Sosiologi Bis Kota
Ketika perjalanan dari Yogya ke Gresik, perlu tiga kali oper bis
untuk sampai. Mulai dari bis antar provinsi, sampai bis antar desa. Sekiranya
tidak tiga kali oper, mungkin gak
bakalan sampai ke tempat tujuan. Selama tiga kali oper, butuh berkali-kali
untuk meyakinkan diri. Sebab perjalanan yang saya tempuh tidak sebentar, hampir
separuh hari. Belum nge-tem-nya sopir, belum menunggu penuh penumpang.
Dan belum-belum yang lainnya. Bisa dibayangkan, lelahnya boyok[1]
saya.
Begitulah sistem transportasi kita dilahirkan—entah siapa yang
membidani, yang jelas rute transportasi kita merupakan warisan dari bangsa
kolonial. Kolonial menerapkan sistem kerja pakasaan, Romusa. Pekerja dipaksa
kerja siang-malam untuk menyelesaikan proyek jalan Anyer-Panarukan, atau kita
mengenalnya jalan Deandles yang ditandai pohon asam di samping kanan dan
kirinya. Para pekerja seperti dikerangkai, istirahat makan dan minum dibatasi.
Tidur dan bernafas dibatasi. Bahkan mungkin buang air kecil dan besarpun
dibatasi. Tidak kaget, jika Romusa memakan banyak korban, orang sistem yang
dipakai seperti itu! Dan perlu kita
sadari, inilah era awal rute transportasi di Indonesia.
Transportasi benar
mempermudah akses peralihan manusia, dari satu desa ke desa lain. Dari satu kota ke kota lain. Dari
satu provinsi ke provinsi lain. Dari satu pulau ke pulau lain. Dari satu Negara
ke Negara lain. Dan begitu seterusnya. Namun, transportasi seperti yang telah
saya rasakan dan mungkin juga anda-anda telah rasakan sungguh sangat menyulitkan.
Menyusahkan masyarakat Indonesia.
Kok bisa seperti itu?! Bagaimana hal seperti itu terjadi?
Di Indonesia, tempat kita dilahirkan. Ketika awal kita menginjakkan
kaki di bumi, kita disuguhi acara selametan, disuguhi ambengan[2],
disuguhi ritual pencak silat, disuguhi jaranan, dan semua yang berhubungan
dengan tradisi leluhur bangsa kita. Sehingga nuansa mistis kebanyakan masih
melekat dibenak rutinitas kehidupan kita di alam ini.
Konsep Karma
Seperti kita ketahui, ihwal sejarah awal rute transportasi, yang
bermula dari kerja paksaan yang tentunya melelahkan. Ketika kondisi lelah tidak
baik jika dipaksakan untuk terus bekerja. Bukan hanya kurang sempurnanya hasil,
tapi bagi kesehatan pekerja sendiri sangatlah riskan dan rentan terkena
penyakit. Bukan hanya problem psikologis, problem medis juga. Artinya, iradah
manusia ada batasnya. Kemampuan manusia itu dibatasi oleh manusianya sendiri.
Nah, pembatas dari kemampuan itu berasal dari alam kita. Alam yang membentuk
kita. Gen yang membentuk kita. Do’a yang membentuk kita. Dan bu bidan yang
membantu proses kelahiran kita. Hehe.
Masih mengikat iradah manusia dan lepas dari campur tangan
atau qudrah Tuhan, banyak kecelakaan transportasi yang menimpa para
pengguna jalan pantura—di jawa. Dengan begitu, pengalaman ide kita akan
melayang jauh dalam batas terjauh, yakni masa-masa pembuatan jalan. Dimana
proses pembuatan awal jalan, telah menelan banyak korban. Pengalaman ide seperti
itu, yakni ketika mengimplikasikan kecelakaan transportasi dengan pembuatan rute
transportasi, perlahan akan berubah menjadi konsep karma.
Karma merupakan warisan leluhur manusia. Terutama bangsa timur juga
bangsa primitive.
Secara geografis, kita merupakan bangsa timur. Masyarakat belahan
timur, yang mengagungkan leluhur. Yang mistis. Yang masih berpegang pada dunia
magis. Bolehlah kalau saya berbicara karma. Karena karma itu masih ada.
Keberadaannya menjadi hantu kehidupan kita. Selalu terbayang-bayang, namun tak
jelas penampakannya. Tapi, leluhur dengan tegas memegangnya. Psikologi
ketegasan inilah yang sampai dan relevan. Sehingga kita pakai dengan tak masuk
akal dan tanpa berpikir panjang. Demikian hal tersebut terjadi berulang-ulang
tanpa kita sanggup untuk menyadarinya.
Karma terhadap gejolak penindasan pribumi di masa lalu, masih
relevan kita bicarakan terhadap sistem transportasi kita sekarang. Semoga kita
masih dalam lindunganNya.
Kembali ke pembahasan awal tentang Bis Kota. Bis kota yang saya tumpangi sudah
keluar dari terminal Purabaya di Surabaya. Bis tersebut menempuh perjalanan ke
terminal selanjutnya, yakni terminal Tambak Osowilangun di daerah daerah
Benowo, perbatasan Surabaya dengan Gresik.
Bis berjalan perlahan sambil menunggu penumpang, menyusuri
hiruk-pikuk kota Surabaya yang metropolitan. Bis berhenti di setiap halte
pemberhentian. Sesekali bis berhenti mendadak, sontak penumpang kaget
kelayapan. Karena jam menunjukkan masih fajar. Dan fajar adalah waktu berangkat
paling tepat bagi para pekerja, bis menjadi penuh tanpa terduga. Banyak pegawai
kantoran yang menaikinya. Saya hanya diam, sebab lelah menempuh beberapa jam
perjalanan sebelumnya. Selain pegawai
kantoran, terlihat ada pegawai serabutan.
Pegawai kantor tak berseragam. Orangnya tua, memakai topi TNI dan
menyangking tas berisi perkakas dinas. Kebetulan orang itu duduk di kursi depan
saya. Sehingga diam-diam saya memperhatikannya. Orang tua itu hanya melongoh
tanpa suara ketika melihat di kanan dan kirinya banyak bangunan pencakar
langit, entah itu yang sudah dibangun
atau masih dalam proses pembangunan. Orang itu masih saja asyik melihatnya.
Dengan wajah penuh sumringah namun mungkin tersiksa di batinnya. “kiranya
Negara ini sudah maju, tapi kenapa saya masih memikul linggis dan palu?”. Itu
di kanan-kiri luar bis yang ditumpanginya.
Lain lagi dengan kanan-kiri di dalam bisnya. Begitu banyak
penumpang. Sesak. Gerah. Bahkan sayapun kesulitan untuk bernapas. Asap knalpot,
deru mesin, dan penumpang nakal yang merokok di kabin belakang. Itu saya, lalu
bagaimana dengan penumpang yang sudah berumur tidak lagi mudah? Sungguh sulit
dibayangkan betapa sakitnya.
Penumpang hanya ingin dia cepat sampai di tempat tujuannya.
Penumpang tidak lagi memperhatikan manusia di sekitarnya. Semua diam. Sunyi.
Perasaan mereka dibumbui rasa kewaspadaan. Rasa curiga terhadap penumpang satu
dengan penumpang yang lainnya. Sehingga manusia terdiaspora dari eksistensinya,
yang butuh untuk berinteraksi.
Penumpang dengan teratur silih-berganti. Entah samping saya ini
sudah berapa kali ganti. Sambil memegang erat tas, saya kembali menatap orang
tua tadi. Masih melihat ke luar dengan raut wajah bahagia. Tak lama pengamen
datang, seorang ibu beserta dua anak laki-lakinya. Satu masih digendong,
satunya lagi membantu ibunya bernyanyi. Satu lagu selesai. Pengamen memberi
salam. “Terimakasih Bapak, Ibu, dan saudara-saudara sekalian. Terimakasih atas
partisipasinya membantu kesejahteraan `juragan kami`. Selamat melanjutkan
perjalanan. Semoga sampai di tujuan dengan selamat. ”
Tanpa diduga, bis yang sebelumnya sunyi. Diam. Mendadak ramai oleh
kekompakan para penumpang yang berteriak, “Ha?, Juragan??!!!”
Komentar
Posting Komentar