Opini - Mengontrol Hak Prerogratif Presiden

Mengontrol Hak Prerogratif Presiden
Oleh: Ahmad Afrizal Qosim*

Pemandangan sengit kini terlihat lagi. Ketika gencar-gencarnya Komisaris Jendral Budi Gunawan, Mantan Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian RI diangkat menjadi Kapolri oleh Presiden Jokowi.
Dua asumsi mencuat dan beredar ketika pengangkatan Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai Kapolri, pertama, dia seorang mantan ajudan Presiden RI ke-4, Megawati Soekarno Putri, jadi ada hubungan kedekatan. Kedua, karena kedekatan beliau dengan Jokowi dan menjadi tim suksesnya ketika pemilihan Presiden yang lalu. Meskipun pengangkatan Kapolri, menteri dan pejabat kepresidenan menjadi hak prerogratif Presiden. Namun, dilihat dari kedua asumsi tersebut, Jokowi memaksakan hak prerogratifnya kepada kepentingan satu golongan. Sekterian. Bukan semua golongan.
Pengangkatan tersebut juga terkesan instan. Dengan tidak melibatkan beberapa instansi vital dalam pengangkatan atau perekrutan pejabat kenegaraan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Seperti dulu, ketika pemilihan Menteri Kabinet Kerja.
Padahal, menurut logika kaum awam, kedua lembaga tersebut dinilai sebagai lembaga yang paling kredibel dalam menentukan pejabat negara yang korup dan bersih. Lebih dari itu, saat kampanye Jokowi dengan lantang akan melanjutkan program pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Tapi, kenapa hal itu tidak berlaku saat pengangkatan Kapolri juga Jaksa Agung? Oleh sebab itu, timbul pertanyaan besar tentang sikap inkonsistensi dari Presiden Jokowi, terutama dalam hal ini tentang penggunaan hak prerogratif Presiden.
Pendayagunaan hak prerogratif Presiden, oleh Jokowi terlihat sangat bebas. Bahkan mungkin sudah kecanduan. Meskipun penggunaan hak prerogratif tidak menyalahi Undang-Undang. Namun, untuk mengurangi sifat tidak demokratik juga kekhawatiran kesalahan dalam pengambilan keputusan, yang nantinya akan menjadi bahan cemoohan di ruang publik. Maka, semestinya pembatasan atau pengontrolan diperlukan dalam penggunaan hak prerogratif Presiden.
Apalagi pengangkatan jabatan Kapolri, jabatan yang menjadi pemegang komando secara riil atau langsung terhadap institusi POLRI, terkandung kewenanganan yang akan membawa dampak atau akibat dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Mengingat peran yang sangat penting tersebut. Dalam proses pemilihannya juga harus dengan hati-hati. Tidak hanya asal tunjuk. Membenahi prosedur. Menjalankan tugas Negara sesuai konstitusi. Juga dalam masalah ini, harus melalui persetujuan DPR. Hal ini dimaksudkan agar hak prerogratif tidak dimanfaatkan untuk membangun mitra kolusi dalam berbagai hal.
Hal itu yang sebaiknya dilakukan oleh Jokowi. Sejalan dan berlandaskan  pada (Pasal 7 ayat 3) yang berbunyi “Kepolisian Negara RI dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara RI yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR”. Oleh sebab itu, sekali lagi perlunya pembatasan atau pengontrolan dan juga mungkin pengawasan terhadap hak prerogratif Presiden. Dengan harapan nantinya kepemimpinan Presiden layak secara konstitusi juga sejalan dengan system demokrasi yang menjunjung tinggi pada kemashlahatan bersama.


*Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinamika Sejarah, sampai Perkembangan Desa Bungah

Dzikir Saman di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik

God dan Pakia (Refleksi Antropologis dan Studi Etnologis Film Robinson Crusoe)