbagai-macam media. Mulai dari Televisi, Radio, Koran, Media Online, dst.,dsb. Yang masing-masing dari media tersebut dapat diperinci lagi jenisnya. Hal ini dikarenakan kondisi sosial budaya masyarakat yang mengalami kemajuan, seperti fenomena internet masuk desa, anak SD tak lagi bermain permainan tradisional melainkan bermain gadget satu sama lain, dan masih banyak lagi.  Kondisi demikian, memberi jalan media unutk melang-lang buana (adventure), memberikan informasi se-dapat dan se-adanya. Sialnya, keterpaksaan itu membuat informasi yang disampaikan kepada khalayak terasa simpang-siur. Hambar. Antara satu media dengan media lain sering berbeda, tentang apa yang diberitakan. Tak jarang pula, ideologi yang membawai masing-masing media dibawa sampai ke diskursus pemberitaan (publishing). Apa lacur, masyarakat awam cenderung dengan lanyah mengamini berbagai jenis berita yang mereka terima tanpa terlebih dahulu mengklarifikasi kebenarannya. Demikian kadar media dalam problematika yang dihadapi masyarakat.    
Media massa atau pers, sebenarnya adalah pilar demokrasi bangsa kita yang masih ada dan terjaga eksistensinya (Mahfud MD). Oleh sebab menjadi pilar tersebut, Kekuasaan media di ranah publik tak ada yang menandinginya. Semua mengamini dan legowo dengan warta yang diberitakannya. Semacam hegemoni, media mempunyai racun yang sangat berbisa, yang dengan mudah bisa racunnya dipakai untuk mengelabuhi khalayak. Tidak berhenti di situ, bisa racun media akan perlahan-lahan menyebar dan menjaring seluruh sistem saraf dalam tubuh kita, alhasil seluruh sistem saraf kita mudah terkontaminasi oleh bisa beracun media tersebut. Seringkali tanpa sadar—namanya juga hegemoni—kita menirukan figur yang kita idolakan di media, dari berbagai aspek kita tirukan, mulai dari segi ucapan, gaya rambut, pakaian, tas, sepatu, bahkan mungkin sampai tidurnya, dan jenis aksesoris lainnya, semua tanpa sadar kita fotocopy.
Fenomena tersebut, nampak smooth berjalanan dalam ronah kehidupan manusia saat ini. Media sukses menjadi pembentuk opini publik. Kesuksesan tersebut terlihat jelas dari berbagai macam warna media sekaligus warna pembacanya. Saat ini, di setiap media, hampir memiliki pembaca yang setia, bukan karena apa, melainkan ideologi politik yang seolah-olah hadir dalam tiap penyajian warta dalam pemberitaannya.        
Dalam kondisi demikian, cita-cita media sebagai katalisator penyebarluasan informasi dan fasilisator bagi perdebatan publik dalam kerangka membangun public sphere, paling tidak dapat merepresentasikan pilihan publik yang beragam. Namun, tindakan itu masih jauh dari ekspektasi kiranya, jika tidak melibatkan publik dalam menentukan pilihan materi pemberitaan. Keterlibatan publik ini ‘fardlu’ diperhatikan oleh pemerintah atau pengelola media. Sepenuhnya, publik diikutsertakan dalam merencanakan, membuat, melaksanakan kebijakan, sekaligus memantau program yang disajikan.
Untuk melindungi kepentingan publik, menurut Mudrock dalam buku Approaches to Media A Reader (1995), media sebagai public sphere memuat tiga prinsip. Pertama, kebutuhan warga negara untuk memiliki akses dan sarana (device) informasi, serta analisis yang akan membuat mereka mampu mengetahui dan berusaha memperoleh hak-hak pribadi mereka. Kedua, adanya akses informasi yang luas dan kebebasan berdiskusi dalam wilayah yang terkait dengan pada pilihan politik publik. Ketiga, fasisilitas bagi masyarakat untuk mengenali diri mereka sendiri dan aspirasinya yang terpresentasi di media, serta media dapat memberikan kontribusi atas pengembangan masyarakat.
Ketiga prinsip tersebut, sesuai dengan UU No. 40 tahun 1999 Bab VII Pasal 17 Ayat 1 & 2 tentang Peran Serta Masyarakat, memuat argumen objektivikasi pemberitaan dalam media. Yang sebenarnya objektivikasi dianggap sebagai barang yang alot dalam dunia media. Tapi ketika prinsip itu dapat direalisasikan, tentunya media akan menemukan jalan terbaiknya karena menampung aspirasi masyarakat yang  notabene sebagai penikmat media.
Pers Sebagai Kontrol Sosial
Media massa ketika dihadapkan pada rumusan public sphere, akan menuai jenis media massa yang mengangkat proses revivalisasi peran masyarakat dalam pemberitaan yang objektif, akuntabel, dan edukatif. Gambaran media dengan variasi fungsi tersebut, menjadi gambaran yang begitu di-idolakan oleh khalayak. Masyarakat tidak ingin dibuat pusing oleh varian pemberitaan di media yang cenderung menyulut api permusuhan. Khalayak menginginkan media sebagai media, yang sesuai dengan definisi dari UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yakni media massa atau pers sebagai  lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain itu, masih bermuasal pada UU No. 40 tahun 1999 Bab 2 Pasal 3 Ayat 1,  yang mencuatkan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi pers sebagai kontrol sosial ini tak lagi terdengar bunyi dan juntrung arahnya. Point kontrol sosial pers di atas, hanya seperti kesepakatan di atas kertas kemudian dilipat dan dimasukkan saku oleh para penguasa. Penguasa tak pernah terdengar menyuarakan UU. pers dan komponen yang termasuk di dalamnya. Mereka seoalah merasa nyaman—dan semoga tidak luput dari cengkraman hegemoni media.    
Oleh karena itu, rumus revitalisasi fungsi media sebagai kontrol sosial memuat berbagai macam segi dan aspek yang ada dalam media, pemerintah, sekaligus rakyat. Media selebihnya hanya akan menodai masyarakat bahkan negara jika pemberitaannya tidak objektif tapi otoritatif pada pihak penguasa. Demikian halnya dengan pemerintah, sebagai moderator antara media dan rakyat, tugas memoderasi antara hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam berita fardu untuk ditegakkan. Bak hologram yang bisa terlihat di kedua sisinya dengan sudut pandang yang berbeda, pemerintah harus jelih dalam memilah dan menilai untuk mampu menjadi penengah di antara keduanya. Sedangkan rakyat, sadar pendidikan untuk memilah berita yang kompatibel sebaiknya digerakkan. Entah dalam keluarga, masyarakat, maupun diri sendiri. Jika hal tersebut berjalan berkesesuaian, tak sulit untuk kembali menjadikan media sebagai kontrol sosial.  
Meneguhkan Komunikasi Profetik
            Selain revitalisasi eksternal terhadap hal yang terlibat dalam eksistensi media. Faktor internalpun tak boleh diabaikan. Yang dimaksud internal di sini adalah, faktor dalam ruang lingkup media itu sendiri. Terutama masalah pemberitaan.
            Pemberitaan oleh media dewasa ini, tak lebih hanya sekedar umbar kabar angin. Dengan hanya berucap “kun fayakun” berita disampaikan, lalu masyarakat mengimaninya tanpa “syahadat” untuk berargumentasi menimbang dan memilahnya. Psikologi hegemoni kita, sudah ada semenjak bangsa kolonial yang membangun media hanya untuk kepentingannya sendiri. Kepentingan politik. Kepentingan sektarianisme. Kepentingan penguasa. Kepentingan bangsat bangsa kolonial. Terhadap perilaku bangsa kolonial ini, membuat wajah bangsa indonesia menjadi pasi. Kecut. Tak bergairah. Sehingga ketika sudah dalam kondisi demikian, muara kebencian muncul terhadap bangsa kolonial, seharusnya. Tapi jalan tidak hanya lurus. Masyarakat malah memusuhi bangsanya sendiri. Apa lagi teknologi dan informasi yang sudah maju. Media yang menjadi bagian dari kemajuan teknologi dan informasi, tak jarang menjadi alat pembunuh bangsa. Melalui isu-isu yang menyulut permusuhan, perpecahan, persengketaan yang dimuat di berbagai media. Tak ada dampak positif yang akan didapat, tapi dampak negatif yang menjadi ganjaran. Masyarakat terpecah belah karena kabar angin tersebut.  
Hal ini sangat berkebalikan dengan definisi Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media (1996) yang menyebutkan pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada moment yang bersamaan. Kita dapat melihat transendensi
Sebagai sebuah simbiosis, media akan lebih berguna jika tidak memuat isu-isu garing. Isu-isu garing hanya akan menikam dan menindih bangsa kita yang terkenal dengan moralitasnya. Moralitas sebagai langkah awal pembentukan negara kita yang berasaskan gotong-royong sebagai tafsir dari “Bhinneka Tunggal Ika” perlahan akan luntur jika orientasi media hanya untuk kebrobokan. Untuk itu, tranparansi, liberasi, dan humanisasi sebagai prinsip atau rumus komunikasi profetik (prophetic), komunikasi kenabian, komunikasi yang membawa rahmat untuk seluruh alam, sekonyong-konyong fardu diterapkan dalam dunia media. Sebagai refleksi sekaligus koreksi sejarah pers di indonesia yang hanya berkutat pada kepentingan ideologis maupun politis. Wallahu A’laam.




Komentar

  1. Terimakasih. Tulisan ini menambah refrensi sudut pandangan yang baru bagi saya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)