Sakralitas Khadam dan Korupsi

Ahmad Afrizal Qosim
            Anggota tubuh kita memiliki batas. Keterbatasan ini adalah bukti bahwa kita manusia, karena manusia merupakan tempat salah dan lupa.
            Selain itu, bukti lain yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lain adalah tentang adanya akal. Manusia dikatakan ada, karena memiliki akal. Eksistensi manusia, bersumber di akal. Bahkan bisa dikatakan akal menjadi pokok utama pembentuk kebudayaan. Berakar dari definisi budaya itu sendiri, yang merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia. Ketiga perkara tersebut difamiliarkan dengan sebutan “sistem gagasan”.
Adanya Ada yang Diada-adakan
            Sebuah sistem ada karena ada penciptanya, yakni manusia. Manusia ada karena ada penciptanya, yakni Tuhan. Sejatinya, semmua yang ada di bumi ini berhukum kausalitas. Ada karena diadakan.
            Begitu pula dengan peraturan-peraturan dalam masyarakat. Manusia sendirilah yang menciptakan. Dalam hal ini, manusia dalam dua posisi, sebagai subjek juga objek. Subjek sebagai pelaku dan pembuat peraturan, objek sebagai penikmat. Dengan melalui pengalaman-pengalaman selama hidup dan berinteraksi, manusia menyelami beberapa dimensi sehingga mampu membuat hukum tata tertib. Interaksi sendiri, terjadi antara individu dengan individu. Antara individu dengan kelompok. Antara kelompok dengan kelompok. Masing-masing linier dan berjalan pada jalurnya.
            Peraturan berdiri sebab ditegakkan oleh norma atau nilai yang berlaku di  masyarakat melalui beberapa proses interaksi tadi. Namun yang disayangkan adalah ketika peraturan yang berasal dari norma dan nilai—yang kasat mata—tadi, tidak disingkronkan dengan norma dan nilai yang tak kasat mata. Ibarat kentut, manusia yang terkena imbasnya, tidak pernah mempermasalahkan bentuk kentutnya, melainkan baunya. Bau yang dirasa sebegitu mengganggu sehingga tak jarang membuat gaduh. Nah, bau kentut itulah yang tidak menjadi perhitungan dari para subjek hukum tata tertib. Tamsil lain, di tempat kelahiran saya, di Desa Bungah, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur , Indonesia. Ada tradisi yang dilombakan. Tradisi tersebut entah sejak kapan ada dan bermula. Namun, kabar baiknya, tradisi tersebut masih dijalankan rutin setiap tahunnya. Pada bulan Agustus, tepatnya bulan kemerdekaan Indonesia. Tradisi yang dilombakan tadi adalah tradisi Tarik Tambang. Dimana dua regu yang masing-masing berjumlah lima orang saling beradu tangguh. Kekuatan tangan, kaki, dan strategi mereka diadu. Hanya berbatas garis lima belas meter panjangnya dan satu meter lebarnya. Beralat tali tambang bekas kapal pesiar, masing-masing regu memegang erat, kuat, bahkan ada yang sampai dililitkan di tubuhnya—biasanya yang berada di posisi belakang, sebagai center back yang tugasnya menjadi patok, menjadi penahan sekaligus penyeimbang beban. Terdapat tiga pengadil di lapangan. Satu wasit utama, dua hakim garis dan selebihnya ada pembantu wasit utama yang tugasnya menginjak tali bagian tengah sebelum peluit wasit berbunyi. Setelah peluit dibunyikan, mulailah pertandingan. Waba`du, pertandingan menjadi seru dengan teriakan penonton sebagai penyemangatnya.
            Terlepas dari faktor kekuatan kaki, tangan, strategi. Ternyata ada faktor X mendukung dan berjalan di luar lapangan. Faktor X itu adalah khadam (pelayan). Bukan pelayan biasa, tapi pelayan luar biasa. Sebab berasal dari dunia yang lain dari kita. Pelayan tersebut bekerja di luar nalar dan pandangan mata manusia biasa. Hanya manusia-manusia yang diistimewakan yang bisa melihatnya.
            Pelayan tersebut bisa berbentuk dengan hanya sebuah permintaan. Artinya, bisa berupa apa saja yang diinginkan. Terkadang berupa prajurit Majapahit, Prajurit Mataram, Prajurit Demak, bahkan Raden Fatah dan Joko Tingkirpun bisa saja didatangkan oleh seorang pawang. Pawang yang sakti mandraguna tentunya. Dengan mantra adacadabranya, semua yang diminta oleh pelanggannya akan dilayani dengan senang hati. Kemudian khadam yang diminta akan dipanggil, dengan sendirinya khadam akan membantu. Oleh sebab itu, kemenangan dengan mudah diraih.
Apakah hal tersebut termasuk kecurangan dalam bertanding?
            Pertanyaan itu yang selalu terngiang dibenak saya. Tidak mungkin panitia tidak mengetahuinya. Dan tidak mungkin pula panitia tidak mempertimbangkan hal tersebut untuk masuk dalam tata tertib pertandingan. Sakralitas sudah menjadi makananan manusia desa. Sakralitas sudah menjadi teman masyarakat desa. Sakralitas memiliki otoritas di atas ambang keyakinan masyarakat desa. Sehingga tidak berani mereka menentangnya. Alhasil, hal tersebut bukanlah kecurangan. Meskipun sudah benar-benar memiliki peran yang tidak remeh dalam pertandingan Tarik Tambang. Sebagai pembantu untuk menuju kemenangan.
            Demikian halnya dengan korupsi. Korupsi berjalan di balik pementasan. Sehingga dengan mudah orang menganggapnya tiada. Sebab tidak terlihat secara gamblang oleh mata. Apakah juga termasuk hal magis? Bisa jadi. Dengan korupsi, orang akan mendadak kaya raya. Dengan korupsi, orang mendadak beristri dua. Dengan korupsi, orang mendadak punya mobil kuda jingkrak. Dst, dsb. Begitulah kiranya strategi magis bergerak. Semacam eufisme, khadam dan korupsi berjalan untuk seolah-olah merupakan kejadian yang nature terjadi.
            Kesakralan itulah, yang menjadikan aparat penegak hukum tidak berani menggugatnya dengan tegas dan lantang. Sungguh sangat disayangkan, penempatan sakral yang saya kira kurang tepat berakibat pada musnahnya kebaikan. Karena kebathilan yang terstruktur akan mengalahkan kebaikan tanpa kendali.
            Demikian problematika bangsa kita. Bangsa dengan segala huru-hara. Mulai dari tidur di ruang sidang. Lihat situs ngawur ketika rapat. Selingkuhi bini orang sana-sini. Adakah yang lebih lucu dari negeri ini? parlemen diangkat rakyat diaulat untuk rakyat namun didakwa sebagai penjahat.
            Kembali ke pokok persoalan, tentang hukum di Indonesia. Penegakan hukum yang tebang pilih—meskipun sudah tebang pilih, ternyata salah juga—dan korupsi yang menjadi konsumsi birokrat. Perumusan hukum, hanya sebatas teori di atas kertas tanpa pertimbangan-pertimbangan `syari`at Indonesia`. Syari`at tentang hal magis yang hidup. Jadi, sakralitas perlu digaris-bawahi sebagai kecemasan masa depan. Apalagi sakralitas khadam dan uang yang disalah-gunakan, alias korupsi. Wallahu A`lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)