Melantunkan Al-Qur’an dengan Langgam Jawa
Ahmad Afrizal Qosim*
Peringatan
Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada 16 Mei 2015 terbilang sangat meriah. Meriah
dari dalam serta dari luar. Sebab ada yang sedikit berbeda dalam acara
tersebut. Perbedaan itu terlihat dari pembacaan ayat suci Al-Qur’an (Qiro’ah)
yang oleh Qori’ Yaser Arafat, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dilantunkan
dengan menggunakan langgam Jawa. Terbilang unik. Pasalnya, telinga kita ketika
mendengarkan seorang melantunkan ayat suci Al-Qur’an, kebanyakan membawa lagu
atau rumus (tausyih) dari Iran yang terdiri dari tujuh macam rumus
dasar, ada seperti ras, nahawand, sika, jiharka, hijaz, shobah, dan bayati
yang kesemuanya berhaluan pada gaya bahasa Arabia. Dalam kebudayaan Jawa
sendiri, langgam Jawa biasa dipakai untuk seorang dalang atau sinden,
kemudian kita memakainya untuk membaca Al-Qur`an, sontak ada rasa sedikit
aneh dalam benak kita. Demikian yang membuat telinga orang Indonesia kaget
bukan kepalang. Sehingga muncul pihak yang menyatakan Pro juga ada yang
menyatakan tidak sepakat.
Kelompok yang
menyatakan sepakat atau yang meng-halal-kan berpendapat, bahwasannya
menggunakan langgam Jawa dalam membaca Al-Qur’an itu boleh, dengan syarat
memperhatikan penggunaan kaidah Tajwid (kaidah untuk membaca Al-Qur’an)
dan Makhrorijul Huruf (tempat keluarnya huruf) itu sesuai dan tidak
menyalahi, maka tidak ada yang salah dalam bacaan tersebut. Dan ketika
seseorang melantunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab, ketika yang membacanya
mengerti atau tidak, tepat atau tidak hakikatnya, maknanya telah sampai kepadah
Allah Swt.
Sedangkan
pihak yang kontra, berpendapat bahwa qiro’ah dengan langgam jawa terkesan
dibuat-buat, dipermainkan, dan tidak sejalan dengan riwayah yang dinisbahkan
kepada Nabi Saw. yang berbunyi “bacalah Al-Qur’an dengan lagu dan suara
orang Arab. Jauhilah lagu atau irama ahli kitab dan orang-orang yang fasiq.
Nanti akan datang orang-orang yang membacanya dengan mengulang-ulangnya seperti
pengulangan para penyanyi dan para pendeta atau seperti tangisan orang yang
dibayar untuk menangisi seorang yang meninggal dunia”. Kemunculan Hadits
tersebut sebagai landasan pihak yang kontraa, dikomentari oleh Quraish Shihab,
pakar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Dalam website resminya beliau menyatakan
“kalaupun Hadits tersebut dinilai shahih, maka itu bukan berarti bahwa langgam
selain langgam Arab beliau larang. Bukankah beliau menganjurkan untuk membaca
dengan baik dan indah, apalagi sementara para pakar hadits menilai riwayat yang
diriwayatkan oleh an-Nasa`iy, al-Baihaqy dan ath-Thabrani di atas lemah karena
dalam rangkaian perawinya terdapat Baqiyah bin al-Walid yang dikenal lemah
dalam riwayat-riwayatnya”.
Dalam hal ini, penulis
beranggapan, bahwasannya setiap daerah di belahan dunia pasti memiliki
lahn (gaya bahasa) yang berbeda-beda, langgam yang berbeda-beda. Seperti
halnya dalam Qiro’ah Sab’ah yang lahir dari perbedaan gaya bahasa di
Jazirah Arab. demikian lahir dari perbedaan yang menyatukan. Perbedaan bukan
akar dari sebuah permasalahan, perbedaan merupakan sebuah rahmah, sebuah kasih
sayang Allah kepada makhlukNya. Oleh sebab itu, perbedaan yang sifatnya sunnatullah,
sudah menjadi hukum alam itu yang harus kita terima dan kemudian kita jaga
bersama--apalagi jika hanya sebab perbedaan dalam melagukan al-Qur`an. Demi
keutuhan dalam beragama serta membangung khazanah ke-Islaman yang baik,
lebih-lebih untuk melestarikan khazanah Islam Nusantara.
*Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar