Pancasila, 'Kaifa Hal'?
KeTuhanan Yang Maha Esa merupakan bunyi butir
sila pertama dalam Pancasila. Sila pertama ini mengisyaratkan kehidupan masyarakat
Indonesia yang tidak pernah lepas dari keyakinan dalam ber-Tuhan (tauhid) dalam
menjalani kehidupan. Keyakinan ini yang kemudian melahirkan asas kebersamaan dalam
menjalani kehidupan bernegara melalui representasi ajaran Tuhan. Dengan ajaran Tuhan,
untuk mencari nilai universal dalam kehidupan bermasyarakat itu akan lebih mudah.
Asas kebersamaan menjadi urgensitas dalam
menjalani kehidupan di Indonesia. Indonesia yang terdiri dari banyak ras, suku,
adat, dan bahasa akan menjadi baik jika masyarakatnya memiliki keyakinan kepada
Tuhan. Keyakinan ini membangun sikap untuk tidak mudah goyah dalam guncangan. Dalam
gertakan bangsa barat.
Sayangnya, falsafah bangsa yang sudah
lama ada itu, sama sekali kurang disentuh oleh masyarakat Indonesia dalam hal beragama.
Masih banyak konflik yang mengatasnamakan agama di sana-sini. Agama hanya dijadikan
“kambinghitam” dalam sebuah konflik di masyarakat. Apakah peristiwa demikian mencerminkan
sila pertama dalam Pancasila di atas? Sangat jauh dari harapan,
jawabnya. Tapi bukan berarti tidak bisa dicapai persatuan dalam perbedaan menganut
agama di Indonesia.
Perlunya revitalisasi dan rejuvansi Pancasila
yang sudah lama didendangkan dan diimpikan oleh berbagai kalangan cendekiawan,
rohaniawan, budayawan, tidak lagi terciumbaunya. Semua hanya jadi sebatas gagasan
tertulis, belum sampai teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di
Indonesia.
Masyarakat Indonesia makin lama makin lupa
akan falsafah negaranya. Pancasila dikira hanya untuk dihapalkan dan hanya menjadi
asas dalam berorganisasi, seperti yang terjadi di era rezim orde baru dengan penataran
P4 nya. Padahal gholab kita ketahui, Pancasila
adalah sebuah warisan ideologi, gagasan, budaya, leluhur bangsa. Warisan yang
menjadi jimat bangsa Indonesia dalam menumpas bentuk penindasan model baru yang
meskipun sulit untuk dikenali, namun terambang jelas di luasnya samudra lautan.
Warisan leluhur ini harus selalu kita jaga dan pelihara.
Aduh, Pancasila, seribu kali engkau aku sebut.
Dalam diskusi, dalam pengajian, dalam sambutan kenegaraan, dalam testimony perayaan,
dan bahkan dalam daulat kerinduan akan ketentraman, sekalipun di kamar mandi. Pancasila,
dimana wujudmu sekarang? Jangan sembunyi di waktu zaman memaksa menemuimu. Jangan
engkau tampak!! Biarlah dirimu yang dicari oleh mereka, jangan jual dirimu. Buktikan
kesaktianmu, kekeramatanmu, keindahan isimu. Aduuuh, jangan batuklah, tolong jangan
lagi sakit-sakitan, aku tau umurmu tak lagi mudah. Tapi kecanduan akan dirimu masih
fardhu bagi banyak kalangan disini. Di Indonesia, tempat lahirmu, tempat engkau
berkembang menjadi remaja, kemudian dewasa dan sekarang, apakah engkau sudah tua?
Jangan menjadi perahu di laut lepas! Jadilah
karang yang menjadi penyangga air laut yang menghempas. Engkau bukan tiang,
tapi pondasi tiangnya!
Komentar
Posting Komentar