Musuh Abadi


Entah hal ini diwarisi oleh Qabil dan Habil atau fitrah manusia itu sendiri. Jika peristiwa sejarah Qabil dan Habil, berarti dorongan dari luar yang berperan. Sedangkan jika memang itu fitrah manusia, ya personal manusia sendiri yang berperan.
Kedua hal tersebut, menjadi akar permusuhan di semesta ini. Permusuhan selalu ada dan sulit ditiadakan. Permusuhan, serasa membelenggu dalam diri manusia. Selazimnya belenggu, manusia merasa mempunyai musuh di setiap tindak-tanduknya. Belenggu permusuhan bersarang dalam diri manusia, terlepas dari faktor luar yang mempengaruhinya, manusia memiliki nafsu untuk menuai benih permusuhan, kemudian ditanam, disiram, dirawat dengan rutin dipupuk, suburlah dia.
Permusuhan dalam pemahaman teks di atas mempunyai dua definisi, yakni permusuhan lahir dari koreksi rahim sejarah peradaban dan koreksi rahim sejarah kepribadian. Kefitrahan.  
Definisi dari rahim sejarah peradaban itu berasal dari peristiwa sengit yang diulang-ulang. Peristiwa tersebut mempertemukan dua entitas yang mungkin awalnya tidak ada dendam kesumat sama sekali dalam diri mereka. Sebut saja derby. Derby dalam dunia sepakbola selalu nikmat untuk ditunggu. Derby dalam dunia persepakbolaan seringkali mempertemukan dua klub se-kota maupun tidak. Adanya kadar ke-tidak-an tersebut dikarenakan hebohnya antusiasme para penonton untuk menonton dan mendukung. Seperti antara Barcelona dan Chelsea. Mereka bukan klub se-kota. Namun antusiasme penonton yang didapat dalam laga tersebut membuktikan pertemuan dua klub tadi tidak remeh. Nah, psikologi tidak remeh ini membentuk ritus kepercayaan yang meyakini pertemuan kedua klub besar dunia tersebut sebagai derby.
Kemudian, definisi dari koreksi rahim sejarah kepribadian itu, hanya diri masing-masing manusia yang sanggup menjawab. Peristiwa skeptis pasti pernah kita lampaui. Peristiwa galau dengan pilihan pasti pernah kita langkahi. Kiranya shohih jika permusuhan itu berasal dari fitrah manusia.
Setiap manusia pasti mempunyai musuh. Dalam kefitrahannya, manusia selalu dihadapkan dengan sebuah pilihan. Ketika berhadapan dengan sebuah pilihan, seringkali manusia merasa lunglai dalam memberi jawaban. Bahkan kesulitan dan akhirnya batal memilih. Jika diruntut, sederhananya, batin yang menjadi aktor utamanya. Batin dalam diri kita dikonsep memiliki dua karakter. Pertama, karakter kebaikan (nafsu muthmainnah) dan kedua, karakter keburukan (nafsu lawwammah). Nikmat kedua karakter tersebut, secara proporsi harus kita beri tempat yang tepat. Artinya, karakter kebaikan berada di atas karakter keburukan. Yang namanya peci, mahkota, itu tempatnya di kepala. Bukan di tangan, di kaki, apalagi, maaf, di dubur. Jika itu berhasil, tidak sulit untuk membedakan mana kebaikan dan mana keburukan. Kita tak lagi ragu. Tak lagi skeptis. Dus, untuk menjadi manusia paripurna, kita harus menempatkan dan menguasai sepenuhnya karakter kebaikan kita. Sebelum karakter keburukan mengelabuhi dan mengontrol kita. Apa lacur, jika hal tersebut sudah terjadi, pupuslah perdamaian, kerukunan, gotong-royong, kepedulian, kesalehan sosial, yang ada dalam fitrah manusia (juga).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)