Menjadikan Kartini Sebagai Prototipe Wanita Indonesia

Ahmad AfrizalQosim*
Kebesaran dan kuasa zaman, tidak bisa kita hindari. Berbagai macam perubahan, dari yang terlihat baik maupun yang buruk, masuk dalam kehidupan kita. Memburamkan penglihatan nurani kita. Begitulah globalisasi, zaman dimana segalanya mudah dalam jangkauan, dan zaman tersebut memaksa kita untuk mengikutinya. Secara tidak langsung, kehidupan baru ini terus-menerus menggerus kepribadian, dan kedirian kita. Dalam hal perubahan ini, kita teringat seorang wanita. Seorang Ibu. Yang menjadi mesin pendobrak kehidupan global yang ‘tidak’ Indonesia. Beliau bukan menentang pembaruan, tapidengancermat mencoba memilah pembaruan. Beliau R.A. Kartini.
R.A Kartini bukanlah penampilan seorang ratu atau princess, meskipun beliau memiliki darah bangsawan feodal. Bukan profil seorang Cleopatra yang haus akan sanjungan dan kemasyhuran nama. Kartini tidak mempunyai seorang Caesar atau Antonius yang mempragakan keindahan tubuhnya untuk merusak tatanan politik dengan maksud meligitimasi kekuasaan sang penguasa. Melainkan pengabdian yang dirintis olehnya yang menjadi bahan peledak lahirnya Nasionalisme Indonesia.
Kartini hanya seorang pemeluk agama Islam yang mencari gelora hati dan merindukan cinta kepada Tuhan tetapi tidak mengerti makna Al-Qur’an, karena beliau tidak pandai bahasa Arab.Lazimnya pada zaman dahulu, peran wanita sangat dibatasi. Untuk keluar rumah susah, apalagi keluar dari kampung halaman. Juga belum ada Al-Qur’an terjemahan yang terbit. Namun, gelora dan cita-citanya menjadi kayubakar yang menyala dengan bara api yang luar biasa. Semangat untuk membumihanguskan kebodohan yang dialami oleh bangsa Indonesia serta memerangi ketidaksanggupan atau ketidakpercayaan kepada kemampuan diri. Kepada kompetensi diri sendiri. Dengan mengenali sedikit kelebihan dan keistimewaannya, kemudian kita cocokkan dengan karya dan kepribadian beliau dalam bentuk biografi, kita bisa menyimpulkan bahwa Kartini mempunyai profil Ibu Indonesia.
Nama Kartini tidak hanya masyhur pada golongannya saja. Golongan sesama wanita se-tanah air. Tetapi juga golongan pria terutama kalangan pemimpin. Bahwa, mutlak kebangkitan wanita adalah mendampingi kebangkitan pria dalam kesatuan Negara Indonesia. Hak dan kewajiban bukan lagi menjadi masalah bagi kaum pria maupun wanita. Yang  menjadi masalah adalah bagaimana hak dan kewajiban itu dijalankan sebagaimana mestinya, dan bahwa tidak ada hak tanpa memenuhi kewajiban dan tidak ada kewajiban yang tidak dibayar dengan hak sebagai imbalan.
Keharuman nama Kartini juga tidak hanya tercium oleh bangsanya. Keharuman dan kehebatannya menembus jauh dari jangkauannya di kalangan bangsa Asia dan Eropa melalui surat-suratnya yang kemudian hari setelah wafatnya dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” .Judul buku yang sudah penulis kenal sejak duduk di kelas 3 bangku Sekolah Dasar dan sampai sekarang masih tetap relavan dan baik untuk dibaca.
Simbol dalam Nama
Nama Raden Ajeng Kartini, jika disingkat menjadi R.A. Kartini merupakan nama dengan sebutan lengkap Ibu Kartini. Dalam tradisi kaum ningrat, sebutan RadenAjengbiasa digunakan untuk wanita gadis, sedangkan jika sudah menikah maka sebutan tersebut berubah menjadi Raden Ayu. Tetapi ketika beliau menikah dengan Raden Mas Adipati Aryo Joyodinigrat, Kanjeng Bupati Rembang, dan sudah mengemban tugas menjadi seorang ibu dalam keluarganya, beliau tidak ingin sebutan Raden Ayu melekat pada dirinya. Sebutan Raden Ajeng membuat semangatnya terus membara dan meledak-ledak dalam dada tanpa mengenal istilah padam. Sebutan itu juga menjadi simbol personifikasi wanita yang kreatif juga dinamis.
Meskipun Ibu Kartini dari kaum ningrat atau keturunan bangsawan, dan putri dari Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, Kanjeng Bupati Jepara. Namun kehebatan Ibu Kartini bukan dari kedua hal tersebut. Tetapi Kartini dengan segala jasanya yang abadi.Perjuangannya untuk memberantas kebodohan, perjuangannya untuk membuat bangsa kita percaya kepada diri sendiri, bangsa kita yang menjunjung tinggi asas kebersamaan, gotong-royong dalam mengahadapi serta menyelesaikan masalah, perjuangannya dalam menumbuhkan rasa nasionalisme kepada bangsa Indonesia—dan jika ada yang mengatakan bahwa nasionalisme itu merupakan barang yang absurd maka anggapan itu salah, bila kita dengan serius membaca perjuangan Ibu Kartini dengan segala jasa dan perjuangannya—serta perjuangan dalam bingkai karakter wanita Indonesia. Yang merupakanprofilputri Indonesia sejati yang harumnamanya.
Sebab, “seorang pemuda (dan pemudi) bukanlah mereka yang membanggakan kebesaran orang tuanya, melainkan kesanggupannya membuktikan bahwa dia adalah besar”. Berdasar kalimat hikmah tersebut, beliaujugasangatmenentangbentukfeodalisme, dengantidakmembangga-banggakanunsurkenigrat-ningaratan. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan beragama beliau.Meskipunbeliaupemeluk agama Islam,—seperti yang penulissebutkan di awal—beliau  membawa panji pluralisme dalam beragama. Sehingga, beliau tidak membuat jurang ataupun deferensi terhadap hak dan kewajiban kaum beragama. Persahabatannya dengan wanita non-muslim dari belanda, merupakan salah satu contoh nyata sikap toleransinya. Dan beliau meyakinkan bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai ras, suku, bahasa, dan adat istiadat. Bangsa kita bangsa multikulturalisme. Dan bangsa kita bangsa yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika”,menjunjung tinggi persatuan dalam sebuah perbedaan.
Ibu Kartini sebagai seorang wanita pejuang, perintis, pembangkit, berjiwa nasional kerakyatan, kemudian menjunjung tinggi sikap toleransi dalam beragama. Karena beliau sadar, ini Indonesia.
*Peneliti Sosial dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)