Menjadi Mahasiswa : Refleksi Idealitas, Budaya Pop, dan Buah Intelektual Organik

A.    Afrizal Qosim Sholeh*
            Semarak ‘reformasi’ tampak tak bergeming sama sekali di Indonesia dewasa ini. Peran sebagai ‘penyambung lidah masyarakat’ mungkin tak lagi disandang mahasiswa. Seolah dikurung dalam jeruji besi, semangat mereka hilang dan tak jelas juntrungnya.
            Keresahan yang dihadapai mahasiswa saat ini ditandai dengan bujuk rayu budaya populer (popular culture), yang mulai menggerogoti pikiran mereka. Perlahan-lahan potensi ideal mahasiswa—berfikir kritis terhadap realitas politik sosio-kultural—terhegemoni oleh budaya pop. Dengan mudah, teknologi dan informasi menghegemoni mereka, seperti; Televisi, Bioskop,  Game Online, Gadget, Mode Pakaian, , yang keseluruhannya berafisiliasi pada kapitalisme. Dalam perkembangan kapitalisme yang advanced sekarang ini, Jean Baudlliard, mellihat bahwa penggunaan ruang begitu didominasi oleh proses konsumerisme, sirkuit informasi (media massa, iklan) dan ekstase komunikasi.[1]
            Faktanya, mahasiswa lebih senang bereksistensi dengan dunia maya, hipermarket, supermarket, daripada berdiskusi dan mengasah intelegensi sosial, atau halaqah ilmiah. Mereka cenderung lebih senang berkalkulasi untuk membeli pakaian, gadget terbaru, dan paket data internet daripada berkalkulasi untuk membeli buku  yang menyokong eksintensi mereka sebagai calon intelektual, cendekiawan, dan ilmuwan. Ketika mendapati waktu senggang, mereka lebih memilih berekreasi berjam-jam dengan gadget daripada berjam-jam dengan  buku kuliah maupun ilmu pengetahuan lainnya.
            Tipikal kehidupan seperti itu menggumpal dan menjadi habitus, sudah mengakar. Menjadi kebiasaan buruk (bad habit) –karena bertentangan dengan norma-nilai sosial yang berlaku—yang mudah untuk dilakukan dan sulit untuk dihilangkan.
            Fenomena kegilaan  dalam modernitas ini, oleh mahasiswa, bukan lagi barang asing. Ia bersenyawa dan mengilhami kompleksitas kehidupan manusia. Interaksi sosial  yang bermakna ketika ber-muwajjahah, sudah dilupakan, digantikan dengan kecanggihan  teknologi virtual  termodern, seperti; Blackberry Massanger, Whatssap, Line, Facebook, Skype, Video Call, Instagram, Path, dan masih banyak yang lainnya. Sehingga cukup bertatap-muka dengan layar untuk efektifitas silaturrahmi.
            Benar efektif, namun akan berakibat pada degaradasi kognisi mahasiswa dalam memahami rasa seseorang ketika berinteraksi sosial. Sebagai konstruksi dari harmoni sosial, kognisi sangat diperlukan untuk membangun sistem gagasan. Keberadaan kognisi yang sehat akan lebih membantu  proses konstruksi harmoni sosial lingkungannya.
            Namun, yang dirasa saat ini, manusia sebagai makhluk sosial sukar untuk menolong orang yang kesulitan, kurang tanggap dalam even kemasyarakatan, membuat mereka apatis dan teralienasi dari kebudayaan lingkungannya. Demikian  teknologi memainkan peran ke-iblisannya.
            Problematika tersebut menunjukkan adanya  pergeseran gaya hidup. Dalam hal ini, yang dikedepankan adalah eksploitasi citra, kesenangan temporal, dan ilusi-ilusi prestise bukan nilai guna (use value). Bagi Baudlliard, penciptaan dunia kebudayaan dewasa ini mengikuti satu model produksi yang disebut ‘simulasi’—“penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas”—hiperealitas.[2] Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan David Harris dalam bukunya From Class Struggle to the Politics of Pleasure: The Effects of Gramscianism on Cultural Studies (1992), bahwa kaum muda adalah korban dari industri kebudayaan yang konsumeristik.
Idealitas, Gerakan dan Konsumerisme
            Sikap konsumerisme yang mulai didendangkan oleh mahasiswa, mengindikasikan degradasi refleksi kritis dari posisinya sebagai agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (agent of social control). Kehidupan serasa banal dan  tak berarti di setiap tindak-tanduknya. Sedemikian banal, sampai dengan mudah mencopot ideologi mereka sebagai mahasiswa secara personalitas.
            Banalitas yang begitu fatal menjadi rapor merah bagi mahasiswa. Identitas mereka mengambang. Seperti onggokan kayu yang hanyut dalam derasnya aliran sungai. Kecuali dalam psiko-sosial, mahasiswa tergolong dalam formative period (tahap pertumbuhan dan perkembangan)—menjadikan mereka labil. Tugas untuk mencari jati diri, disisihkan melalui jalan hedonis, kosmopolit yang menjadi lingkungannya. Sebab menurut Karl Marx, kondisi kesadaran manusia ditentukan dengan lokalitas di mana manusia itu hidup.[3] Fakta lapangan mengatakan, globalisasi terus berjalan tiada henti, tapi mindseat manusianya tetap stagnan, kolot, sama sekali tidak ada perkembangan. Adiluhung globalisasi kemudian dirasa banyak mudhorot-nya daripada manfaatnya. Alhasil, anggapan nihilis dan fatalis yang akan dienyam terhadap kemajuan zaman.
            Proses stagnasi peran sosial mahasiswa oleh hegemoni budaya pop sangat disayangkan. Sebagai upaya menjaga stabilitas politik sebuah negara, mahasiswa menjadi aksentualisasi utama dari beberapa gagasan ‘teologi pembebasan’. Gagasan tersebut kemudian ditransformasikan sebagai advokasi terhadap hak-hak wong cilik, bahwa depolitisasi, penindasan, dan pelanggaran HAM, arogansi penguasa menggerus sisi kemanusiaan. Serta menjadi representasi dari ide pokok pancasila yang menekankan aspek tanggap sosial atau gotong-royong. Demikian penekanan indeks gerakan mahasiswa dan tanggung jawab sosialnya. 
            Hal ini yang membuat gelisah penyair Taufik Isma’il. Sehingga dalam salah satu puisinya yang berjudul “Takut 66, Takut 98” dengan gamblang diutarakan:,
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
            Lain lagi dengan Takashi Shiraisi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926  ia berpendapat, bahwa posisi mahasiswa Indonesia di tahun 1912-1926 terjadi dialektika dan gerakan besar-besaran dalam menentang koloniaslisme. Pada saat itu mulai muncul kesadaran baru akan cita-cita dan orientasi perjuangan. Isu-isu tentang nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi adalah gagasan yang sering dikemukakan oleh kalangan pergerakan menggeser pemikiran tradisional yang feodal dan mistik.[4]
Itulah peristiwa yang oleh Shiraisi disebut “Zaman Bergerak”. Zaman di mana gerakan mahasiswa berjangkar pada kepentingan populis bukan sektoral. Tokoh-tokoh bangsa lahir dari pergumulan etis dan dialektis pada zaman tersebut, sebut saja: Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, Soekiman, SK Trimurti, Suroso, Suprapto, Hindromartono, Muhammad Jusuf, dan masih banyak yang lainnya.
            Meskipun konteks antara tahun 1910-an berbeda dengan konteks yang dihadapi oleh mahasiswa saat ini, setidaknya implementasi-interpretasi sejarah terhadap “zaman bergerak” perlu untuk diperhatikan jalan baiknya. Sehingga tidak ada kata “terhegemoni”—oleh apapun hal yang berada di luar idealitas mahasiswa—dalam kamus besar mereka.
            Seolah-olah mahasiswa mengamini diktum Jean Boudrillard, The Silent Majorities, mayoritas yang diam. Yang stagnan. Segerombolan yang bergumul dalam ketidak-pastian personal. Sehingga untuk bersatu (united) akan menuai benih kegagalan. Mereka hanya akan dianggap angin lewat,--dalam peran sosial mereka—yang mudah untuk tidak diperhatikan. Maka, penulis beranggapan, bahwasannya ‘menjadi mahasiswa’ fardu untuk direnungkan kembali secara konkret dan komprehensif.
            Dengan mengembalihkan ruh pergerakan, di zaman yang menurut Takashi Shiraishi disebut sebagai “zaman bergerak”, dirasa mudah bagi pergerakan mahasiswa untuk kembali mengepakkan sayapnya.
Intelektual Organik: Idealitas Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial
Menurut pandangan Ferdinand Tonnies (1887)  dalam magnum opus-nya Gemeinschaft und Gesellschaft, mahasiswa dikategorikan sebagai gemeinschaft of mind, yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama, misalnya individu yang tergabung dalam satu Negara, partai politik, atau satu keyakinan (agama).[5]  Pandangan demikian mengasosiasikan mahasiswa dalam peran ideologisnya. Memanfaatkan homogenitas paguyubannya dan kohesi kelompok, mahasiswa dalam perjalanannya tidak boleh lepas dari nilai eksistensial awal yang digenggamannya, dengan berasas pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang gholab dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi.
            Seringkali penyamaan ideologi dalam lingkungannya membuat seseorang mudah untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Terlepas dari sikap defensif dari  beberapa mahasiswa yang, sulit untuk berbaur dalam sebuah komunitas, mereka perlu kembali menjiwai perannya sebagai mahasiswa. Sebagai manusia. Sebagai makhluk sosial. Sehingga banalitas, stagnasi pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi tidak terdengar lagi bunyinya.
            Selain itu, pandangan kelompok pemikir Neo-Marxis dari awal abad ke-20 yang menganggap bahwa; tujuan pendidikan tidak lagi menghasilkan pemikir yang bermanfaat bagi kehidupan praktis. Para sarjana menjadi sibuk di “menara gading” institusi dan lebih banyak berkutat dengan teori-teori yang tidak punya kaitan langsung dengan dunia riil. Antonio Gramsci, seorang pemikir Neo-Marxis, menyebut orang-orang semacam itu sebagai intelektual tradisional. Di sisi lain, ia mendorong para intelektual untuk turun dari “menara gading” dan terjun ke masyarakat untuk memberi pencerahan serta membebaskan masyarakat dari keterkungkungan pikiran yang bersifat represif dan dogmatis. Gramsci mengistilahkan intelektual semacam itu dengan sebutan intelektual organik.
            Intelektual tradisional menjadi hasil dari pendidikan hanya berkutat dengan urusan akademis dengan menghiraukan kehidupan yang begitu riil dan kompleks. Tidak tumbuh se-bijipun rasa interaksi dan kepedulian masyarakat dalam benaknya. Sedangkan intelektual organik, adalah mereka para pemikir yang hidup di dua dunia sekaligus dalam satu tempo. Mereka mempelajari teori-teori dalam ruang kelas kuliah dan diskusi. Kemudian melepasnya ketika berada di lingkungan riil masyarakat (ekstrenalisasi). Mereka kembali menjadi mahasiswa yang manusiawi yang, terbesit rasa kepedulian sosial di hati mereka, identitas mahasiswa dalam tanggung jawab sosialnya kembali menemui jalan terbaiknya.
            Oleh sebab itu, kesadaran peran mahasiswa dalam kompleksitas problematika yang dihadapinya, fardu untuk disikapi dengan kebijakan yang tidak menyalahi norma-nilai pranata sosial lingkungannya. Ketika sudah terbentuk tipikal lingkungan ideal mahasiswa, maka tidak sulit untuk menjadi seorang intelektual organik, seorang intelektual yang ‘melek’ pada dua dunia. Dunia akademisi serta dunia riil kemasyarakatan. Wallahu A’lam  

Krapyak, 11 September 2015
*Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
*Essay ini masuk nominasi dalam perlombaan essay nasional LPM Obsesi di IAIN Purwokerto 2015 dan menjadi juara 1







End note:
[1] Jean, Baudlliard, The Ecstasy of Communication  (New York: Semiotext(e), 1987), hlm. 82.
[2] Jean, Baudlliard, Simulations (New York: Semiotext(e), 1993), hlm. 2.
[3] Peter, L Berger, Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas  Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.terj. (Jakarta: LP3ES, 2013), hlm. 7
[4] Takashi, Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,(Jakarta: Grafiti, 2005), hlm. 65-94
[5] Peter, Burke, Sejarah dan Teori Sosial. Terj. (Jakarta: YPOI, 2011), hlm. 14.

Daftar Pustaka

Baudlliard, Jean, (1987), The Ecstasy of Communication  (New York: Semiotext(e)).
Baudlliard, Jean, (1993), Simulations (New York: Semiotext(e)).
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, (2013), Tafsir Sosial Atas  Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.terj. (Jakarta: LP3ES).
Burke, Peter, (2011), Sejarah dan Teori Sosial. Terj. (Jakarta: YPOI).
Shiraishi, Takashi, (2005),  Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,(Jakarta: Grafiti).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)