Pers dan Pendewasaan Demokrasi
Menarik untuk dikaji lebih dalam, pidato yang disampaikan oleh
Presiden Jokowi dalam acaraSilaturrahmi Hari Pers Nasional yang disiarkan
langsung oleh Televisi Republik Indonesia(TVRI), senin, 27 april 2015.
Dalam kesempatan tersebut, di awal sambutannya Presiden Jokowi
menyebut kalimat “Beruntung kita hidup di sebuah era kemerdekaan pers”.
Kemudian dilanjut dengan pembicaraan ringan tentang kesibukannya dalam
menjalankan tugas sebagai Presiden.
Asas Kemerdekaan
Pers
Sejarah mencatat, dalamkurun tahun 1968-1998, yakni era orde baru,
pers menjadi kaku sebab dibekukan oleh pemerintah. Peran pers dibatasi oleh
konstitusi yang dibangun di era tersebut. Era orde baru cenderung menganut
otoritarianisme dalam sistem pemerintahannya, dimana pada saat itu kebebasan
pers dan kebebasan berekspresi dibatasi oleh undang-undang dan peraturan
pemerintah dibawah kendali orde baru, sehingga media massa tunduk di bawah
kekuasaan pemerintah.
Para penulis, jurnalis, novelis, seperti sebut saja Pramodya Ananta
Toer sempat ditahan dalam era tersebut. Di mana pada saat itu, Pram mencoba
mengungkapkan kegeraman dan kegelisahannya kepada pemerintah dalam bentuk
Novel. Seperti“Trilogi Buruh” yang mencoba mengungkapkan fakta mengenai pribumi
yang ditindas oleh kompeni. Kompeni yang bersembunyi di belakang pemerintah.
Karya itu yang membuat Pram ditahan oleh rezim orde baru. Dan sejak reformasi
didendangkan pada 1998, sekarang pers sudah dalam keadaan bebas (freedom).
Kebebasan pers atau kemerdekaan pers (freedom of the press)
dalam laman Wikipedia diartikan sebagai, hak yang diberikan oleh konstitusional
atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang
dipublikasikan, seperti menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar,
majalah, buku, atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau
perlakuan sensor dari pemerintah. Selain itu, kebebasan pers juga menjadi upaya
untukmempererat hubungan antara pemerintah dengan pers. Mempererat hubungan disini
bukan berarti bahwa dulu hubungan diantara keduanya tidak baik, melainkan sebagai
progres dari kedua belah pihakuntuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
demokratis di dunia. Oleh sebab itu, kebebasan pers semestinya dilindungi oleh
konstitusiseperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin
kebebasan setiap individu (termasuk pers) dalam menyampaikan pendapat.
Kontrol
Demokrasi dan Peran Edukatif
Pers sebagai kontrol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
merupakan sebuah bentuk refleksi atau dampak yang dihasilkan dari berbagai
tulisan berita yang tercakup di dalamnya opini danfakta, maupun tulisan ringan
lainnya yang dimuat di media cetak maupun elektronik, yang lebih banyak
mengandung kritik terhadap pemerintah. Melalui pidato Presiden Jokowi,
pemerintah berusah bersikap terbuka (transparacy) terhadap kritik maupun
saran dari masyarakat. Sikap terbuka ini memberikan sinyal tentang prospek
kedepan pemerintah sekarang. Prospek untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
yang berdaulat penuh terhadap rakyat dan rakyat yang berdaulat terhadap
pemerintah.Demikian yang dimaksud keterbukaan (openness) dalam ranah
publik.
Alangkah indahnya, jika hidup tanpa kritikan, dan semua serba-serbi
pujian. Namun ingat, keindahan itu bertahan hanya sementara dan hanya akan
menjadikan kita lengah, bahkan sampai terpuruk. Namun, jika kritik itu ada,
maka kehidupan akan terasalebih berwarna. Sebab, selain ada pihak yang
mengontrol atau memperhatikan kita—sehingga sampai salah sedikitpun, kita
diingatkan dengan sebuah kritik—dan kritik itulah yang memberikan nilai konstruktif
dalam kehidupan. Adanya kritik bukan untuk membunuh keberanian, melainkan untuk
membangun keberanian. Kritik juga menjadi motivator dalam memperbaiki diri.
Nilai konstrukif dalam sebuah kritikan bisa dijadikan asas dalam
proses pembangunan negara oleh media, baik dalam hal ekonomi, politik,
sosial-budaya, hukum, dan masih banyak lagi. Selain peran media dalam hal
pembangunan Negara dan dalam hal yang sifatnya material, peran media juga
dibutuhkan dalam pembangunan karakter bangsa (nation builders). Terutama
yang terkonsen dalam masalah pendidikan. Dalam hal ini, presiden Jokowi dalam
pidatonya menyampaikan “Dan kita harapkan media akan menjadi sandaran
pengetahuan, sandaran toleransi, sandaran kebersamaan kita, dan sekaligus mempunyai
peran edukatif, peran yang mendidik masyarakat”. Peran edukatif ini sangat
penting, sebab ketika pendidikan sudah berada di dalam jiwa masyarakat dan ilmu
yang didapat sudah menjiwa, maka keluasan hati yang akan diperoleh. Keluasan
hati ini diperlukan sebagai bekal menjalani kehidupan di Indonesia. Karena Negara
kita Negarademokrasi yang berbasis Pancasila,yang menjunjung tinggi asas
menghormati terhadap sesama, asas gotong royong, dan saling menghargai dalam
hal beragama.
Demokrasimengajari kita tentang nilai-nilai toleransi, pluralisme
sosial, kerja sama dan mufakat. Rencana besarnya, demokrasi mengajari kita
untuk memahami asas-asas kemanusiaan. Sehingga jika hal tersebut ditetankan oleh
media dalam memberikan informasi (to inform)dalam bentuk berita, opini,
dan lain sebagainyademokrasi akan berjalan dengan baik seiring dengan
pendewasaan dan cara berpikir para penganutnya. Dengan adanya pers—yang oleh
Mahfud MD pernah mengutarakan, bahwa pilar demokrasi yang tersisa saat ini
hanyalah pers— sebagai roda yang terus berputar dalamkehidupan berbangsa dan
bernegara, maka pendayagunaan media sebagai pelaku utama dalam peran edukatif,
menjadi sebuah hal yang sangat baik. Pendidikan apapun, terutama political
education demi pendewasaan demokrasi di Indonesia.
Dengan demikian, media akan menjadi cahaya moralitas bangsa serta
menjadi penyokong pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia.
*Peneliti Sosial dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar