Menjadikan Kartini Sebagai Prototipe Wanita Indonesia
Kebesaran dan kuasa
zaman, tidak bisa kita hindari. Berbagai macam perubahan, dari yang terlihat baik
maupun yang buruk, masuk dalam kehidupan kita. Memburamkan penglihatan nurani
kita. Begitulah globalisasi, zaman dimana segalanya mudah dalam jangkauan, dan zaman
tersebut memaksa kita untuk mengikutinya. Secara tidak langsung, kehidupan baru
ini terus-menerus menggerus kepribadian, dan kedirian kita. Dalam hal perubahan
ini, kita teringat seorang wanita. Seorang Ibu. Yang menjadi mesin pendobrak kehidupan
global yang ‘tidak’ Indonesia. Beliau bukan menentang pembaruan,
tapidengancermat mencoba memilah pembaruan. Beliau R.A. Kartini.
R.A Kartini bukanlah
penampilan seorang ratu atau princess, meskipun beliau memiliki darah bangsawan
feodal. Bukan profil seorang Cleopatra yang haus akan sanjungan dan kemasyhuran
nama. Kartini tidak mempunyai seorang Caesar atau Antonius yang mempragakan keindahan
tubuhnya untuk merusak tatanan politik dengan maksud meligitimasi kekuasaan
sang penguasa. Melainkan pengabdian yang dirintis olehnya yang menjadi bahan peledak lahirnya Nasionalisme Indonesia.
Kartini hanya
seorang pemeluk agama Islam yang mencari gelora hati dan merindukan cinta
kepada Tuhan tetapi tidak mengerti makna Al-Qur’an, karena beliau tidak pandai
bahasa Arab.Lazimnya pada zaman dahulu, peran wanita sangat dibatasi. Untuk keluar
rumah susah, apalagi keluar dari kampung halaman. Juga belum ada Al-Qur’an
terjemahan yang terbit. Namun, gelora dan cita-citanya menjadi kayubakar yang
menyala dengan bara api yang luar biasa. Semangat untuk membumihanguskan kebodohan
yang dialami oleh bangsa Indonesia serta memerangi ketidaksanggupan atau ketidakpercayaan
kepada kemampuan diri. Kepada kompetensi diri sendiri. Dengan mengenali sedikit
kelebihan dan keistimewaannya, kemudian kita cocokkan dengan karya dan kepribadian
beliau dalam bentuk biografi, kita bisa menyimpulkan bahwa Kartini mempunyai profil
Ibu Indonesia.
Nama Kartini tidak
hanya masyhur pada golongannya saja. Golongan sesama wanita se-tanah air. Tetapi
juga golongan pria terutama kalangan pemimpin. Bahwa, mutlak kebangkitan wanita
adalah mendampingi kebangkitan pria dalam kesatuan Negara Indonesia. Hak dan kewajiban
bukan lagi menjadi masalah bagi kaum pria maupun wanita. Yang menjadi masalah adalah bagaimana hak dan kewajiban
itu dijalankan sebagaimana mestinya, dan bahwa tidak ada hak tanpa memenuhi kewajiban
dan tidak ada kewajiban yang tidak dibayar dengan hak sebagai imbalan.
Keharuman nama Kartini
juga tidak hanya tercium oleh bangsanya. Keharuman dan kehebatannya menembus jauh
dari jangkauannya di kalangan bangsa Asia dan Eropa melalui surat-suratnya yang
kemudian hari setelah wafatnya dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah
Terang” .Judul buku yang sudah penulis kenal sejak
duduk di kelas 3 bangku Sekolah Dasar dan sampai sekarang masih tetap relavan dan
baik untuk dibaca.
Simbol dalam Nama
Nama Raden
Ajeng Kartini, jika disingkat menjadi R.A. Kartini merupakan nama dengan
sebutan lengkap Ibu Kartini. Dalam tradisi kaum ningrat, sebutan RadenAjengbiasa
digunakan untuk wanita gadis, sedangkan jika sudah menikah maka sebutan
tersebut berubah menjadi Raden Ayu. Tetapi ketika beliau menikah dengan
Raden Mas Adipati Aryo Joyodinigrat, Kanjeng Bupati Rembang, dan sudah
mengemban tugas menjadi seorang ibu dalam keluarganya, beliau tidak ingin
sebutan Raden Ayu melekat pada dirinya. Sebutan Raden Ajeng membuat
semangatnya terus membara dan meledak-ledak dalam dada tanpa mengenal istilah padam.
Sebutan itu juga menjadi simbol personifikasi wanita yang kreatif juga dinamis.
Meskipun Ibu
Kartini dari kaum ningrat atau keturunan bangsawan, dan putri dari Raden Mas
Adipati Aryo Sosroningrat, Kanjeng Bupati Jepara. Namun kehebatan Ibu Kartini bukan
dari kedua hal tersebut. Tetapi Kartini dengan segala jasanya yang
abadi.Perjuangannya untuk memberantas kebodohan, perjuangannya untuk membuat
bangsa kita percaya kepada diri sendiri, bangsa kita yang menjunjung tinggi
asas kebersamaan, gotong-royong dalam mengahadapi serta menyelesaikan masalah,
perjuangannya dalam menumbuhkan rasa nasionalisme kepada bangsa Indonesia—dan
jika ada yang mengatakan bahwa nasionalisme itu merupakan barang yang absurd
maka anggapan itu salah, bila kita dengan serius membaca perjuangan Ibu Kartini
dengan segala jasa dan perjuangannya—serta perjuangan dalam bingkai karakter
wanita Indonesia. Yang merupakanprofilputri Indonesia sejati yang harumnamanya.
Sebab, “seorang
pemuda (dan pemudi) bukanlah mereka yang membanggakan kebesaran orang tuanya,
melainkan kesanggupannya membuktikan bahwa dia adalah besar”. Berdasar kalimat
hikmah tersebut, beliaujugasangatmenentangbentukfeodalisme,
dengantidakmembangga-banggakanunsurkenigrat-ningaratan. Hal ini juga berlaku
dalam kehidupan beragama beliau.Meskipunbeliaupemeluk agama Islam,—seperti yang
penulissebutkan di awal—beliau membawa
panji pluralisme dalam beragama. Sehingga, beliau tidak membuat jurang ataupun deferensi
terhadap hak dan kewajiban kaum beragama. Persahabatannya dengan wanita
non-muslim dari belanda, merupakan salah satu contoh nyata sikap toleransinya.
Dan beliau meyakinkan bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai
ras, suku, bahasa, dan adat istiadat. Bangsa kita bangsa multikulturalisme. Dan
bangsa kita bangsa yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika”,menjunjung tinggi persatuan dalam
sebuah perbedaan.
Ibu Kartini sebagai
seorang wanita pejuang, perintis, pembangkit, berjiwa nasional kerakyatan,
kemudian menjunjung tinggi sikap toleransi dalam beragama. Karena beliau sadar,
ini Indonesia.
*Peneliti Sosial dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar