Gotong Royong, Asas penting masyarakat Indonesia



Kebudayaan Masyarakat Desa Abar-Abir: Refleksi Haul Mbah Cloreng
Hari ini, saya belajar tentang bagaimana menghargai orang dengan cara kita sendiri., seadanya dan sebisanya. Tentunya juga dengan apa adanya.
Perihal itu saya dapat dan pelajari dari  kehidupan masyarakat desa Abar-Abir, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Pada sore ini, tanggal 28 januari 2015. Bertepatan dengan acara haul sesepuh desa, Mbah Celoreng. Acara haul tersebut sangat mempengaruhi kondisi masyarakat desa. Jadi kondisi masyarakat dari rumah ke rumah mendadak ramai dipenuhi tamu dari sanak saudara yang datang entah dari mana. Yang biasanya rumahnya sepi, sekarang mendadak ramai. Dan  yang biasanya rumahnya ramai, sekarang dibikin tambah ramai dengan datangnya sanak saudara dari desa tetangga, bahkan mungkin dari kota.
Begitulah dinamika kehidupan masyarakat desa. Masyarakat tradisional. Yang sangat erat memegang dan melestarikan kebudayaan leluhurnya. Acara haul dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Juga menjadi sebuah simbol. Simbol untuk mempererat hubungan bathin antara masyarakat dengan sesepuh desa yang sudah meninggal. Dalam hal ini, simbol-simbol penghormatan kepada arwah para leluhur tidak hanya dalam wujud berkunjung bersama ke makam untuk mendoakan arwah para leluhur, juga tak lupa, sedikit sesajen yang diletakkan dekat makam para leluhur desa. Memang lumrah kedua tradisi tersebut. Namun, yang membuat berbeda adalah acara pagelaran pencak silat tradisional. Dengan panggung bersisi empat, disetiap pojoknya diberi janur—daun kelapa yang masih muda—sebagi penghalang mantra adigung yang terucap dari sang pawang, maupun juga juru kunci desa yang, tak lain dan tak bukan, sebagai penghalang, kepada sosok halus yang menjelma dan merasuk dalam badan sang eksekutor, pemain silat. Pemain silat sendiri bukan sosok yang bisa dengan mudah diremehkan. Pemain silat biasanya mendapat ilmu turun-temurun dari nenek moyang mereka masing-masing. Juga hasil kerja keras tanpa kenal menyerah untuk mendapatkan ilmu silat dari sang empunya—leluhur desa atau pendiri persatuan pencak silat itu sendiri—yang biasanya juga, dengan rela dan dibarengi tekad yang kuat mereka mampu “bertirakat” tidak makan, tidak minum,  tidak tidur dan berbagai tidak-tidak yang lain. Dengan jangka variasi waktu, ada yang tiga hari, satu minggu, satu bulan, bahkan sampai satu tahun juga ada. Perbuatan tersebut, bukan semata-mata mencari nama di masyarakat, namun, juga sebagai upaya melestarikan sisa-sisa budaya leluhur desa mereka, juga leluhur kita.
Selain dalam hal kebudayaan, di desa tersebut, saya memahami banyak tentang kesederhanaan. Hidup seadanya dan menerima dan memberi penghargaan kepada tamu pun semampunya. Namun, sikap dewasa dan ramah tamah masih terlihat, meskipun keadaan sepenuhnya belum mencukupi kadar kegembiraannya. Jika diklasifikasikan, memang kebanyakan dari mereka—penduduk desa abar-abir—masih pada kelas menengah kebawah, dan sisanya menengah keatas. Itupun dalam jumlah yang sangat minim.
Namun, kebahagiaan memang tidak diukur dari seberapa besar harta kekayaan anda, melainkan seberapa bisa anda membuat hal yang ada menjadi hal yang membahagiakan. Ini tentang cara dan proses. Butuh kesabaran dan rasa solidaritas tinggi untuk sampai kesana. Dan itulah hal yang saya lihat dan rasakan ketika berada dalam kultur kekeluargaan di desa abar-abir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)